Karena Ia Harus Tetap Bertahan

Suatu pagi di hari libur, tepatnya di hari Kamis, 1 Muharram 1429 H kemarin, saya bertandang ke rumah Ozy (kls 5 SD) untuk mengajar privat. Di tengah-tengah aktivitas kami, datang seorang penjual sayur yang ternyata adalah seorang nenek tionghoa bertubuh ringkih dengan topi capingnya. Ia melepaskan senyum tulus tepat di depan pintu tempat kami belajar. Ramah sekali, seolah tanpa beban. Senyum yang penuh ketulusan. Sungguh saya mengaguminya.

Pagi itu ternyata ibunya Ozy sedang tak membutuhkan”gambas “: satu-satunya sayuran yang ia tawarkan saat itu. Demikian juga dengan ibu –ibu sebelah kanan dan depan rumah Ozy tak ada yang membutuhkannya. Ah, ternyata tak ada yang membelinya. Sayangnya saya tak sama sekali membawa uang , padahal saya sangat ingin membelinya meski belum membutuhkannya. Saya hanya ingin tetap melihat senyum tulusnya. Akhirnya Sang ia pun kemudian melenggang pergi dengan keranjang gambas yang masih penuh di tangan kanannya dan tentunya. Sedih. Saya sedih melihat episode itu. Tak tega rasanya. Kami telah memutuskan
harapannya.

Ternyata, Ozy bisa membaca roman muka saya yang berubah seketika.
”Mbak kasihan dengan nenek itu ya??. Ozy juga mbak”.
Kemudian tanpa diminta Ozy bercerita tentang nenek tersebut.

“Rumah nenek ada di belakang rumah Ozy mbak. Rumahnya hanya sekedar gubuk kecil berukuran 2×3 m, tanpa lampu tepat berada di pojokan kebun sayur , ia hanya tinggal sendiri mbak. Kata ibu, anaknya nggak mau menerima kehadiran nenek di rumahnya”. Ozy mencerikannya dengan penuh rasa iba..

“Begitu kah Zy??”
“Iya mbak, ibu yang cerita ke Ozy”.
Ups!, seketika itu airmata saya menetes tanpa malu. Ozy pun hanya menyaksikannya dalam diam tanpa protes, seolah sangat memahami perasaan saya saat itu.

Ibunda Ozy kemudian menemui kami.
” Mbak , sebenarnya Ibu juga nggak tega. Setiap kali nenek datang ibu memang hampir tak pernah membelinya, bukan karna nggak punya rasa kasihan. atau tak membutuhkannya. Tapi karna ibu tahu gambas-gambas itu hasil curian dari kebun sayur anaknya. Meski ibu juga tau ia terpaksa mencuri untuk bertahan hidup. Ibu khawatir gambas-gambas itu haram untuk kita makan.”

Di tengah ceritanya, saya juga melihat mata ibunda Ozy yang semakin berkaca-kaca. Ah, saya semakin terenyuh setelah mengetahui semuanya. Betapa durhakanya sang anak jika memang ia benar-benar tak memuliakan orangtuanya. Betapa tak berbalas budi jika memang ia benar-benar tidak menafkahi dan tidak menjamin kehidupan orangtuanya. Naudzubillah….!!! Semoga saya dan juga anda tak kan pernah seperti itu..

”….Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkaataan yang mulia.” (Al Isra : 17)”.

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Al baqarah: 215).

Menurut analisis saya, nenek itu bukan mencuri, tapi mengambil sebagian yang sebenarnya adalah haknya. Bukankah Islam menuntun kita bahwa semua harta benda anak juga merupakan milik orangtuanya. Tapi sebaliknya sgala sesuatu yang menjadi milik orangtua belum tentu menjadi milik sang anak. Jadi gambas-gambas tersebut menjadi halal untuk dikonsumi . Bukankah begitu?

”Rabb, ampunilah dosa ku dan dosa kedua orangtuaku. Sayangi dan lindungi mereka, sebagaimana yang tlah mereka lakukan terhadapkusewaktu kecil hingga kini.” Amiiiiiin.

www.asyifa85.blogspot.com
[email protected]