Kasih sayang Allah tak bisa ditakar, ditimbang, dihitung dan diukur. Manusia tidak punya perangkat untuk mengukur keseluruhan karunia dari Yang Maha Pengasih. Manusia hanya diminta bersyukur atas semuanya. Pada akhirnya pun, syukur yang dipersembahkan kepada Tuhan akan kembali kepada dirinya sendiri.
Fakta untuk sampai kepada syukur pun, teramat banyak untuk dikumpukan. Dari yang ”sepele” sampai yang agung dan rumit.
Sebarapa kisaran udara yang manusia hirup teramat banyak, meskipun dengan kecanggihan bisa diperkirakan. Konon kapasitas paru-paru seorang laki-laki normal berisi 4-5 liter udara dan pada seorang perempuan 3-4 liter udara.
Ketika manusia menghirup udara atau menarik nafas (inspirasi) lalu menghembuskannya keluar (ekspirasi) serta istirahat di antara kedua proses tersebut, tidak kurang dari 10-20 kali setiap satu satu menit terjadi pada manusia dewasa secara mekanis. 24 kali pada usia dua sampai lima tahun. 30 kali pada usia dua belas bulan dan 30-40 pada bayi baru lahir dalam setiap menitnya. Dari sekian tanda, proses ini adalah tanda hidup yang paling kasat mata. Tetapi manusia kadang lalai berterima kasih kepada Tuhan. Padahal Dia lah yang menyuplai oksigen gratis agar manusia bisa bernafas untuk menyambung hidupnya.
Berapa liter sudah air yang diminum manusia sepanjang hidup mungkin setara dengan bah. Tetapi metabolisme tubuh buatan Tuhan mampu mengatasinya. Jika rata-rata pria dewasa mengkonsumsi 3 liter air (13 gelas) dan perempuan 2,2 liter (9 gelas) per hari, berapa kubik air yang sudah dimasukkan ke dalam tubuhnya di usianya sekarang?. Tetapi berbahagilah, ada mekanisme Tuhan dalam mengatasi air itu. Allah memperkenalkan urin yang rata-rata keluaran urin orang dewasa 1,5 liter sehari. Air juga dapt keluar melalui pernafasan, keringat dan pergerakan usus. Di sinilah terjadi keseimbangan yang mengagumkan antara air yang masuk dan dibuang. Subhanallah.
Intenskah manusia menghitung detail berkedip? Setiap kali berkedip, waktu yang dibutuhkan antara 100 sampai 150 milidetik, karena itulah kadang manusia tidak sadar ketika mereka melakukannya. Manusia biasanya berkedip 10 sampai 15 kali permenit untuk membuat kornea mata tetap terjaga kelembabannya dan tetap terkena oksigen. Selama satu jam berarti hampir 900 kali berkedip. Katakanlah kita terjaga selama 16 jam sehari, berarti selama itu kita tidak kurang dari 14.400 kali kita berkedip. Berarti Allah terus-menerus menyegarkan mata setiap orang sebanyak 14.400 selama terjaga baik ia mukmin maupun kafir.
Dari ahli anatomi, manusia menjadi melek, bahwa berkedip merupakan gerakan otomatis untuk melindungi dari benda asing seperti debu atau benda lain yang bisa masuk ke mata. Berkedip juga untuk menjaga agar mata tetap berair, sehingga mata tidak kering dan terasa perih. Saat berkedip, bola mata akan dibasahi air mata yang akan membersihkannya jika terdapat debu yang menempel. Jadi, kedipan laksana helm bagi mata dan menjaganya tetap bersih. Banyak yang bersyukur atas nikmat berkedip. Banyak pula yang menjadikannya sebagai jerat birahi yang terlarang.
Lagi dan teramat banyak nikmat Tuhan yang paling alami untuk dikumpulkan. Tetapi sudahkah setiap manusia membayarnya dengan syukur dan selalu menyebutnya dalam dzikir?
Sekarang mari kita gandengkan nikmat Tuhan yang telah disebut di atas dengan intensitas dzikir sebagai wujud rasa syukur. Apakah sudah cukup untuk ”membayar” sekedar kedipan mata?
Usia hidup rata-rata ummat Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam antara 60 sampai 70 tahun lebih kurang misalnya. Taruhlah rata-rata sampai usia 65 tahun ia bertahan dalam pengembaraan hidup di dunia. Dalam bahasa fiqih, ada batasan seorang muslim terkena taklif yang disebut usia baligh. Maka kalkulasi ibadahnya baru dihitung setelah ia baligh. Rumus sederhananya barangkali demikian :
Tutup Usia (65 th) – masa baligh (15 th) = Panjang usia taklif (50 th). Maka sepanjang usia 50 tahun hidup itulah, pembuktian rasa syukur dan intensitas dzikir seorang muslim dihisab setiap detik.
Menarik sekali Al Qur’an mengingatkan agar manusia banyak-banyak berdzikir. Bisa jadi, karena intensitas dzikirnya teramat sedikit ditelan kesibukan yang tak berujung. Cobalah renungkan fakta waktu yang dihabiskan manusia.
Waktu berjalan dalam hitungan detik, menit, jam dan hari. Lalu minggu, bulan dan tahun. Sehari semalam berdurasi 24 jam atau setara dengan 1.440 menit atau 86.400 detik. Dalam kungkungan waktu itulah manusia hidup dan bergulat dengan aneka aktivitas. Lalu berapa lama porsi kita berdzikir? Kalau kita ambil 5 waktu sholat wajib saja yang kira-kira hanya memakan waktu 10 menit, hasilnya memang sangat minim, hanya 50 menit dalam sehari. Kurang dari satu jam dari 24 jam waktu tersedia. Bolehlah kita genapkan saja jadi 1 jam.
Bayangkan, dalam seminggu kita hanya menghabiskan waktu untuk sholat setara 5,8 jam saja dari 168 jam tersedia. Sebulan hanya 25 jam, setara dengan sehari semalam lebih satu jam, padahal hitungan jam dalam sebulan tidak kurang dari 720 jam dalam 30 hari. Lalu setahun kurang lebih tersedia waktu 8.760 jam selama lebih kurang 365 hari. Dalam setahun, sholat menghabiskan waktu tidak lebih hanya 360 jam, setara dengan 15 hari.
Berapa waktu yang dihabiskan untuk sholat selama kurun waktu 50 tahun? Jika dirata-ratakan dalam sehari semalam butuh waktu 1 jam untuk sholat, maka akan ditemukan angka 18.250 hari dalam 50 tahun. Ini berarti 18.250 x 1 jam = 18.250 jam. Angka ini setara dengan hanya 2 tahun saja dari kurun waktu 50 tahun. Ini pun belum tentu sholat yang didirikan padat berisi di sisi-Nya. Subhanallaah. Sepadankah untuk ”melunasi” rasa syukur atas nikmat bernafas dan berkedip saja?
Sekarang mari bandingkan dengan aktifitas lain. Tidur misalnya. Waktu tidur yang sehat dan umum lebih kurang 8 jam perhari. Berarti dalam 50 tahun, waktu yang habis dipakai tidur setara dengan 18.250 hari dikalikan 8 jam. Hasilnya sama dengan 146.000 jam. Angka ini setara dengan 16 tahun 7 bulan untuk tidur.
Aktifitas kerja standar lebih kurang 9 jam perhari. Dalam 50 tahun berarti 18.250 hari dikalikan 9 jam. Hasilnya 164.250 jam, setara dengan 19 tahun 2 bulan.
Waktu aktifitas santai atau relaksasi lebih kurang 6 jam dengan berbagai kegiatan menyenangkan dalam sehari. Dalam 50 tahun waktu yang dipakai relaksasi berarti 18.250 hari dikali 6 jam. Hasilnya 109.500 jam. Angka ini setara dengan 12 tahun 9 bulan. Cukup fantastis untuk acara santai semacam nonton TV sambil minum kopi, belanja dan hal-hal lain yang sifatnya santai.
Ternyata, dibanding dengan aktifitas lain, intensitas dzikir terlalu sedikit. Sementara nikmat yang kita rasakan terlalu banyak. Bahkan terlampau banyak hingga tidak ada angka untuk menjumahnya. Wajarlah Al-Qur’an mengingatkan agar orang beriman tidak putus berdzikir hanya sebatas shalat wajib. Tetapi menambahnya dengan nafilah. Di samping itu, Kanjeng Nabi mengajarkan agar aktifitas positif yang kita geluti selalu harus dibuka dan diakhiri dengan dzikir. Tentu dzikir sebagaimana beliau mencontohkan dalam lafdz dan kaifiahnya.
Ya, Rabb … malu rasanya hamba di hadapan-Mu.
Depok, saat Desember lewat tengah malam.