Kami sedang bersantai menikmati Ahad pagi. Matahari belum tampak, membuat kami enggan beranjak. Saya dan adik perempuan saya satu-satunya, masing-masing sibuk dengan buku di tangan dengan posisi tak karuan. Begitulah gaya membaca kami yang sampai sebesar ini sulit diubah. Ibu adalah orang yang paling ribut dengan posisi membaca kami yang sering seenaknya. Lalu keluarlah ancaman, “tak ada anggaran untuk kaca mata baru”. Kali ini persoalan kaca mata tidak terdengar karena ibu sedang sibuk dengan sarapan pagi.
Tiba-tiba gelap. Serentak kami melihat lampu. Lalu kami sama-sama tertawa ketika tahu bahwa sumber kegelapan adalah saklar yang dipencet oleh nenek. Saya tidak tahu apakah beliah tahu bahwa kami sedang membaca. Lalu saya beranjak menekan saklar hidup. Kami membaca lagi. Lalu gelap lagi. Lalu kami nyalakan lagi. Lalu dimatikan lagi, tentu saja dengan senyum nenek yang seperti “menggoda”. Merasa tak bakal menang “melawan” beliau, kami pindah ke dapur di belakang rumah.
Begitulah, banyak hal yang “lucu sekaligus menjengkelkan” ketika menghadapi nenek. Dulu saya sering sampai benar-benar marah. Saya terlalu mengharapkan kewibawaan dan kedewasaan beliau. Sedang beliau semakin bertambah uzur seiring bertambah umur. Dan saya bertambah “dewasa” seiring bertambah umur juga. Jadi praktisnya, sebagian mengalami kemajuan dan sebagian mengalami kemunduran. Maka pertemuannya adalah pada pengertian. Tentu saja ada yang perlu melakukan toleransi yang lebih untuk pengertian ini, siapa lagi kalau bukan kita.
Maka mengelola yang “lucu dan menjengkelkan” itu menjadi menarik. Saya jadi sangat bersyukur mengalami hal-hal yang “aneh” bersama beliau. Bayangkan saja, kami baru saja diruwat*) dengan adat jawa oleh nenek saya. Padahal keluarga saya dipandang sebagai yangdekat berurusan denganaktivitas dakwah. Rasanya sulit menerima kenyataan bahwa saya mengalami peristiwa ini. Juga persepsi beliau tentang makna “kaya” yang begitu banyak unsur materi sehingga membuat saya jadi selalu merasa dituntut memiliki banyak uang. Pada mulanya ini juga sangat meresahkan.
Mengingat beliau, membuat saya sekaligus mengingat nenek dan kakek-kakek saya yang lain. Ada banyak hal yang membuat saya selalu ingin mengunjungi beliau untuk mendengarkan nasihat atau sekedar bercerita ringan. Tentu saja cerita di atas tadi hanyalah sebagian dari kisah manis yang melengkapi kebersamaan saya dengan kakek-nenek. Ada banyak makna yang turut serta menjadi proses pendewasaan hidup saya. Karena semua kisah itu adalah hikmah yang harus diarifi.
Lebaran tahun ini saya bersilaturahim ke rumah nenek dan kakek-kakek saya. Nenek saya lima bersaudara. Masing-masing memiliki nilai hidup yang unik sesuai perjalanan hidupnya. Beliau juga memiliki nasihat yang khas yang selalu saya rindukan untuk mendengarnya, minimal setiap lebaran.
Nenek pertama. Beliau yang sebagian telah saya ceritakan di atas. Saya paling sering diajaknya ke pasar, belanja dagangan dan dikenalkan dengan relasi-relasinya. Saya bahkan diberinya uang seratus ribu rupiah untuk belanja kaos pantai untuk saya jual kembali, mengembangkan usaha sendiri, mendesain display dan mengambil keuntungannya untuk kebutuhan saya sendiri. Modal itu cukup besar untuk seorang anak yang belum lulus SD waktu itu. Saya pun boleh membeli buku atau majalah yang saya suka sebagai bonus di luar keuntungan yang saya peroleh. Pengalaman menjual ini begitu bermanfaat bagi saya kemudian. Ada yang tertanam kuat dalam diri saya melebih besar jumlah modal itu, bahwa menjaga kepercayaan orang dan semangat kerja keras itu nilai yang sangat berharga untuk keberhasilan kita.
Nenek kedua. Sekolahnya tak setinggi nenek pertama. Beliau yang paling mengkhawatirkan kesehatan saya. Beliau paling sering menasihati tentang etika-etika sebagai anak perempuan Jawa. Beliau telaten menyimpan semua barang saya yang tertinggal di rumahnya. Lemarinya penuh bando, pita rambut, sepatu atau sapu tangan yang tidak pernah kami ambil setelahnya, sampai kami remaja. Saat kami beranjak semakin besar, sekaleng peyek kacang merah adalah makanan favorit kirimannya sebagai teman membaca di rumah atau di kos. Perhatian-perhatian khas ini meletupkan kerinduan dan tak bisa saya nikmati lagi. Beliau telah meninggal.
Kakek ketiga. Beliau tidak pernah absen menanyakan kabar nilai-nilai sekolah saya. Pun sampai sekarang, saya seperti merasa punya agenda rutin melaporkan IPK (Index Prestasi Kumulatif). Beliau yang paling sering mengingatkan saya untuk mengutamakan tugas sebagai seorang pelajar. Maksudnya supaya saya mampu membuat prioritas terhadap semua hal yang ingin saya lakukan. “Sekolah zaman sekarang sudah semakin maju. Pasti banyak kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang penting dan menarik, tapi harus diurutkan supaya sampai ke tujuan dengan baik.”
Kakek keempat. Beliaulah kakek saya yang paling “gaul”. Pikiran-pikirannya berjiwa muda. Mendukung semua “petualangan” saya, termasuk kelika saya memilih jalan hidup yang tidak populer. Beliau satu-satunya yang selalu menanyakan alasan-alasan pilihan aktivitas atau sikap saya. Dari yang sangat filosifis, politik praktis sampai hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Beliau akan mendengarkan sepanjang apapun saya bercerita. Beliau membesarkan saya dengan kepercayaan penuh untuk melakukan berbagai “ekperimen” dalam hidup. Banyak pilihan dalam menjalani hidup ini. Dan saya tahu bahwa beliau hanya ingin memastikan bahwa saya sadar dan mengerti mengapa saya melakukannya.
Kakek bungsu. Beliau telah meninggal karena kecelakaan sepulang mengajar beberapa waktu lalu. Kakek dan nenek yang lain tinggal berdekatan. Sedang kakek yang satu ini tinggal paling jauh. Rumah beliau adalah tempat liburan paling menyenangkan semasa SD. Beliau memiliki putera yang sebaya dengan saya. Suatu ketika kami ingin menonton televisi. Kakek menanyakan acara apa yang akan kami tonton. Padahal sebenarnya kami tidak tahu. Lalu kami hanya diminta membaca agenda acara televisi di koran. Kami memang tidak punya alasan dan tidak menemukan acara yang menarik, kami hanya ingin tahu saja. Kata beliau, “Melihat atau membaca saja apa yang benar-benar kita inginkan atau kita butuhkan. Masih banyak yang harus kita pelajari.”
Lalu kami akan disibukkan dengan buku-buku cerita, peta-peta, majalah, koran, tanaman di kebun dan ternak ayamnya. Sekarang saya merasakan bahwa saya telah belajar menggunakan media, bukan tergantung pada media. Pada keluarga ini saya juga belajar tentang tolerasi terhadap keyakinan yang berbeda. Saya sungguh berhutang tentang makna kedewasaan beragama. Subhanallahu wal hamdulillah, beliau telah kembali kepada Islam (termasuk putra-putrinya) sebelum beliau meninggal.
Sungguh, siapa kita hari ini adalah olahan pengalaman berinteraksi dengan berbagai hal. Ini hanyalah kisah tentang lima orang kakek-nenek kandung saya. Karena tak akan cukup lautan tinta untuk menuliskan nikmat dan ilmu Allah yang elok sempurna. Dan tentu saja saya bukanlah orang yang luar biasa. Tapi berbekal cinta dan nasihat-nasihat yang sangat berharga ini saya serasa petualang yang siap mengarungi dunia yang penuh tantangan. Warisan ini seperti berlian dalam genggaman, yang harus erat saya jaga dan manfaatkan.
Maka mari kita doakan beliau semua. Semoga apa yang tidak sempat diyakininya, yang tidak sempat diamalkannya diampuni Allah yang Maha Kasih. Semoga apa yang menjadi inspirasi kebaikan bagi anak dan cucunya menjadi amal jariyah, pembawa terang pada gelap kuburnya kelak. Semoga kesejahteraan pada ujung usianya akan terus abadi dalam nikmat berbobotnya timbangan kebaikan karena kesungguhan do’a orang-orang yang shalih yang mendo’akannya. Sebagaimana beliau selalu bersungguh-sungguh menyayangi kita meski dengan pengetahuan apa adanya.
Yogyakarta, 13 November 2006 Untuk semua kakek-nenek yang penuh cinta, spesial buat simbah di tenda Posko Kecamatan Pundong.
*) Ruwatan itu semacam upacara selamatan dengan mengadakan ritual Jawa tertentu dan mengadakan pementasan wayang kulit semalam suntuk.