Being annoyed by others, mungkin itu yang sebagian besar dialami oleh anak-anak remaja, atau mereka yang berusia dewasa dini. Sepertinya orang-orang di sekitar yang lebih dewasa, terutama mungkin orang tua dan anggota keluarga lain, selalu mengatakan hal-hal yang ‘mengganggu’ semangat keremajaan kita. Entah itu memprotes pilihan model pakaian, kegiatan luar sekolah, teman-teman, sampai pilihan jalan hidup. Mungkin tidak semua orang mengalami hal ini, tapi saya sendiri mengalaminya. Memang sih, sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang orang-orang dewasa itu katakan. Mungkin hanya caranya saja yang kurang pas atau waktu yang tidak tepat. Tapi, dengan emosi seorang remaja atau usia tanggung seperti itu, mana mungkin mau bersabar-sabar meladeni. Bagi mereka yang lost control, bisa jadi akan menghadapi pertengkaran atau hubungan yang renggang dengan keluarga, oleh sebab hanya masalah-masalah yang seharusnya bisa dibicarakan. Kalau ditanya alasan mengapa bersikap demikian, just being annoyed dan tak ingin dicampuri, mungkin itu jawaban gampangnya.
Suatu kali, saya mengalami kesulitan dalam memilih jurusan ketika hendak lulus dari SMU. Saya menyadari betul minat yang sejak kecil sudah muncul, tetapi dengan beragam aktivitas dan kurangnya arahan, saya belum benar-benar menyadari bahwa saya menginginkan minat saya itulah yang akan menjadi profesi saya kelak. Dan sayangnya, hal ini pun tak disadari oleh keluarga saya. Dan akhirnya, saya mengalami sedikit perbedaan pendapat dengan orang tua dalam memutuskan apa yang akan saya pilih. Pada akhirnya, saya mengalah juga. Dan meninggalkan minat saya tersebut. Tapi setiap kali salah satu anggota keluarga saya menyinggung urusan pekerjaan, masa depan, dan pilihan hidup (dan tentu saja mereka menawarkan berbagai bidang yang menurut mereka baik), saya menjadi super malas menanggapinya. Saya lebih suka berkata, “Ya … ya, itu memang bagus.” Ketimbang menjelaskan apa yang benar-benar saya mau. Suatu sikap yang salah, belakangan saya sadari. Atau bila di lain kesempatan mereka melakukannya lagi, dan saya sedang dalam kondisi ‘tidak siap’ dan mood yang jelek, akhir dari percakapan itu akan menjadi tidak enak. Dan saya benar-benar merasa terganggu dengan kejadian yang terus berulang itu.
Pada masa-masa lepas dari bangku SMU hingga masuk dunia perkuliahan, saya masih saja menghadapi situasi tersebut. Dan lucunya, saya tidak benar-benar berusaha untuk memahami permasalahan, dan mencari jalan keluar dalam berdialog yang baik. Supaya saya tidak lagi merasa tidak nyaman ketika topik tersebut dibahas kembali. Supaya saya tidak terus mengatakan, “Mereka benar-benar pengganggu terhebat.” Lagipula, apa enaknya menjalani hubungan yang seperti demikian dengan orang-orang yang paling dekat dengan diri kita? Bukankah masalah ini harusnya bisa menjadi pelajaran untuk bersikap lebih dewasa? Seharusnya. Tapi saya sungguh lambat mempelajarinya dan akhirnya mengubah sikap.
Daripada bersusah-susah meyakinkan apa yang saya mau kepada keluarga, saya malah mengambil sikap: Ya sudahlah, ikuti saja arusnya. Dan saya pun berusaha menyukai bidang yang saya pilih dalam perkuliahan, walau sebenarnya itu saya pilih hanya karena mendekati minat saya dalam dunia psikologi. Padahal cita-cita saya bukanlah menjadi seorang psikolog. Saya hanya menyukai ilmu tersebut. Dan itu tidak cukup untuk menjadi dasar semangat dalam menjalani fase kehidupan berikutnya. Begitulah, saya berkubang dalam kesalahan berkali-kali. Dan setiap kali membicarakan masalah profesi, dunia kerja, dan semacamnya, saya tetap merasa being annoyed by my own family. Bayangkan saja! Betapa menyedihkannya perasaan itu.
Entah bagaimana akhirnya saya memutuskan untuk memperbaiki semuanya. Harus! Bila saya tak ingin cita-cita idaman saya itu terkubur dalam. Saya menyelesaikan kuliah dengan baik, dan menemukan hal-hal positif yang Allah karuniakan pada saya dalam bidang kuliah yang saya pilih. Dan saya pun kembali berusaha meraih cita-cita saya itu. Berusaha mengenal dan terlibat dalam komunitas yang akan mengantarkan saya pada impian itu, berusaha menghasilkan karya-karya yang lebih baik dengan target: harus dipublikasikan di media massa, dan belajar dari siapa saja yang saya temui.
Tahun 2004, mungkin bisa dikatakan bahwa itu tahun ‘kebangkitan’ diri saya. Saya ‘menemukan’ kembali gairah itu! Cita-cita saya: ingin menjadi penulis. Dan itu yang saya tanam kuat-kuat dalam benak saya sampai kapanpun. Saya lulus dari bangku kuliah, bekerja, dan berusaha untuk tetap menulis dan menghasilkan karya yang lebih baik. Publikasi karya saya di media, walau belum banyak, sedikitnya membuktikan hal itu. Dalam hati, saya merasa senang sekali.
Still being annoyed? Hm, saya rasa itu hanya salah satu ion negatif yang berterbangan di pikiran dan hati saya selama ini. Saya merasa demikian sebab saya menyadari ketidakmampuan saya untuk memberi penjelasan dengan cara yang bisa mereka terima. Atau pada saat itu, saya belum benar-benar yakin dapat membuktikan bahwa cita-cita ini adalah sebuah jalan hidup yang saya pilih.
Apapun pandangan orang tentang itu. Membuat orang lain mengerti, sepertinya memang tidak bisa hanya melalui kata-kata atau bahkan angan-angan saja.
Pada akhirnya, walau belum sepenuhnya yakin dan mendukung, saya tahu bahwa mereka hanya ingin yang terbaik terjadi pada diri saya. Bila mereka tidak mengerti apakah hal itu, maka kewajiban saya untuk menjelaskan. Semua mereka katakan tentu tidak pernah bermaksud mencampuri atau mengganggu hidup saya, melainkan karena mereka cinta. Ya. Cinta.
Bukankah dengan memandang suatu hal dengan pandangan positif jauh lebih menyenangkan?