Andai saya boleh berandai-andai, andai setiap hari adalah hari kondangan. Tapi saya yakin banyak orang yang akan protes. Karena kondangan berarti menghadiri undangan hajatan khitanan atau walimahan sahabat, atasan atau bawahan di kantor, keluarga dekat, tetangga—sekampung, beda kampung, beda kota; dan bahkan ada kalanya undangan itu datang dari orang yang tidak kita kenal sama sekali. Misal, undangan secara lisan dengan metode kolenang yaitu satu kampung diundang semua tanpa memperhatikan apakah orang yang diundang itu mengenal shobibul hajat atau tidak. Atau menghadiri hajatan mereka yang sengaja tidak mengundang, tetapi tetap menyediakan kombongan untuk menyambut kalau-kalau ada tetangga dekat yang datang.
Dan tentu saja, kita datang tidak semata dengan tangan kosong. Meskipun di kartu undangan atau yang diucapkan secara lisan oleh orang yang dipercaya menyampaikan undangan dengan jelas menyebutkan: untuk memberikan doa dan restu atas syukuran khitan atau walimah. Tetap saja, kita merasa tidak enak kalau datang hanya untuk memberikan doa dan restu atas syukuran khitan atau walimah, mencicipi hidangan yang tersedia—dan memang disediakan, makan, minum, dan kemudian pamit untuk pulang tanpa memberikan apa-apa.
Sehingga pada akhirnya seperti yang sudah menjadi tradisi, ada yang ngamplop, memberi kado, membawa beras, dan berbagai jenis makanan lainnya, atau membawa seekor ayam jago seperti tradisi di kampung kelahiran saya di Sumatera sana. Yang jika diringkas, intinya adalah kondangan—bagi sebagian besar orang, berarti menyumbang. Tidak lebih.
Tapi sungguh, bukan hal itu yang ingin saya bahas pada kesempatan ini. Tetapi tentang hal lain yang saya pikir jauh lebih urgent untuk kita gali sebagai sebuah wacana.
Seperti pagi ini, saya duduk-duduk di teras rumah memperhatikan ibu-ibu muda dan tua, dan beberapa gadis remaja berangkat kondangan beriringan menuju rumah tetangga dekat yang sedang syukuran walimatul ‘ursy. Dari tak kurang seratusan warga kampung saya dan kampung sebelah yang berangkat kondangan—tidak ada yang non muslim di kampung saya, hanya ada satu-dua yang tidak mengenakan busana muslimah; jilbab lengkap dengan gamisnya.
Dari yang paduan warnanya sangat serasi dan tampak anggun pada pemakainya, hingga yang acakadul (eh ada tidak ya istilah ini?) pilihan warnanya sampai-sampai saya tersenyum dikulum. Dari yang kainnya warna kalem hingga ngejreng. Dari yang ukuran jilbabnya lebar hingga yang kekurangan bahan. Semua ada. Ya, kampung kecil saya seperti berubah menjadi Kota Santri pagi ini. Alhamdulillah, syukur saya sambil diam-diam berdoa semoga hari-hari seterusnya tetap seperti pagi ini.
Namun ternyata harapan tinggal harapan, bahkan tidak perlu menunggu hari esok tiba. Sepulang dari acara kondangan itu, mereka—para wanita di kampung saya, sudah menanggalkan jilbab dan gamis mereka dan menggantinya dengan pakaian ‘ala kadar’-nya kembali. Ada yang cukup memakai kaos tipis, celana pendek, atau maaf, bangga hanya dengan memakai kaos dalam saat keluar rumah. Tanpa merasa malu atau berdosa. Begitulah fakta yang ada.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu di bulan Ramadhan. Saat itu seorang pembicara kultum shalat Tarawih menyatakan rasa syukurnya tentang fenomena maraknya pemakai jilbab—khususnya ibu-ibu yang sudah lanjut usia, di lingkungan warga kami. Dia menyebutnya sebagai “tradisi” yang baik. Tanpa menegaskan bahwa sesungguhnya memakai jilbab bukanlah semata hanya “tradisi” yang perlu dilestarikan, melainkan juga sebuah kewajiban bagi setiap wanita muslimah yang sudah kedatangan haid. Bahwa jilbab harus dipakai tidak hanya saat mendatangi pengajian di masjid, pergi kondangan, takziah, ke sekolah dan kampus yang “mewajibkan” para siswi dan mahasiswinya berjilbab, atau di saat usia sudah tua saja.
Namun di manapun dan kapanpun tanpa membedakan wanita paro baya, lanjut usia, atau masih remaja. Karena begitulah yang diperintahkan dalam Kitab Suci.
Saya merasa terpanggil untuk menjelaskan hal itu pada mereka. Sehingga saat giliran kultum saya tiba, saya mencoba meluruskan kembali pandangan mereka tentang jilbab dengan mengutip Q.S. Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nuur ayat 31. Juga beberapa hadits yang membahas tentang kewajiban untuk memakainya.
Lantas adakah hasilnya?
Memang tidak ada perubahan berarti pada penampilan mereka. Akan tetapi, saya merasa sedikit lega, setidaknya saya sudah menyampaikan sebuah kebenaran dengan apa adanya pada mereka. Dan adalah hak mereka sepenuhnya untuk memilih sekaligus bertanggung jawab atas pilihan mereka sendiri—tentunya sambil terus berusaha mengingatkan setiap saat. Bukankah hanya sebatas itu kewajiban saya, juga Anda?
Maka beri peringatanlah karena sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. [Q.S. Al-Ghaasyiyah: 21-22]
Tetapi satu hal pasti yang saya ketahui saat ini, mereka—para wanita di kampung kecil saya, tidak memakai jilbab bukan lantaran mereka tidak memilikinya. Buktinya mereka selalu tampil lengkap dengan busana muslimah setiap berangkat kondangan. Saya yakin sekali itu.
Bagaimana dengan para wanita di kampung Anda? Apa yang telah Anda coba usahakan untuk mengingatkan mereka?
#
Karang Kandri, 24 Januari 2006 @ 11:50:29 a.m.
[email protected]