Bulan maulid (baca: Rabi’ul Awwal) lalu, saya menggabungkan diri dengan majlis maulid di sekitar tempat tinggal. Ketergabungan saya dalam majlis itu atas niat baik, merajut ukhuwah, selain karena ada waktu agak luang.
Perayaan Maulid, memang bagi sebagian kita bukan perkara yang tak penting. Sebaliknya, dimata sebagian lagi merupakan perkara yang harus (baca: menyerupai wajib) dirayakan. Ini hanya soal persepsi. Sekali lagi, ini sekedar persepsi kita terhadap masalah furu’iyah yang tak perlu diperdebatkan. Menurut mitos yang ada, Maulid dan kebetawian adalah satu paket. Bukan orang betawi kalau tidak maulid.
Sementara ini, mari kita sepakati bahwa ini merupakan masalah furu’iyah yang tak perlu diusik. Tapi siapa nyana, rupanya proses ‘pengusikan’ itu di antaranya ada dalam perayaan maulid yang agung. Setidaknya, di 24 tempat (dikampung-kampung betawi) yang saya hadiri, meski kurang representatif, namun hal ini dapat menjadi ukuran bagi kaum muslimin Jakarta, betapa hal furu’iyah ini sangat mengganggu.
Maulid yang digelar besar-besaran di Jakarta, yang mengundang Kyai, Habaib, Usatidz pilihan yang semangatnya menyala-nyala (plus lucu), tak elak hanya sebagai moment saling menghujat antar kelompok yang beda pendapat. Kelompok A menghujat golongan yang anti-maulid sebagai golongan anti-sunnah, dan mengklaim kelompoknya sebagai ahli-sunnah.
Dengan berjuta hujjah, meyakinkan jama’ah Maulid untuk percaya diri bahwa merekalah yang dimaksud ahlu-sunnah waljama’ah, sehingga letupan kebencian –kecil maupun besar- keluar secara spontan untuk mendoakan hal yang buruk bagi kelompok B yang anti-maulid.
Di tempat lain, saya sempat mengikuti pengajian yang digelar kelompok B (yang katanya anti-maulid). Pengajian biasa. Tidak seperti Maulid yang digelar kelompok A, yang mendatangkan penceramah kondang bertitel KH, menyiapkan soundsystem bernilai jutaan, memasang tenda-tenda mewah, buah-buah mahal, hidangan luar biasa dan dana yang tak sedikit.
Kelompok B, yang menggelar pengajian biasa itu, menjelaskan dengan bijak, perihal hokum maulid. Tapi, tetap saja, membuahkan hujatan terhadap kelompok A yang menurut mereka ahli bid’ah, dan ahli bid’ah itu sesat, dan sesat itu ditempatkan dineraka.
Sebetulnya bukan maulid saja yang saling dijadikan bahan hujatan. Ada tahlil, ada qunut, ada fatihah yang tanpa basmalah, bla bla bla. Banyak lagi. Dan bahan-bahan itupun tak pernah disulam sedemikian rupa menjadi kain yang dapat dijadikan bendera warna-warni.
Capek memang bicara tentang ukhuwah, ya karena semua menganggap hal tersebut utopis. Perpecahan adalah rahmat, begitu senjata yang digunakan. Kalau kasus ini terus bergulir dari hari kehari, hujat menghujat, cela mencela, hina menghina, tanpa mengambil titik temu dalam satu ruangan.
Kalau begini terus, kapan bersatunya? Menunggu datangnya Imam Mahdi? Menunggu Israel hancur? Atau menunggu negara kita bersyariatkan Islam? Wallahu a’lam. Dia Yang Maha Berencana