Sungguh, kami butuh mereka. Orang-orang yang kami pandang sebelah mata di kampung ini. Mereka, yang sering kami remehkan dan kami olok-olok sebagai orang kuno, kolot, udik, kampungan. Mereka, segelintir orang yang selalu berjalan dengan pandangan tertunduk dan bergegas bagai berjalan pada jalan menurun. Kadang kami mengganggap mereka sombong, eksklusif, idealis dan fanatik.
Mereka, para pemuda itu yang suka bergiat di musholla, tampak malu dan risih kala lewat di depan ibu-ibu yang sedang asyik bergosip di depan gang sempit dengan baju dastar seadanya.
Dan para perempuannya yang senantiasa memakai jilbab, sebisa mungkin menghindar bahkan beberapa di antaranya rela mengambil jalan memutar yang lebih jauh, agar supaya tidak harus lewat di depan sekelompok pemuda yang sedang bermain gitar di pinggir jalan sambil bermain kartu atau mabuk-mabukan
Kami, para pemuda pemudi yang mengikrarkan diri sebagai anak muda trend masa kini, sering mencemooh cara berpakaian mereka, terutama para wanitanya. Buat apa pakai baju panjang dan menutup kepala dengan jilbab seperti itu, tak sesuai dengan iklim Jakarta yang panas. Lihat lah kami, selalu berusaha mengikuti mode yang di contohkan para idola kami di tv, majalah, koran, dan poster. Dari ujung rambut sampai ujung kaki kaki, sebisa mungkin kami tiru. Walaupun, kata orang tua kami, warna kulit kami tak cocok untuk rambut pirang, kaos kami terlalu sempit hingga bagian perut menyembul, celana kami terlalu ketat, dan lain-lain sebagainya. So what? EGP, begitu jawab kami. Toh, para orang tua kami pun tak jauh beda.
Kegiatan mereka hanyalah mengumpulkan anak-anak kecil di mushollah kami yang hanya ramai pada bulan puasa. Mereka mengajari anak-anak itu membaca kitab, menghapal doa ini dan itu, sembahyang, dan segala sesuatu yang sudah ketinggalan zaman. Sering, setelah bocah-bocah itu bubaran, kami ajak mereka nonton konser dangdut di hajatan kawinan sambil saweran. Atau gabung bersama kami menyanyikan lagu-lagu yang sedang hits di radio. Dan anak-anak itu lebih cepat hapal lagu-lagu itu ketimbang doa-doa yang di tugaskan kepada mereka untuk di hapal.
Sudah berulang kali mereka berusaha mengumpulkan ibu-ibu dan bapak-bapak kami di mushollah untuk pengajian rutin mingguan, tapi biasa nya hanya bertahan sebentar. Bosan, capek, sinetronnya bagus-bagus, pertandingan bola, dan lain-lain menjadi alasan pengajian itu berumur pendek.
Di lingkungan kami, narkoba sudah menjadi hal biasa. Siapa bilang narkoba hanya untuk konsumsi orang berduit saja. Banyak di antara kami yang tak punya kerja alias pengangguran, namun kami bisa membeli bahkan mengedarkan barang itu. Orang tua kami sebagian besar berprofesi sebagai pedagang kecil, buruh dan kuli bangunan. Namun, setiap malam mereka berkumpul untuk membeli judi togel. Siapa tahu, duit dua ribu bisa jadi dua juta dalam semalam, begitu kata mereka. Pergaulan bebas? Nah, ini yang lagi trend di sini. Penghulu hanya bisa menggelengkan kepala, ketika mengetahui mempelai wanita sudah berbadan dua. Awalnya, kami memang menggunjingkan mereka yang kebablasan, namun tak perlu waktu lama untuk melupakan aib itu dan menganggap hal itu adalah sesuatu yang lumrah. Maklum, gejolak masa muda.
Begitulah kira-kira kehidupan kami di lingkungan ini, hingga sampai pada suatu saat, ketika Tuhan menegur kami dengan sedikit ketakuan. Peristiwa kebakaran di hari raya Idul Fitri, membuat kami takut setengah mati. Membayangkan api melahap rumah-rumah kontrakan dari triplek yang berhimpitan, menghanguskan harta benda kami yang sedikit, membayangkan kami berlari menyelamatkan diri hanya dengan pakaian yang menempel di badan, dan kehilangan tempat tinggal. Bayangan seram-seram itu menghantui pikiran kami ketika melhat pemadam kebakaran berusaha memadamkan api. Kalut, takut, gemetar, tangis, jerit dan teriakan mewarnai hari yang fitri itu. Semalam kami mengadakan takbir keliling dengan menyewa sebuah truk dan membawa petasan sekardus, berpesta pora sampai subuh. Setelah sholat Id, sebagian besar terlelap. Salah satu tetangga kami lupa mematikan kompor minyak tanah hingga kompor itu meleduk.
Syukurlah, Allah Maha Baik, bayangan ketakutan kami tak menjadi kenyataan. Api berhasil dipadamkan sebelum menimbulkan korban. Seorang bapak yang tak dikenal berkata kepada kami, yang masih dalam keadaan shock, bahwa mungkin di lingkungan kami masih ada orang-orang baik. Orang-orang yang masih mengingat Allah. Orang-orang yang bangun malam ketika kami semua tertidur pulas. Orang-orang yang mendoakan kami diam-diam di sepertiga malam terakhir. Orang-orang yang membaca kitab suci, dan mengajarkan kepada sebanyak-banyak manusia. Orang-orang yang selalu berusaha memakmurkan rumah Allah. Orang-orang yang memelihara dirinya dan keluarganya dari perbuatan maksiat. Orang-orang seperti itulah yang meredam murka Allah, hingga Allah menahan azab NYA.
Apakah mereka itu, orang-orang yang pada hakikatnya menyelamatkan kami? Orang-orang yang kami remehkan, kami tertawakan, kami olok-olok, dan kami rendahkan? Ternyata mereka bagai mata air di tengah gurun, bagai cahaya di malam gelap, bagai hujan di tengah kemarau panjang. Ya Tuhan, sungguh, kami berhutang pada mereka. Dan sungguh, kami butuh mereka dalam berproses memperbaiki diri dan lingkungan. Di tengah kemaksiatan yang melanda kampung ini, kami butuh orang-orang yang mengingatkan kami pada Tuhan dan kematian yang pasti datang. Di tengah serbuan media pornografi, kami butuh pemandangan yang menyejukkan mata dan hati kami. Di tengah judi dan miras yang merajalela, kami butuh mendengar suara azan di kumandangkan dari musholla kecil yang di lupakan. Kadang, jika masuk waktu sholat, hanya ada seorang bapak tua yang berjalan tertatih-tatih, menyalakan lampu, azan, iqomat, imam sekaligus makmum. Sementara kami, asyik masyuk di depan televisi atau bergumul dalam kemaksiatan.
Pasti, akan ada orang-orang yang tak menyukai mereka, menfitnah mereka, mengolok-olok dan mencemooh mereka, namun sebagian dari kami telah sadar dan terbuka mata dan hati kami. Dan kami hanya bisa berharap dan berdoa agar orang-orang soleh itu masih mau tinggal di lingkungan kami. Mewarnai kami tanpa ikut terwarnai. Membimbing kami dengan ikhlas dan sabar. Ya Allah, sungguh kami butuh mereka.
Maret 2008 Its_just_dwi