Beberapa hari lalu masuk ke ponsel suami saya sebuah SMS. Rupanya orang yang mengirim SMS tersebut menurut suami sedang dalam kondisi bingung menentukan sikap saat ditawari sebuah pekerjaan. Dia meminta pendapat suami tentang boleh tidaknya menerima tawaran kerja tersebut. Saya sedikit mengernyitkan dahi, merasa penasaran apa yang menyebabkan orang tersebut kebingungan. Tak lama kemudian suami menuturkan lebih lanjut tentang masalah yang dihadapinya, ternyata satu hal yang menyebabkan dia gamang adalah karena pihak yang menawarkan lowongan pekerjaan tersebut meminta uang sebesar 20 juta sebagai jaminan agar bisa diterima bekerja sebagai PNS.
Sebenarnya cerita tentang hal ini sering mampir di telinga saya. Menyuap dan disuap, menyogok dan disogok bukanlah sesuatu yang asing melandanegeri kita. Banyak orang berlomba-lomba ingin mendapatkan suatu kedudukan tak peduli caranya benar atau salah dalam pandangan agama. Saya hanya bisa mengurut dada prihatin. Sampai kapankah keadaan ini mengotori wajah cantik negeriku?
Saat melamunkan semua itu, saya teringat seorang teman saat saya masih kerja di sebuah instansi pemerintah. Ia bekerja di instansi yang lokasinya berdekatan dengan tempat saya. Ia seorang bapak muda dan telah memiliki dua anak. Kami pertama kali bertemu saat kajian jumat sore, sebuah kegiatan rutin yang diselenggarakan atas kerjasama tiga instansi yang ada di wilayah tersebut. Sejak itu saya, suami, dia dan teman-teman lainnya sering berdiskusi membicarakan kegiatan keIslaman di lingkup kerja masing-masing.
Saya mengenalnya sebagai sosok yang semangat mempelajari Islam. Ia selalu berusaha menerapkan norma- norma Islam dalam kehidupannya termasuk di tempat ia kerja. Ia pun menjadi lebih berhati-hati dengan uang yang diterimanya di luar gaji bulanan. Tak ayal hal ini menyebabkan beberapa temannya menjauh karena merasa ia menjadi sosok yang "aneh" di mata mereka.
Suatu hari ia menemui saya dan menyampaikan keinginannya untuk berhenti bekerja. Bukan karena masalah diasingkan teman-temannya. Tetapi ia merasa hatinya tak bisa tentram dan selalu ingin berontak terhadap sistem yang ada di tempatnya bekerja. Akan tetapi ia merasa tak berdaya dan tak bisa berbuat apapun untuk memberi andil dalam perbaikan sistem tersebut, terutama dalam hal kebijakan mengenai keuangan. Mendengar cerita yang ia sampaikan pada kesempatan itu, saya hanya bisa menghela nafas.
"Jadi menurut Bapak, berhenti bekerja merupakan jalan terbaik? Apa Bapak enggak sayang setelah sekian lama bekerja lalu mau berhenti begitu saja disaat orang lain malah berlomba-lomba ingin menjadi PNS? Apa Bapak sudah memikirkan masak-masak?" tanya saya bertubi-tubi memastikan kesungguhan niatnya.
"Iya Mbak, apalah artinya jabatan yang saya sandang selama ini, belum bisa menjadi penentu bahkan mengusulkan perbaikan pun tak akan digubris." jawabnya.
"Hati saya tak bisa didustai Mbak, untuk itu saya akan mencoba menjemput rejeki Allah dari pintu yang lain. Saya yakin masih banyak pintu rejeki terbuka untuk saya karena keinginan berhenti dari tempat ini tak lain hanya karena rasa takut saya pada Allah." Ia menjelaskan tekadnya dengan suara sedikit bergetar dan parau.
Selang beberapa minggu, saya kembali bertemu dengannya. Nampak wajahnya berseri-seri memancarkan keoptimisan.
"Assalamu’alaikum, senang bisa bertemu lagi dengan Mbak. Saya mau memberitahu sesuatu. Alhamdulillah saya sudah berhenti kerja dan kini sedang merintis usaha jualan buku-buku Islam." Ujarnya riang, wajahnya menyiratkan kebahagiaan, berbeda sekali dengan beberapa waktu lalu.
Ternyata teman saya itu sungguh-sungguh menjalankan tekadnya. Saya termangu setelah menjawab salamnya.
"Penghasilannya sih enggak seberapa, tapi hati saya tenang", ujarnya dengan senyum terkembang.
"Alhamdulillah, anak-anak terutama isteri dapat menerima keputusan saya. Saat ini saya hanya berharap keberkahan dari rejeki yang kini jadi mata pencaharian saya, doakan ya Mbak?" pintanya penuh harap.
"Insya Allah!" jawab saya singkat.
Usai berpamitan dan mengucap salam, ia bergegas pergi. Entah bagaimana pikiran dan perasaan saya saat itu setelah mendengar keputusannya berhenti. Namun ada sesuatu hal yang membuat saya salut pada sikap yang dia pilih. Di saat hatinya merasakan sinyal-sinyal tak wajar yang membuat ia tak tentram menikmati hidup karena rasa takutnya pada Allah, dengan ringan hati ia lebih memilih untuk menjemput rejeki dengan jalan lain. Suatu sikap yang sangat jarang menjadi pilihan hidup orang di zaman ini. ***