Gadis itu bernama Dulmi. Suatu petang, gadis 19 tahun asal kepulauan Sulu, Filipina itu mendekati saya di belakang rumah. Dengan napas agak terengah-engah dan raut wajah sedikit ketakutan, ia berbicara dengan saya.
"Kawan, bolehkah kamu menolong saya?" Katanya dengan logat Melayu yang masih terbata-bata. Kadang juga sedikit menggunakan bahasa Inggris.
"Apa yang bisa aku tolong?"
"Antarkan saya ke kedutaan Filipina," ujarnya. "Saya mau pulang saja ke negeri saya. Saya tak tahan kerja di Brunei ini."
Saya diam sejenak. Tapi batin saya bertanya-tanya sendiri. Ada apa dengan dia. Bukankah selama ini sepertinya ia tidak ada masalah dalam urusan pekerjaan?
Pembicaraan antara saya dengan pembantu rumah tangga sebelah majikan saya tersebut belum sampai selesai. Karena dipanggil anak majikannya.Keesokan harinya saya tidak melihat sosok gadis berambut panjang dan ramah itu. Dan ternyata sampai hari-hari berikutnyapun saya tidak melihat sosok dia.
Sekitar dua minggu kemudian, dia kelihatan lagi di rumah sebelah majikan saya. Dan ketika ada kesempatan, ia kembali mengisahkan tentang dirinya.
Pekerjaan dia memang tidak menetap. Kadang ia bekerja sebulan di rumah seseorang, beberapa waktu kemudian ia pindah ke rumah orang lain. Dan setiap orang tidak sama dalam memberikan gaji padanya. Ini yang membuat ia tidak tahan.
Kenapa bisa begitu? Ternyata ini semua sebuah bentuk hukuman dari seorang yang berprofesi sebagai agen atau pengerah tenaga kerja yang membawa dia bekerja di Brunei. Awalnya, dia sudah bekerja di sebuah rumah milik pekerja perusahaan ‘Brunei Shell Petroleum’, yang berasal dari Inggris. Namun ia tidak tahan di tempat itu, karena sang majikan itu memelihara banyak anjing.
Ia lari dari tempat itu. Dan minta kepada agen tenaga kerja yang pernah menampungnya itu untuk dicarikan majikan lain yang tidak memelihara anjing. Namun apa yang terjadi? Sang agen tenaga kerja itu tidak mau mencarikan majikan lain. Gadis itu justru dimanfaatkan oleh orang tersebut untuk bekerja di rumahnya, dan rumah keluarganya yang lain. Dengan gaji yang tidak sesuai dengan standar gaji pembantu dari luar negri.
Suatu saat ketika saya berjumpa kembali dengan gadis itu, saya sempat bertanya lagi padanya.
"Kenapa kamu tidak mau bekerja di rumah orang bule? Takut dengan anjing?"
Ternyata jawaban gadis muda itu mengagetkan saya. Dan jawaban ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
"Saya ini muslim, kawan. Saya tidak boleh bersentuhan dengan hewan itu, apalagi sampai terkena ludahnya. Haram! Bapak saya pasti marah sekali jika tahu saya bekerja di tempat orang yang memelihara anjing."
Saya menghela napas. Mengingat beberapa waktu sebelum berjumpa dengan gadis ini.
Ya, secara tidak sengaja saya bertemu dengan dua perempuan muda asal negri saya. Kesemuanya bekerja di rumah orang Cina, yang juga memelihara anjing lebih dari satu. Bahkan, salah seorang perempuan yang mengaku berasal dari sebuah daerah di Jawa Timur itu, justru dipercaya oleh majikannya hanya untuk memberi makan dan mengawasi tujuh belas anjing piaraan milik majikannya.
Seperti biasa dengan iseng saya bertanya pada perempuan yang juga beragama sama dengan saya, Islam. Kedua perempuan itu menjawab dengan jawaban yanghampir sama.
"Apa boleh buat, Mas. Saya tidak tahu sebelumnya. Jika bisa pindah, saya juga ingin pindah. Tapi ini negri orang, kalau mau pindah susah. Lagipula biaya untuk kerja di luar negeri mahal, jadi apa hendak dikata. Akhirnya pekerjaan apapun saya terima. Termasuk memberi makan dan memandikan anjing-anjing."
Saya tak bisa komentar apa-apa mendengar jawaban itu. Hanya sedikit mengangguk-angguk.
Dan suatu saat, saya bisa sedikit mengambil hikmah dari apa yang sedang menimpa teman saya dari Indonesia dan Filipina itu. Bahwa untuk menjadi seorang muslim sejati memang perlu perjuangan luar biasa. Perlu pengorbanan apa saja. Termasuk gaji yang tidak sesuai, seperti yang dialami Dulmi.
Mungkin hanya soal anjing yang nampak sepele, namun itu semua bisa menjadi barometer sejauh mana komitmen kita terhadap Islam, agama yang kita anut. Dan Dulmi, gadis asal Filipina, sebuah negeri yang penduduk Islamnya minoritas, telah membuktikan komitmen itu.