Tubuh saya sedikit terguncang, ketika kereta yang saya tumpangi masih berjalan terseok-seok di atas relnya yang selalu setia terinjak oleh roda-rodanya yang terus berputar. Di sebelah saya duduk seorang laki-laki muda, yang dengan santainya menghembuskan secara teratur asap nikotin yang membuat saya sedikit terbatuk-batuk. Belum lagi gaya cueknya yang terus mengunyah makanan dan menghirup air mineral yang ada di dekatnya. Padahal saat itu, orang-orang termasuk saya masih menjalankan ibadah puasa. Saya pikir, "Ni orang ngak punya aturan sekali".
“Mau kemana mbak?” tanyanya sambil terus menghembuskan kepulan-kepulan asap.
Sayapun menjawabnya dengan enggan mengenai kepulangan saya ke kota tempat tinggal saya.
“Wah kalo gitu sama dong mbak. Pasti mbak mau mudik lebaran ya. Saya juga mau mudik mbak, mau jemput isteri saya, di rumah mertua,” sambungnya mencoba akrab.
Mendengar jawabannya itu, agak membuat saya sedikit kaget. Wah penampilan gaul begin -bercelana gaya gunung dan rambut yang punya kucir agak panjang- ternyata sudah menikah dan punya isteri. Dan akhirnya membuat lidah saya gatal untuk bertannya lebih lanjut.
“Wah masih muda sekali nikahnya dek, isterinya tinggal di Lampung?” tanya saya ingin tahu.
Kemudian tanpa diminta mengalirlah cerita dari bibirnya. Tentang isteri yang ternyata masih satu fakultas dan kakak tingkatnnya. Tentang proses nikah mudanya, yang tanapa perencanaan. Tentang anaknya yang dititipkan dengan mertuanya. Juga tentang kehidupannya sebelum menikah. Tentang dunia malam yang sering ia lalui. Dari ceritanya itu, saya baru mengetahui bahwa nikah muda yang ia lakukan, karena sang isteri yang telah terlanjur malendung perutnya.
Selama lelaki muda itu bercerita, saya harus banyak–banyak beristigfar dalam hati. Tanpa canggung–cangung dan malu–malu, ia menceritakan kepada saya, mengapa ia berani melakukan perbuatan yang termasuk dosa besar itu.
“Saya memang sudah sering ke diskotik mbak, sejak SMA mungkin. Tapi kalau melakukan perbuatan itu, sumpah deh mbak saya baru melakukannya dengan isteri saya saja. Itu pun dilakukan, atas dasar suka sama suka. Begini–begini saya masih punya iman mbak. Padahal kalau mau jujur, saya sudah sering kok mbak, ngeliat perempuan dengan pakaian yang minim, di diskotik–diskotik yang saya datangi,” ujarnya panjang lebar.
Entahlah, saya juga tak habis pikir. Mengapa ia mau menceritakan semua hal tentang dirinya yang sangat pribadi kepada saya. Namun saya merasa enjoy mendengar celotehan–celotehan dari bibirnya bahkan berlanjut hingga tentang pekerjaan yang ditekuninya.
Ketika saya turun terlebih dahulu, ketika telah sampai pada tempat tujuan. Tak lupa saya sampaikan salam saya untuk isterinya.
Di perjalan pulang ke rumah. Saya masih teringat dengan perbincangan yang hanya beberapa jam di atas kereta tadi. Saya benar–benar tak habis pikir. Apakah menikah, karena suatu insiden alias MBA, sudah menjadi hal–hal yang sudah wajar, di negara yang katanya “Berketuhanan”. Bila perbuatan yang termasuk dosa besar itu, adalah suatu yang wajar–wajar saja. Maka bagaimana lagi hal yang tidak wajar.
Sayapun akhirnya makhum dengan sendirinya. Melihat disekeliling kita, dari tayangan tebahkan mungkin setiap detik, sepertinya tayangan tayangan berbau sex murahan dapat mudah ditangkap oleh indera penglihatan kita. Belum lagi bila kita telah menjelajahi dunia maya dengan menggunakan jasa internet yang dengan mudah menampilkan gambar–gambar yang membuat denyut nadi kita mungkin semakin berpacu lebih kencang. Atau yang paling murah meriah adalah koran–koran kuning yang dengan vulgarnya menampilkan gambar–gambar wanita setengah telanjang, yang dengan mudah dapat kita temui dipinggiran kaki lama dan loper-loper Koran pinggir jalan. Dalam hati saya bertanya. Apakah media di Negara ini hanya bisa menyajikan hal–hal yang jorok dan jijik.
Maka tidak usahlah kita heran atau bengong, bila di sekeliling kita, perbuatan zina atau hal–hal yang jorok dan jijik itu dapat kita jumpai dengan mudah dalam kehidupan kita. Maka tak usahlah heran atau bengong , bila di seliling kita, orang–orang dengan seenaknya melakukan perbuatan–perbuatan jorok dan jijik di depan umum, dan dengan bangga dan tanpa beban pula mengeksposnya ke orang–orang.
Ah, apakah memang generasi bangsa ini telah terkena penyakit akut yang bernama free sex. Apakah penyakit ini memang tak ada obatnya lagi. Hingga perlahan–lahan bangsa dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia ini, akan menjadi bangsa yang telah sukses mematikan tunas tunas penerus perjalanan bangsa ini, dengan kebanggan perilaku amoral yang dilakukannya.
Tetapi pikiran itu cepat-cepat saya tepiskan, ketika saya sesekali mengunjungi masjid di dekat rumah saya untuk mengajar mengaji anak–anak kecil di sana. Timbul secercah harapan di hati saya, masih banyak tunas-tunas muda negeri ini yang mau mengeja huruf–demi huruf kalam Illahi. Bila saya berkunjung ke mushola di kampus, saya yakin dan optimis perbuatan jijik dan kotor itu, tidak mungkin akan dilakukan oleh orang–orang yang sering berkunjung menemui Kekasihnya di tempat suci itu . Ketika saya menjumpai tontonan atau bacaan yang berke-Tuhanan dan beradab, nampaknya hipotesis saya itu tidak akan pernah teruji. Ternyata masih banyak orang–orang yang Beradap dan masih mempuyai rasa malu untuk tidak melakukan perbuatan jijik dan kotor itu, apapun itu bentuknya.
Sekarang, pilihan itu memang ada di tangan kita masing–masing . Apakah masih mau melakukan perbuatan jijik dan kotor itu. Dengan hanya mengagung–agungkan bahwa itu semua dilakukan, atas dasar suka sama suka. Atas dasar bentuk pelampiasan cinta, yang saya tidak tahu definisinya seperti apa. Namun, bila pilihan itu ada di tangan saya . Saya akan mengatakannya dengan lantang bahwa “TIDAK” untuk free sex , apapun itu bentuknya. Bagaimana dengan anda?. Wallahu’alam
Buat mas temen ngobrol di kereta. Thanks udah jadi inspirasi tulisan ini.