Kasih yang Abadi

Jika mengharap kasih sayang orang tua, mungkin aku adalah orang yang paling merana. Ayah dan ibuku masih sehat wal afiat. Bahkan saking sehatnya mereka seringkali meninggalkan aku dengan alasan bisnis. Mencari uang untuk aku, untuk biaya pendidikanku, semua untuk masa depanku kelak. Alasan-alasan klise, menurutku. Sejak kecil, ayah dan ibu memberiku materi berlimpah. Mulai dari mainan, makanan, pakaian dan perhiasan serba mewah. Sampai sekarang pun ketika beranjak dewasa, materi melimpahiku hingga tidak ada kekurangannya. Inilah cara orang tuaku mencintaiku. Mereka mencukupkan kasih sayangnya dengan uang, dengan mobil BMW keluaran terbaru, dengan segala fasilitas yang aku inginkan.

Tapi, aku tetap dalam kering akan kasih sayang. Disaat aku membutuhkan seseorang tempat aku mencurahkan segala isi hatiku, ibu hanya menyediakan waktu tidak lebih dari sepuluh menit. Itu pun melalui handphone. “Ibu lagi sibuk, ngertiin dong…” begitu alasan ibu.

Aku selalu mencoba mengerti kesibukan kedua orang tuaku. Aku selalu mencoba menghitung-hitung kasih sayang yang mereka tawarkan, namun selalu tidak genap timbangannya. Karena aku selalu kekurangan akan kehadiran mereka di sisiku. Sementara ketika mereka tenggelam dalam kesibukannya, pernahkah berpikir tentang aku?

Mbok Parmi yang mengasuhku sejak kecil sering meredam marahku. Perempuan usia setengah abad ini dengan sabar menemaniku. Ia ada ketika aku membutuhkan belai kasih sayang. Ia ada ketika badanku panas akibat demam tinggi. Ia selalu ada untukku kapanpun aku membutuhkannya. Tidak perlu membatasi waktu sepuluh menit. Pada Mbok Parmi aku bisa bercerita sepuasku. Padanya aku bisa menumpahkan resah hatiku. Sering air mataku tumpah ketika sedang menceritakan isi hatiku. Dengan sabar, Mbok Parmi membelaiku. Meletakkan kepalaku di pundaknya. “Sabar ya sayang… Allah pasti memberi jalan keluar terbaik untuk kita…” katanya lembut di telingaku. Jika sudah begitu, rasa damai mendera hatiku. Meruntuhkan marahku. Mengusir semua resahku. Aku pun tenang, damai.

Dari Mbok Parmi, aku mengenal Tuhan. Sejak kecil, Mbok Parmi mengajariku mengaji. Mengajariku dengan telaten huruf-huruf hijaiyah hingga fasih aku melafadkannya. Mbok Parmi juga telaten mengajariku hapalan surat-surat pendek. Ia mengajariku sholat, menguatkanku ketika sedang lapar saat puasa, menceritakan keagungan Allah, ketaatan Rasulullah dan para sahabatnya, juga kemuliaan orang-orang yang menerima qadla Illahi.

Karena itu, bagiku tak masalah di mana ayah dan ibuku kini. Tak bersama merekapun aku menemukan figur orang tua lain pada Mbok Parmi. Aku cukup tenang dengan keberadaannya di sisiku selama ini. Sampai suatu hari, pulang kuliah kudapati tubuh Mbok Parmi terbujur kaku di tempat tidurnya. Tangannya dingin dan matanya tertutup rapat. Di antara wajahnya yang pucat, kulihat senyumnya yang khas. Senyum yang selalu ia tawarkan ketika menyambutku pulang dari bepergian. “Sabar ya Dinda, Mbok Parmi sudah pergi dengan tenang…” lirih suara Ibu di sampingku.

Bulir air mata membahasi mataku. Malam sebelumnya Mbok Parmi sempat mengeluh sesak napas. Meski dalam kondisi sakit, Mbok Parmi masih sempat menasihatiku. “Non Dinda, harus yakin. Allah SWT selalu bersama kita, jika kita pun ingin mendekat padaNya. Allah tidak akan meninggalkan kita sekejap pun.”

Kini aku tahu makna kata-kata Mbok Parmi semalam. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kasih sayang orang tua yang sangat kuharapkan, tidak kutemui. Bahkan kasih sayang yang selama ini kudapat dari Mbok Parmi, kini tak kumiliki lagi. Tapi satu hal yang kuyakini, Allah tak pernah menyudahi cintaNya padaku. Allah tak pernah meninggalkanku sekejap pun. Meski Mbok Parmi pergi menghadapNya, aku masih memiliki Allah yang senantiasa menjagaku dengan kasih sayangNya yang abadi.