Oleh : Zamzam M Ma’mun
Terlalu banyak kenangan manis yang terekam bersama sosok yang selalu menempati tangga cinta yang tinggi di hatiku. Kemarin malam aku kembali merekam satu lagi kenangan manis itu. Sebuah cinta yang tidak terucap dengan kata-kata. Sebuah kerinduan yang tidak terdengar sebagai suara. Sebuah kasih sayang yang tanpa batas, yang kusimpulkan dari sebuah pemberian yang hampir tak masuk akal.
Sosok anggun yang selalu menempati tangga cinta yang tinggi di hatiku adalah ibuku. Sampai kemarin malam aku masih jauh berpisah dengannya. Tapi jarak tidak pernah membatasi rasa kasih. Tak terasa empat tahun sudah aku berpisah dengannya, menuntut ilmu di negeri Musa, Mesir.
Rombongan pertama mahasiswa baru Al-Azhar dari Persatuan Islam (Persis) baru datang semalam. Merekalah yang membantu Ibuku menyampaikan rasa kasihnya padaku. Seperti para ibu lainnya kepada anak mereka masing-masing. Kehadiran mahasiswa baru selalu membawa kebahagiaan tersendiri. Bahagia karena mendapat teman baru, adik baru, rekan seperjuangan baru, terutama jika mahasiswa baru itu satu daerah dengan kita. Bahagia juga karena mereka selalu membawa “kasih” dan “cinta” yang dititipkan ibuku.
“cinta” dan “kasih” itu kadang berbetuk sepasang baju baru dan makanan ringan khas, kadang juga berbentuk buku-buku, dan sebagainya. Yang paling membahagiakan adalah untaian kata-kata yang ditulis oleh keluarga, surat dari ibu, ayah, saudara selalu memberi kesan yang sangat mendalam. Tak terasa tiba-tiba ada air mata yang menitik di pipi. Dan kerinduan yang demikian menggelembung sedikit terobati. Dan semangat yang terkadang redup kembali menyala terang. Dan malam-malam penyambutan mahasiswa baru pun jadi memiliki warna tersendiri bagi mereka yang menerima titipan cinta dan kasih dari orang-orang terkasih mereka.
Aku sendiri kemarin malam merasakan hal tersebut. Dan untuk tahun ini bentuk “cinta” yang dikirimkan ibuku sangat berbeda dari biasanya. Biasanya, aku selalu mewanti-wanti kepada keluargaku untuk tidak mengirimiku makanan, aku lebih memilih dikirimi buku-buku terbaru. Tetapi malam kemarin, “cinta” titipan ibuku bukan hanya maknanan, tapi makanan kesukaanku. Ayam goreng kelapa, sambal tomat, sambal goreng tempe kering, plus krupuk ikan tenggiri, lalap, dan buah untuk cuci mulutnya. Semuanya dengan resep Warung Nasi Seni Rasa, warung nasi kebanggaan keluarga kami.
Teman-temanku ribut mengetahui aku mendapatkan titipan yang begitu banyak. Mereka ribut karena tahu sebentar lagi aku akan pulang, S1-ku selesai tahun ini. Ya, begitulah, aku sendiri surprise dengan “cinta” yang dititpkan ibuku. Apakah beliau lupa, putera yang dikiriminya itu berada di Mesir, hingga tidak merasa takut makanan basah yang dikirimnya basi? Tapi kayaknya ibuku tidak lupa, beliau telah memperhitungkan kualitas masakannya dengan jarak waktu yang dihabiskan dari Garut sampai Mesir. Hasilnya, 95% makanannya selamat dan bisa disantap bersama malam itu juga.
Dalam surat singkat yang menyertai titipan itu, ibuku berpesan, “Ummi tau ini lauk kesukaan zamzam, masaklah nasi yang banyak, terus ajak teman-teman untuk makan bersama. Itung-itung perpisahan sebelum zamzam pulang. Jangan lupa diphoto ya…”
Subhanallah, sampai sejauh itu ibuku memikirkanku. Padahal putera-puterinya ada tiga belas orang! Ah, aku sadar, ibu memang memiliki kasih yang tiada batas. Aku pun menuruti permintaan ibu. Memasak nasi yang cukup banyak dan mengajak semua kawan yang sedang berkumpul di rumah untuk makan malam bersama. Semua merasa senang. Sebagian yang sudah kenal dengan masakan ibuku, mengaku teringat dengan nostalgia ketika mereka makan di Warung Nasi Seni Rasa, Garut.
Cinta ibu tiada batas luasnya. Bagi ibu, batas yang bisa menghalanginya untuk memberikan kasih sayang kepada putera-puterinya tidak pernah ada. Tidak hanya jarak yang bisa ditembus oleh kasih sayang seorang ibu. Bahkan dinding emosi yang bagaimanapun tebalnya, bagi seorang ibu bukan batas yang menghalanginya untuk memberikan kasih sayang. Mungkin seorang anak sudah beribu-ribu kali menusukkan rasa sakit di hati sang ibu, tapi itu bukan alasan baginya untuk membatasi rasa kasih dan sayangnya. Pantas Allah dan Rasulul-Nya menempatkan seorang ibu pada tempat yang mulia di mata anak-anaknya, sangat pantas sekali. Karena mereka memiliki satu hal, kasih tanpa batas.
Untuk Ummiku, Jazakillah khairan katsiran atas semua kasih sayangnya. Nanda takan pernah sanggup membalas semua pemberianmu. Tapi yakinlah, nanda kan berusaha menjadi yang terbaik di mata Ummi dengan menjadi yang terbaik bagi umat, tentu di atas semua itu Allah adalah yang pertama. Nanda selalu ingat harapan Ummi agar nanda menjadi pengganti para pahlawan pembela Islam dan negeri Indonesia. Semoga Allah memberi kekuatan kepada nanda. Amin.
Zamzam M Ma’mun Seminggu sebelum kembali menghirup udara Indonesia, Insya Allah.