Jam delapan malam, sepanjang jalan Himonya terlihat lenggang. Hanya beberapa orang yang berpakaian kerja masih terlihat gontai hendak pulang. Begitupun saya, berjalan santai sambil membawa barang belanjaan. Semenjak pindah tempat tinggal di kawasan Tokyo, belanja malam hari menjadi agenda rutin. Banyak kebutuhan pokok yang dijual dengan harga sale, menjelang supermartket tutup. Lumayan, selain murah, dapat berhemat.
Sedang asyik-asyiknya berjalan, perasaan mulai curiga dengan laki-laki di belakang. Sejak keluar supermarket, bayangannya selalu mengikuti. Berjalan pelan, ia mengikuti pelan. Berjalan cepatpun demikian. Sepertinya, Ia tengah berusaha mengikuti ritme langkah. Hiy…! Sedikit merinding. Pikiran mulai menduga-duga hal yang buruk. Teringat beberapa hari lalu berita yang menghebohkan. Seorang laki-laki, tanpa alasan tega membunuh beberapa pejalan kaki di kawasan Akihabara. "Orang Jepang emang banyak yang stres!" Begitu kata salah seorang teman pernah bicara. Saya segera mempercepat langkah dengan mulut komat kamit berdoa, ketakutan.
"Ano, sumimasen, Musurimu desuka?" (Hmm, maaf, Muslim yah?) Tiba-tiba bayangan di belakang angkat bicara. Tepat saat jalan cepat terhenti karena lampu hijau berubah merah. Deg! Sambil berusaha menenangkan rasa terkejut, jawaban singkat keluar "Iya, betul…." Lalu mata berusaha menilik si pemilik suara. Tubuh tinggi, kulit putih, mata sipit, dengan taksiran usia muda.
"Saya tahu anda pasti muslim dari cara berpakaian." Ucap lelaki tersebut, dengan tangan menunjuk hijab dan baju panjang saya. "Maaf kalau membuat perjalanan anda terganggu. Saya dulu pernah punya teman muslim. Sayang sudah kembali ke tanah air. Melihat anda mengingatkan pada kebaikan teman-teman muslim saya." Ucapannya mengalir, seolah ingin meyakinkan wajah cemas saya. Dari cerita singkatnya, saya sedikit tahu bahwa Ia pernah sangat terkesan berteman dengan beberapa muslim. Berjabat tangan, senyum, rasa kehangatan dan persaudaraan yang tulus. Berbeda sekali dengan pemuda-pemudi Jepang saat ini yang mulai individu, hedonisme dan egois, lanjutnya.
Pertemuan tersebut diakhiri dengan pemberian kartu nama. "Kalau ada buku-buku Islam dalam bahasa Jepang, tolong kirimi saya." Begitu kira-kira ucapan terakhir sebelum berpisah di lampu merah.
Pembicaraan yang tak disangka. Orang Jepang terkesan akan persahabatan dalam Islam? Rasanya ini bukan kali yang pertama saya mendengar. Sebut saja Makiko-san, seorang muslimah mualaf Jepang yang baru saya kenal. Memeluk Islam dalam hitungan tiga bulan tidak membuatnya malu mengenakan penutup kepala. Saat pertama kali berkenalan, saya menduga Ia memeluk Islam karena pernikahan. Dan ternyata dugaan tersebut salah besar, karena Makiko-san yang masih berusia muda, belumlah menikah.
"Saya berIslam karena terkesan akan persahabat dalam Islam." Begitu kira-kira alasannya. Hidayah tersebut diperoleh saat sedang menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Di negeri asing yang jauh dari sanak saudara dan kawan dekat, kesepian kerap melanda. Pada saat didera sepi, Ia berkenalan dengan teman-teman muslimah. Lingkungan muslim yang selama ini dianggap ‘fanatik’ ternyata jauh di luar dugaan. "Sikap ramah, saling menolong sebagai wujud empati tanpa pamrih, begitu membekas di hati, " ucapnya. Ia seolah memiliki keluarga baru. Orang-orang yang membuat jiwa kosongnya menjadi damai. Makiko-san baru menyadari akan arti sahabat sejati. Hingga akhirnya, dengan keyakinan penuh, Ia berikrar mendapatkan fitrahnya kembali memilih Islam.
Persahabatan sejati, di zaman keburukan dan kejahatan berserakan, rasanya sangat sulit dicari. Dan saya pun pernah merasakannya. Tepatnya saat menginjakan kaki di negeri sakura. Ada kekeringan jiwa yang merasuk hati tanpa hadirnya sahabat. Di negeri yang telah terpola dengan sikap individu, tak mau tahu, cenderung materialistis, arti persahabatan tulus kadang terkikis oleh kepentingan pribadi. Tetangga di sebelah jarang bertatap muka, tegur sapa terasa basi, interaksi sebatas keperluan. Jenuh rasanya.
Hingga satu hari, tanpa sengaja saya mengunjungi salah satu masjid kecil di sekitar Tokyo. Bertemu dengan beberapa muslimah dari Jepang, Indonesia ataupun negara lain, duduk bersama, berkumpul mempelajari Islam, mengkaji Al-Qur`an, dipenuhi suasana akrab. Saya menemukan kembali kehangatan. Sebuah rasa persahabatan yang sempat hilang. Rasa kehangatanya yang tulus, memberikan kedamaian dalam setiap pertemuan serta kerinduan setiap perpisahan. Saya dapat mengerti, mungkin ini pula yang dirasakan oleh Makiko-san dan pemuda Jepang di atas.
Jepang, di negara yang kental rasa individu – tidak hanya saya, tapi juga Makiko-san dan pemuda kenalan baru – menemukan arti persahabatan yang indah dalam Islam. Sebuah persahabatan tulus karena Allah, yang terjalin bukan karena alasan materi, prestasi ataupun kedudukan tinggi. Persahabatan yang mengantarkan pada jalinan erat dari hati ke hati, memberikan kedamaian dan kehangatan untuk saling menasehati dalam kebaikan. Yang jalinanya diisi dengan dimensi mencintai seseorang semata hanya karena Allah, mencari ridha Allah. Membuka gerbang persahabatansejati penuh anugerah.
Yakumo, sepenggal catatan aishliz et FLP-Jepang