Kabar Harta dan Iman

Hari ini, 13 Desember, adalah hari kelahiranku. Kebetulan sore kemarin saya membaca majalah Islam bertema utama ‘Apa Kabar Wahai Diriku’. Sungguh, kurasakan tepat sekali dengan keadaan diriku yang hari ini berulang tahun, di mana pada momen seperti ini sangat baik dilakukan perhitungan diri (muhasabah). Majalah itu seakan mengingatkan diriku untuk segera mengevaluasi perjalanan hidup dan mempertanyakan kembali capaian-capaian yang telah kuukir sepanjang hidupku hingga detik ini. Sebuah ungkapan bijak dari Mahran bin Maimun Rahimahullah cukup memotivasi saya untuk melakukan perhitungan diri itu. Dia mengatakan bahwa seorang hamba tidak disebut bertaqwa sebelum menghitung dirinya sendiri sebagaimana dia menghitung teman sejawatnya; dari mana pakaiannya dan dari mana makanannya.

Saya mencoba memutar kembali roda perjalanan hidup. Ada banyak masalah yang sudah saya hadapi. Ada kalanya saya berhasil —dengan pertolongan Allah—mengatasi masalah itu. Namun tidak jarang saya gagal memecahkan permasalahan yang meliputi diri. Ada banyak hikmah tentu saja. Saya makin menyakini akan kelemahan diri, dan saya makin menyakini bahwa segala permasalahan itu adalah bermuara kepada kemurahan Allah untuk penyelesaiannya. Terlalu sombong seandainya saya mengatakan saya berhasil mengatasi permasalahan hidup saya, tanpa menyebut peran Allah Swt di dalamnya. Kemurahan Allah itu sangat berkait dengan asal harta yang kita makan. Kita tentu masih ingat tentang kisah seorang yang berdoa kepada Allah tetapi tidak dikabulkan karena ada daging di tubuhnya yang tumbuh dari harta haram.

Saya bersyukur, pada saat memasuki dunia kerja sebagai abdi negara, Alhamdulillah saya memasukinya dengan jalan yang bersih di tengah kondisi ribuan bahkan jutaan orang sangat menginginkan status itu walaupun mereka harus menempuh dengan cara-cara batil (menyogok sana-sini). Permulaan yang baik itulah yang boleh jadi menghantarkan diri saya pada keimanan yang lebih baik sehingga Allah berkenan menolong dalam masalah yang saya hadapi. Saya tidak bisa membayangkan andaikan dulu saya menyandang status abdi negara dengan menempuh cara-cara yang tidak ‘elegan’, Wah, saya khawatir keimananku bisa jadi terpuruk. Dan keterpurukan itu boleh jadi melahirkan banyak permasalahan di kemudian hari. Apa yang dikemukan oleh Mahran bin Maimun di atas adalah benar, bahwa permasalahan-permasalahan besar bisa dirunut (trace) pada hal-hal yang kelihatan sepele, yaitu darimana harta yang diperoleh itu berasal.

***

Ada dua masalah yang coba saya bagikan. Ujung dari masalah itu adalah keimanan. Dan saya bersyukur Allah memberi petunjuk untuk memperbaiki keimanan dalam rangka menyelesaian masalah-masalah itu.

Masalah pertama, ketika saya memasuki usia layak nikah dan tiba saatnya menentukan dengan siapa saya hendak menikah. Tentu saja saya menentukan kriteria wanita yang paling ideal. Rasulullah SAW mengisyaratkan tentang motif seorang lelaki menikahi seorang wanita ada empat hal, yaitu hartanya, kecantikannya, silsilahnya, dan agamanya. Sebagai seorang lelaki yang masih kental dengan nuansa egoisme, tentu saja saya mengharapkan semua itu ada pada calon isteriku (four in one). Faktanya kemudian, mencari seorang wanita dengan kriteria ideal seperti itu sangatlah sulit dan mustahil. Jika pun ditemukan wanita seperti itu, belum tentu ia pun mau, sebab bisa jadi sayalah yang dinilai tidak layak (sekufu) baginya.

Akhirnya saya mulai berpikir benar juga. Saya ini tidak tampan, bukan dari keturunan keluarga ningrat, bukan dari keluarga kaya, dan agama saya pun belum tentu bagus. Bisa jadi ilmu agama saya masih minim dan kualitas keimanannya pun sangat rendah. Buktinya, saya masih tergiur oleh hawa nafsu dengan menginginkan seorang wanita yang cantik.

Hari berjalan demi hari, usia makin bertambah, sementara calon isteri yang kudambakan pun tidak pernah terwujud. Seiring dengan makin menggebunya hasrat untuk menikah, kriteria yang saya ajukan pada diriku pun mengalami penurunan drastis, mengerucut pada masalah dien semata. Beruntunglah saya mendapat petunjuk untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya. Masih saya ingat kemudahan itu datang setelah sebulan penuh saya menjalani ketaatan di dalam bulan Ramadhan dan I’tikat di masjid kampus. Kemudahan itu datang setelah bait-bait doa saya panjatkan pada malam-malam munajat di bulan Ramadhan itu.

Petunjuk itu datang —sesuai dengan ungkapan ulama di atas— bisa jadi karena harta-harta yang saya peroleh masih bersih (Insya Allah). Saya diberi keyakinan bahwa laki-laki yang baik adalah untuk wanita baik dan wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Maka tidak cara lain bagi diri saya untuk mendapatkan wanita yang baik diennya (sholehah), kecuali meningkatkan level keimanan hingga selevel (sekufu) dengan wanita sholehah yang saya dambakan.

Masalah kedua, adalah problematika dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Dalam beberapa hal, saya memiliki sifat yang berseberangan dengan isteri. Jika diibaratkan, isteri saya bertipe wanita anshar yang banyak bertanya dan banyak berargumentasi dalam mencari titik temu dalil yang lebih baik. Namun demikian dalam hal tertentu, sebagaimana wanita secara fitrahnya, isteri saya cepat tersentuh emosinya ketika menjumpai sesuatu yang tidak menyenangkannya. Nah, suatu ketika saya merasa tidak berdaya dalam mengendalikan isteri saya. Isteri pernah sekali mengalami masa-masa sensitif dan cepat sekali tersinggung. Sementara, saya sama sekali tidak bermaksud menyakiti hatinya. Saya jadi serba salah. Diam salah, bicara pun salah. Pernah terlintas perasaan ingin bercerai saja, atau perasaan ingin berpisah dan perasaan sesal atas terjadinya pernikahan. Sungguh teramat sulit waktu itu menyatukan dua pikiran dan perasaan kami yang berbeda.

Namun sekali lagi, dalam puncak keputusasaan, Alhamdulillah Allah memberi petunjuk bahwa saya harus memperbaiki ibadahku, saya harus mendekatkan diri pada Allah dan memohon kepada Allah untuk melunakkan hati kami masing-masing. Ya, saat itu tidak ada yang dapat saya lakukan selain menyerahkan permasalahan hanya kepada Allah dan memperbaiki hubungan dengan-Nya. Sebab Dia-lah yang mengendalikan isi hati, dan dialah yang berkuasa menyatukan dua hati yang berbeda. Al-hasil, sangat terasa bahwa Allah memang melunakkan hati-hati kami. Kami saling menyadari kelemahan masing-masing, kami saling meminta maaf, dan kami saling mengedepankan kebaikan atas segala persinggungan yang terjadi.

***

Dua masalah tersebut adalah sebagian contoh dari berbagai permaslahan yang saya hadapi. Boleh jadi, setiap kita memiliki masalah seperti itu dan sesungguhnya masalah kehidupan yang kita hadapi jauh lebih banyak dan bisa jadi jauh lebih pelik.

Satu pelajaran besar yang bisa saya petik dari perjalanan saya adalah bahwa muara permasalahan bisa dikembalikan pada masalah keimanan. Allah telah memberi jaminan untuk ini. Dia berfirman, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. ” (QS 65:2). Dan bisa jadi, keimanan atau ketaqwaan ini sangat dipengaruhi oleh asal harta sebagaimana diungkap ulama tersebut di atas.

Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa pada setiap masalah kehidupan ada peran keimanan di dalamnya. Keimanan yang mantap menjadikan hidup ini seakan tiada permasalahan yang berarti. Akan tetapi, tentu tidak semudah itu kita mengatakannya. Iman harus senantiasa dijaga dan diperbaharui agar tetap bersinar, seperti kita menjaga benda paling berharga dalam kehidupan (permata) dari kotoran-kotoran yang akan merusak keindahannya.

Sepantasnyalah kita selalu menanyakan pada kita ‘bagaimana kabar iman’, tidak hanya pada momen tertentu saja tetapi setiap hari sebelum ajal menjemput.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, ”Hendaknya seseorang duduk beberapa saat ketika akan tidur. Lalu mengevaluasi dirinya atas kerugiannya, dan keuntungannya hari itu. Kemudian memperbaharui taubatnya yang sungguh-sungguh antara dirinya dan Allah Swt. Setelah itu tidurlah dalam kondisi taubat dengan bertekad untuk tidak mengulangi dosa yang sama setelah bangun nanti. ”

Semoga Allah Swt memberi kita pakaian dan makanan yang baik dan keistiqomahan dalam keimanan. Dengan itu Allah Swt berkenan memberi jalan keluar atas segala permasalahan yang kita hadapi. Insya Allah. Waallahu’alam.

(Catatan Muhasabah Ulang Tahun, Semoga keberkahan atas diriku. Amin.)