Wajah Rahma tersaput kabut. Gelisah hatinya tak mampu ia singkirkan. Meski telah berusaha tak memikirkan sindiran kakak-kakak iparnya, namun tetap saja sindiran mereka mengganggu perasaannya yang halus.
Belum genap satu tahun Rahma meninggalkan rumah kedua orang tuanya menuju Jakarta. Bersama gadis ciliknya yang baru berumur dua tahun, Rahma menyusul sang suami yang telah lebih dahulu ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Enam bulan sudah mereka hidup terpisah. Setelah sang suami memperoleh pekerjaan tetap barulah Rahma bersama gadis ciliknya menyusul ke Jakarta.
Di Jakarta, Rahma tinggal bersama keluarga besar sang suami dalam satu atap. Ada banyak kamar di rumah itu, setiap kamar berisikan kakak-kakak ipar dan keluarganya. Sisa kamar yang lain disewakan pada orang lain. Rahma dan gadis ciliknya menempati kamar sang suami. Hanya kamar sempit itu privacy mereka. Dapur dan kamar mandi digunakan bersama. Tak ada ruang tamu maupun ruang keluarga. Sungguh berbeda dengan rumah orang tuanya yang luas dan indah, namun selalu mengajarkan kesederhanaan.
Kakak-kakak sang suami, mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini di anut Rahma. Konsumtif dan Pragmatis, demikian gaya hidup yang di anut oleh keluarga besar sang suami, dan sedikit banyak juga mengalir dalam darah sang suami. Namun, karena ketaqwaan sang suami-lah gaya hidup konsumtif dan pragmatis itu tak terlalu meluap keluar. Apalagi di saat seperti ini, saat-saat di mana kondisi perekonomian keluarga mereka masih labil. Gaji sang suami yang belum lama kerja dan masih berstatus karyawan kontrak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan susu si kecil. Dengan kondisi begini tak mungkin mengikuti gaya hidup konsumtif kakak-kakak sang suami. Kalaupun perekonomian keluarga mereka stabil, Rahma tetap tak berminat menganut gaya hidup seperti itu.
Perbedaan gaya hidup. Ini-lah yang kemudian menimbulkan ketidak cocokan antara Rahma dan kakak-kakak iparnya. Hampir setiap hari kakak-kakak iparnya berbelanja barang baru. Bukan masalah bagi Rahma. Tak sedikitpun rasa iri terlintas di hatinya bila kakak-kakak ipar memamerkan barang belanjaan mereka. Menjadi masalah bagi Rahma, bila kakak-kakak iparnya itu mulai menyindir dirinya yang hampir tak pernah berbelanja.
Seperti hari ini, kakak-kakak ipar menyindirnya karena tak satu pun perhiasan emas yang menggantung di pergelangan tangan ataupun lehernya. Hanya sebuah cincin nikah saja yang melingkar di jari tengahnya, itu pun pemberian ibu mertua. Begitu pula gadis ciliknya. Tak satupun emas menghiasi anggota tubuh gadis ciliknya itu.
Semula Rahma tak peduli, namun karena tak sekali dua kali kakak-kakak ipar menyindirnya, mau tak mau, suka tidak suka, Rahma hanya dapat berdiam diri walau hati teriris-iris.
"Apakah… Perempuan harus memakai perhiasan….?" Tanya Rahma pada sang adik yang tengah berkunjung dari perantauannya di Yogya. Namun pertanyaan Rahma lebih mirip sebuah gumaman. Sang adik, yang seketika menangkap kegelisahan dan kesedihan di hati kakaknya mencoba ber-empati.
"Ada apa, Kak…?" Tanya sang adik penuh perhatian. Rahma menghela nafas berat sebelum menjawab.
"Kakak-kakak ipar. Sering nyindir kakak dan keponakanmu karena gak pernah pakai perhiasan…."
Sang adik menatap wajah kakaknya. Ia dan kakak sejak kecil saling menyayangi. Selisih usia yang terpaut cukup jauh membuatnya merasa puas dengan kedewasaan dan sifat keibuan sang kakak. Bila ia menangis, kakak akan menghapus air matanya. Bila ia mengantuk, kakak membuainya dengan dongeng sebelum tidur. Kakak juga yang melatihnya melafalkan huruf "R" sehingga lidahnya tak lagi cedal bila membunyikan huruf itu. Dan ketika ia memasuki usia baligh, kakak lah yang mengajarkan dirinya menutup aurat. Kini, sang kakak terlihat kuyu di hadapannya. Betapa inginnya ia menghapus kegalauan hati sang kakak.
"Kenapa harus pakai perhiasan, tanpa perhiasan pun kakak adalah perhiasan yang paling indah…."
Rahma terpana mendengar ucapan sang adik. Kata-kata sang adik yang baru saja didengarnya bagaikan embun yang menyejukkan jiwanya. Ingin sekali lagi ia mendengarnya.
"A..Apa, Dik?", Tanya Rahma. Sang adik menghadapkan tubuhnya pada Rahma untuk memperjelas ucapannya.
"Wanita Sholehah itu kan sebaik-baiknya perhiasan, Kak… jadi kakak gak perlu sedih karena gak pakai perhiasan. Perhiasan itu ada dalam diri kakak. Lebih indah malah…"
Mendengar perkataan sang adik, wajah Rahma berubah cerah. Rasa percaya dirinya kembali mengembang. Sang adik telah menghempaskannya pada sebuah kesadaran. Untuk apa sibuk memikirkan dan mengumpulkan perhiasan dunia, bukankah lebih baik sibuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah agar menjadi wanita sholehah? Bukankah wanita sholehah adalah perhiasan yang lebih indah dari perhiasan manapun di dunia? Tak perlu emas dan permata untuk percaya diri. Tak butuh berlian untuk tampil mempesona. Kesholehan telah mencakup itu semua.
Rahma tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah sang adik lihat.
"Terima kasih, adikku…."
Kakak beradik itu pun berpelukan.
Dunia adalah perhiasan.
Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.
Jogjakarta, Juni 2007 -Cahaya Khairani-