Setelah berbulan-bulan tak ada kabar yang jelas. Setelah sekian waktu jadwal kepulangan saya ke tanah air belum bisa dipastikan, maka suatu malam saya dipanggil sang majikan untuk berbicara empat mata. Saat pertemuan itu ada kalimat terindah yang pernah saya dengar dari mulutnya. Kalimat itu adalah, "Akhir bulan ini kamu pulang ke Indonesia."
Saya terdiam. Tapi saya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang bergejolak di dada ini. Pulang! Sebuah kata yang sangat indah di telinga saya. Setelah dua tahun lebih saya meninggalkan orang-orang yang saya cintai: isteri, anak, keluarga yang lain, teman dan siapa saja orang-orang yang dekat dengan saya sebelum berangkat merantau ke negeri seberang.
Terlintas dalam pikiran saya, tentang masa lalu. Tentang sepenggal dari episode kehidupan saya pada masa duduk di sekolah menengah. Waktu di mana saya harus meninggalkan kampung halaman yang amat sangat saya cintai.
Selepas tamat sekolah dasar, orang tua saya mengirim saya untuk meneruskan pendidikan di kota. Karena kampung saya jauh dari kota, maka saya harus kost. Itu saya jalani dari SMP sampai tamat SMA. Dan saya selalu teringat saat yang paling indah, saat yang paling menyenangkan, yaitu saat datang hari Sabtu. Sebab di akhir pekan itu saya pulang kampung. Saking gembiranya kalau datang hari Sabtu, sayasering menyebutnya "Pulang ke pinggir sorga." Sebab akan bertemu dengan orang tua. Dan biasanya ibu saya sudah menyediakan makanan-makanan kesukaan saya. Yang tentunya sangat jarang saya temui di rumah kost.
Nah, saat mendengar kalimat dari majikan saya itu, hati saya sama persis seperti ketika mau pulang kampung di masa-masa menempuh pendidikan di kota saya, beberapa tahun yang lalu.
Sejak itu, hari-hari saya diliputi kegembiraan. Walaupun pekerjan yang saya tangani sebenarnya sangat banyak. Ocehan-ocehan dari majikan yang bersifat memarahipun tak begitu saya pedulikan. Artinya, apa yang ia omongkan hanya saya masukan telinga kanan dan saya keluarkan lewat telinga kiri. Bahkan terkadang, hati dan pikiran saya seolah sudah di kampung sendiri, padahal jasad saya masih bermandi keringat di negeri orang.
Suatu hari seorang teman menangkap perangai saya. Dan teman saya itu berkomentar. "Duh, gembiranya mau pulang kampung, ya…." Saya senyum-senyum saja mendengar itu. Memang itulah adanya.
Namun, di siang bolong yang terik mataharinya mencapai titik kulminasi, saat saya merebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba saya berpikir keras. Sambil melihat langit-langit kamar, saya bergumam sendiri. "Apakah kegembiraan ini bisa bertahan lama, atau setidaknya sampai ke Indonesia nanti?’
Saya tak bisa menjawab pertanyaan saya sendiri itu. Bahkan tiba-tiba pikiran saya melayang terlalu jauh ke depan. "Mampukah saya segembira ini jika nanti Allah juga memberikan kalimat itu kepada saya?"
Ya, setelah merantau, pasti saya akan pulang. Sama juga setelah saya diberi kesempatan hidup di dunia, pasti juga akan dipanggil pulang. Dan kepulangan yang terahir ini jelas tidak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Cepat atau lambat, Allah akan menyapa juga dengan kalimat yang tak beda jauh dengan kalimat majikan saya, walau dengan nuansa yang berbeda, tentunya.
Kalau pertemuan saya dengan semua keluarga nanti di tanah air mampu memberikan kegembiraan yang luar biasa pada saya, mampukah saya juga berperasaan yang sama tatkala saya nanti akan berjumpa dengan Sang Pencipta?
Saya tertunduk lama. Lama sekali. Bahkan tak terasa air mata ini memberontak ingin keluar. Seolah memerintahkan saya untuk cepat-cepat berintrospeksi diri, tentang apa yang telah saya perbuat di "rantau" ini.
Bekal saya belum seberapa. Entah dalam tingkatan yang mana derajat keimanan saya. Komitmen saya terhadap aturanNya belum bisa saya jadikan barometer untuk menjadikan saya tersenyum di hadapanNya. Apalagi merasa gembira.
Namun, walaupun demikian, mudah-mudahan kepulangan saya ke tanah air tercinta akan menjadi pelajaran besar untuk menyongsong kepulangan saya yang sebenarnya, yaitu pulang ke pangkuanNya. Sehingga ketika kalimat terindah dari Allah, yang dibawa malaikat penyabut nyawa,datang menyapa saya, mudah-mudahan saya bisa menyambutnya dengan senyum kegembiraan. Seperti senyumnya para kekasih Allah ketika dipanggil pulang menuju kampung abadi, kampung akhirat.