Oleh : Abu Aufa
Aku bangga dengan anakku, Asy Syifa…
Bangga dengan tangisannya yang melengking tajam, gelembung-gelembung ludah yang dibuatnya, gigitan gusinya saat menggigit jariku dengan kuat, atau jeritan girangnya saat aku pulang malam menjelang waktu tidurnya.
Aku pun bangga dengan pelukannya yang erat dan manja saat kudekap, serta kaki dan tangannya yang selalu bergerak lincah kemana-mana. Ia belum genap 8 bulan, karena itu aku bangga.
Aku bangga dengan abangnya, Aufa…
Bangga dengan ketegarannya saat banyak jarum infus menusuk tubuhnya, keberaniannya tidur sendirian di kotak inkubator karena sakit yang diderita, dan bangga ia bisa menunjukkan rasa sayangnya sehingga denyut nadinya membaik saat kudekap.
Aku bangga dengan wajahnya yang tampan, sosok tubuhnya yang gagah dan senyumannya yang ikhlas hingga menjelang detik-detik terakhir di pelukanku serta umminya. Ia begitu tegar dalam umurnya yang sangat singkat, karena itu aku bangga.
Aku bangga dengan anak-anak Indonesia…
Bangga dengan Abdurahman Faiz dan Sri Izzati, mereka bisa menghasilkan buah pena yang hebat tanpa kehilangan masa kecilnya. Dari kesederhanaan dan kejujuran kata, begitu banyak hikmah yang ditebarkan sehingga membuat pesona dan menyentuh hati nurani orang dewasa.
Aku tak kalah bangga dengan anak-anak jalanan yang tidur di kolong jembatan, bukankah mereka begitu kuat?
Tak dirasakannya gigitan dingin yang menusuk tulang atau pun patukan panas yang meradang. Semangat mereka mencari sedikit uang untuk makan membuatku selalu bangga, walaupun terkadang hanya bermodalkan kecrekan dan alunan nada sumbang. Dengan kaos dekil yang penuh bolongan dan kaki telanjang, wajah-wajah kotor beringus itu adalah jagoan-jagoan yang siap menentang hardikan, bahkan pukulan di kerasnya kehidupan jalanan.
Aku pun sungguh bangga pada anak Indonesia, mereka masih bisa bermain, berlarian, bergulingan dengan riang gembira dan suara yang ramai, menikmati masa kecilnya di tengah kekalutan masa depan yang suram, karena itu aku bangga.
Aku bangga dengan anak-anak Palestina…
Mereka begitu tangguh, berani dan gagah. Wajah-wajah mungil itu berbalur asap mesiu dan darah, siap menentang kecongkakan, kekerasan, kekejaman dan kebengisan penjajah-penjajah la’natuLlah. Teriakan mereka lantang meninju langit, gegap gempita memenuhi ruang udara, Khaibar-Khaibar ya, Yahud! Ja’isyu Muhammad saufa Ya’uud!
Masa kecilnya jauh dari kesenangan, tapi semua dijalani dengan penuh ikhlas dalam derap langkah barisan HAMAS. Mereka sungguh berbeda dengan anak-anak di belahan bumi lainnya, karena tekad menjadi syuhada begitu membahana di dada. Batu-batu dan katapel mereka adalah jiwa intifadah, karena itu aku bangga.
Namun…
Aku tak kalah bangga dengan anak-anak yang hanya bisa tergeletak lemah tak berdaya dengan tatapan mata kosong tanpa makna. Bangga, karena mereka masih bisa tersenyum, tertawa dengan mata yang berbinar-binar menikmati masa gembiranya di sekolah luar biasa, sementara demi kesemuan martabat dan kehormatan orangtuanya, mereka telah dicampakkan dari keluarga.
Anak-anak yang terlahir yatim piatu juga membuatku bangga, bukankah seseorang akan diberikan jalan untuk menjadi mulia karena mereka? Usapan di kepala mereka akan melembutkan hati manusia yang keras, bahkan memelihara mereka dengan baik akan menjadikan kedudukannya di surga dekat dengan Rasulullah Sallallaahu Alayhi Wasallam, bagaikan jari telunjuk dan jari tengah.
Mereka semua masih anak-anak, tapi dalam usia muda telah menjadikan dirinya sebagai ladang amal dan teladan kepada yang mengenal mereka.
Anakku Asy Syifa dan abangnya, almarhum Aufa, kalian adalah amanah dari-Nya, semoga kelak kuterima ganjaran surga karena pengorbananku sebagai orangtua. Dik Faiz dan Izzati, terima kasih ya, karena telah mengajarkan bahwa pena dan kesederhanaan kata pun dapat menuai pahala.
Anak-anak jalanan, yatim piatu serta cacat mental, bukankah karena rasa kasih sayang dan cinta yang diberikan akan memudahkan jalanku ke surga? Dan anak-anak Palestina, mereka telah mengajarkan caranya mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada selalu berdebat atau berfatwa.
Sampaikan…
Aku begitu bangga kepada mereka semua, karena aku tak tahu apakah diriku masih ada atau telah dipanggil-Nya saat mereka telah mengerti apa yang kutuliskan.
Allahu a’lam bi shawab.