Pak Agus. Begitulah ia disapa. Ia bukan siapa-siapa. Bukan pula termasuk menteri yang direshuffel ataupun yang dilantik menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Tetapi peran kesehariannya begitu berarti. Sejak 2 tahun lalu, ia bersama 56 keluarga terus berjuang mengadu nasib di Ibu Kota untuk terus bertahan hidup di jantung negara ini.
Kesehariannya adalah sebagai pemimpin para pemulung. Banyak orang yang menganggap pekerjaan ini terlalu murahan. Tetapi bagi pak Agus menjadi pemimpin para pemulung menjadi begitu terhormat. Melalui kebersamaannya dengan para pemulung, ia terus menyemangani para pemulung untuk tidak putus asa.
Bagi komunitas pak Agus, barangkali bekerja sebagai pemulung tak lepas dari upaya memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Tetapi bagi bangsa ini, perjuangan komunitas pak Agus ini adalah sebuah perjuangan. Merekalah sejatinya pejuang kebersihan.
Kepedulian pak Agus dkk terhadap sampah, diharpkan dapat menjadi stimulan masyarakat perkotaan. Sampah memang menjadi problem besar di Ibu Kota. Apalagi dengan model pengelolaan Tempat Penampungan Akhir (TPA) secara tidak profesional. Sehingga bagi masyarakat perkotaan sampah tak ubahnya sebagai beban. Lain halnya bagi pak Agus dkk, sampah begitu bernilai guna.
Di negeri yang begitu kaya dengan keanekaragaman sumberdaya lokalnya, orang seperti pak Agus tidak sedikit. Tetapi peran-peran mereka seringkali tertutupi oleh issue politik. Kita tentu masih ingat tatkala gelombang tsunami melanda bumi serambi mekah. Para pengemis pun turut berderma. Padahal kita tau betul betapa mereka sangat membutuhkan. Tetapi nurani mereka begitu luluh merasakan dan menyaksikan penderitaan saudara-saudara mereka yang menjadi korban dan pengungsi.
Tetapi sekali lagi, kepedulian mereka seolah terhenti karena merasa tak ada lagi yang pantas untuk dibantu. Tak ada lagi bencana seperti gelombang tsunami, gempa, banjir, gunung meletus atau busung lapar. Padalah di balik issue politik yang terus mengglinding, saat ini bencana sosial tak kalah dahsyatnya dengan gelombang tsunami. Kemiskinan, rawan pangan, pengangguran dan jutaan pengungsi tengah berjuang untuk bertahan hidup.
Untuk itu, kita perlu pak Agus-pak Agus yang lain. Yang berjuang untuk orang banyak. Merasa tidak nyaman dan nikmat tatkala saudaranya, tetangganya masih kelaparan, masih menganggur dan masih miskin. Dan merasa tak anyaman dengan keterbelakangan bangsanya. Dari sampah saja pak Agus bisa menghidupi 56 KK, apalagi dari sumberdaya yang lain. Semoga. Wallahua’lam bishshowab. (Efri S. Bahri, efrisb@gmail. Com)