Suatu waktu saya tengah dilanda gundah. Memikirkan dan merasa bahwa ada perhatian yang berubah dari suami untuk diri saya. Secara tiba-tiba saya merasa nelangsa ketika tidak bersamanya. Dan entah darimana datangnya, kemudian bayangan yang menyedihkan berkelebat memenuhi benak. Saya cemburu? Duh, saya amat malu untuk mengakui rasa yang satu ini. Begitu mengganggu, namun enggan jika disebutkan. Tetapi, kenapa perasaan saya tidak karu-karuan seperti ini? Dengan tiba-tiba saya bisa menuntut hal-hal sepele dari suami. Kemudian tanpa disadari sering menjadi pertengkaran yang tak terhindarkan.
Sampai saat itu saya tidak bisa mengekspresikan perasaan saya secara gamblang, saya berharap biar sang suami mengerti dengan sendirinya. Saya ingin menyaksikan sedikit kepekaannya terhadap perubahan rasa yang saya miliki. Alhasil, suasana jadi menggantung, suami saya terheran-heran dengan perubahan sikap saya itu. Dia mengeluhkan sikap saya yang bagai badai tak kenal musim, uring-uringan, masalah kecil dibuat seolah-olah jadi sangat genting.
Masih dalam kaitan keinginan saya akan kesungguhan itu. Kemudian, saya bertekad mengukur kedalaman cintanya. Saya sadari ini sangat bodoh. Tapi saya tengah ingin melakukan kebodohan itu.
Nah ini dia. Buku tebal biru yang berisi catatan kesehariannya kini berada dalam genggaman (saya tidak ingin menyebutkan bahwa itu buku diary). Buku berbentuk dan bergaris formal itu saya buka. Tulisan khas bersambungnya yang sudah saya sangat kenali itu sudah terisi sebanyak setengah buku. Saya mulai membaca dengan sangat hati-hati. Tak ada satu baris katapun yang terlewat. Paling tidak, saya berharap akan mendapatkan jawaban atas kegelisahan saya pada buku ini.
Kemudian, entah berapa halaman yang sudah saya lewati, mata saya tertuju pada kalimat yang membuat kecemburuan saya tersulut. Walau tidak terbakar, tapi lumayan membuat saya gusar. Kemudian saya ambil stabillo warna kuning menyala. Saya goreskan warna terang itu dengan sangat tegas pada kata-kata yang membuat saya tersulut itu. Lalu, dihalaman berikutnya saya menemukan serangkaian kalimat yang tidak saya fahami maknanya, kemudian saya berikan symbol tanda tanya besar dipinggir kalimat tersebut. Karena saya menduga dan sangat yakin bahwa kata-kata kiasan itu menuju kepada kerahasiaan yang disembunyikannya.
Duh, sungguh saya menyadari telah melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Ada hak pribadinya yang tengah saya langgar. Namun saat itu saya tak perduli. Sopan santun dan etika terkalahkan oleh rasa penasaran yang sudah mendesak dan memuncak.
***
“Buku – ku kok diberi warna stabillo de? Kenapa? Dikasih coretan tanda tanya-nya lagi..” suami saya bertanya dengan wajah penuh keheranan.
Saya memang sudah memperkirakan. Cepat atau lambat pertanyaan ini pastilah akan segera tiba. Saya terdiam menenangkan rasa. Mencoba mencari kata untuk menjawab. Hening…
Belum sempat saya menemukan jawaban yang tepat, tiba-tiba suami saya menembak dengan pertanyaan kedua.
“Kamu cemburu ya de?”
Deg! Saya menelan ludah. Pahit terasa. Walaupun saya sudah memprediksi situasi ini, namun tak urung membuat saya tertohok dengan telak. Jantung saya berdetak lebih kencang. Ada malu melintas. Saya harus mengakui, dia sudah membaca gejolak apa yang tengah menghinggapi perasaan saya.
Akhirnya dengan besar hati saya memang harus mengakui dan mengkomunikasikan hal ini. Saya harus mengakui bahwa saya memang telah mencemburuinya dan kini saya tengah gelisah menentukan kadar cintanya. Untunglah saat itu saya memilih untuk berterusterang dan menangisi kegelisahan itu dihadapannya. Sesuatu yang selama ini saya simpan rapat dan malu untuk mengakuinya. Dalam interaksi itu kemudian ada penjelasan darinya, ada silang pendapat antar saya dengan dia, ada bantahan-bantahan ringan. Namun, setelah itu saya merasakan rasa lega luar biasa. Beban keresahan saya cair bersamaan melalui pernyataan-pernyataan yang diungkapkannya.
Itulah, kesalahan saya karena tidak mengakui perasaan cemburu itu akhirnya membuat suasana semakin tidak nyaman bagi kami semua.
Padahal jika saja saya dengan cepat berani membuat pengakuan itu dan mengekspresikannya dengan baik, maka hal tersebut akan sangat menolong saya untuk segera keluar dari kegelisahan yang menyiksa tersebut.
Ya, masalah communications breakdowns (kegagalan komunikasi) itulah yang menjadikan rasa gundah saya tidak sampai pada tempatnya. Sehingga saya mereka-reka sendiri dengan dugaan-dugaan yang membuat saya sakit.
Saya bergejolak sendiri, sedih dan merana sendiri. Sementara itu, suami saya tidak tahu menahu dan tidak mengerti gerangan masalah apa yang tengah melanda saya.
Tuduhan yang bermain-main dibenak saya adalah jelas karangan dan rekaan saya sendiri. Dan sangat mungkin syetan turut serta dengan penuh semangat memprovokasi saya. Membuat segala sesuatunya terasa dahsyat dan begitu dramatis.
Padahal, jika saja saya mau bersikap cerdas untuk mengambil tindakan tabayyun (saling memberi dan meminta penjelasan) dengan sikap santun dan baik, masalah ‘prasangka dan kecemburuan’ itu pasti tak akan berlarut-larut hingga mengeringkan persediaan air mata.
Saya sangat berharap semoga ini bisa menjadi pelajaran berharga yang bisa saya ingat terus selamanya.
Nenda_2001@yahoo. Com