Berbicara soal jodoh dan pernikahan itu (secara tidak langsung) sama saja berbicara tentang masa depanku kelak nanti.
Jodoh.
Pernikahan.
Ya, keduanya sangat lekat dalam kehidupan (pribadi) diriku. Mau tidak mau keduanya sangat erat kaitannya. Hal itu tak dapat dipisahkan maupun dipetak-petakan satu dengan yang lain, keduanya akan saling bersamaan di dalam kehidupan yang aku jalani ini. Itu sudah jelas! Dan hal itu pasti akan aku alami.
Jodoh yang menurut kuketahui adalah sebuah misteri Ilahi—yang sudah tergariskan kepastianNya oleh Yang Maha Kuasa begitu pula masa depanku kelak nanti. Dia-lah yang menggariskan masa depanku. Apakah nanti bahagia? Apakah nanti nelangsa? Aku tidak tahu itu Yang pasti aku hanya bisa berserah diri kepadaNya. Berikhtiar sesuai kapasitas dan kemampuan yang aku miliki. Dan pula aku tak mengharapkan lebih apalagi muluk-muluk dan juga aku tak mau mendahului kekuasaanNya itu. Lagi pula aku bahagia menjalani hidup ini dan itu sudah melebihi dari cukup!
Lalu bicara soal pernikahan?
Menurut yang kuketahui (lagi) pernikahan adalah sebuah taman kecil nan indah dan dihuni oleh dua insan berlainan jenis yang—disatukan dalam sebuah ikatan sakral dan suci dan itu bernama PERNIKAHAN. Halnya ketika Adam dan Hawa hidup di surga kala itu sebelum Iblis menggoda dan merayunya. Begitu suci. Begitu bermakna. Dan begitu berarti. Begitulah kodrat seorang hamba-hambaNya untuk saling mengisi dan menambal setiap lubang di hati masing-masing. Lagi-lagi itu yang aku ketahui! Sentimentil memang! Tapi itulah yang aku ketahui.
Ma’af, bila aku salah mengibaratkan ikatan suci yang bernama pernikahan itu sebagai (hanya) sebuah taman kecil nan indah dalam hal ini! Dikarenakan satu sisi aku belum mengalami itu semua serta masih seorang diri. Perjaka.
Maklumlah dalam usia kepala dua lebih ini—disaat sebagian kawan-kawanku yang sudah menggenapkan dhien-Nya aku belum menampakan dan mendekati tanda-tanda untuk memiliki sebuah taman kecil nan indah itu. Karena suatu hal, mungkin klise, kalau aku utarakan disini. Tapi tak mengapalah semata-mata aku ingin berbagi (share) kepada mereka. Mungkin diantara mereka ada hal yang sama dengan apa yang aku alami saat ini. Maka tak salah bila aku mengucapkan kata-kata yang terlontar dari seorang perjaka ini untuk mereka yang sudah menunaikan sunah Rasul itu. Menikah.
Berbahagialah engkau yang memiliki taman kecil nan indah. Rawatlah dengan bibit kasih-sayagmu. Pupuklah ia dengan kebahagiaamu. Lalu panenlah dengan buah cinta masa depanmu yang cemerlang bersama anak-cucumu yang shaleh-shaleha.
Hingga hal ini mengingatkanku pada sesorang teristimewa yang kutunggu-tunggu tapi tidak halnya dengan orang-orang terdekatku (baca: kakak-kakak perempuanku). Lalu ada apa dengan kakak-kaka perempuanku itu…? Entahlah!
Orang Istimewa yang Sudah Kutungu-tunggu Akhirnya Datang Juga.
Medio, Januari, tanggal 05, tahun 2008. Akhirnya orang sangat istimewa—yang telah kutunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Tepatnya disaat hari bahagia. Ya, tepat di hari bahagia keponakan perempuanku. Ia datang dengan harapan untuk mengenalku lebih dekat. (Ingat, bukan lebih jauh!). Di hari bahagia, di resepsi pernikahan keponakan perempuanku ia datang. Dengan mengenakan jilbab hijau dan mengenakan busana muslimah bermotif kembang ia datang dengan secercah harapan. Untuk lebih mengenalku! Dan sekaligus ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru untuk kedua mempelai. Tak lain kedua mempelai itu adalah keponakan perempuanku dengan suaminya di pelaminan. Dengan penuh gelak tawa yang renyah dan menyunggingkan senyum ramah mereka menyambut para undangan. Yang saat itu benar-benar penuh dengan para undangan.
Duhai alangkah bahagianya jika aku yang duduk di pelaminan itu bersama orang yang kucintai dan menerima keadaanku ini. Betapa bahagianya aku sebagai seorang lelaki saat itu. Seperti raja dan ratu sehari. Ya, Rabb andai aku bisa seperti apa yang kuinginkan dalam hati ini aku ingin hal itu menjadi nyata, bathinku menyeruak ke penjuru kisi-kisi hatiku. Membayangkan kebahagian mereka (baca: keponakan perempuanku bersama suaminya) akankah menular kepadaku di hari nanti.
Aku masih menatap rona kebahagian yang tersirat dari wajah mereka.
Aku masih termangu. Terpaku melihat mereka bersanding di pelaminan.
Hingga aku tak menyadari bahwa ada seseorang yang ingin bertemu kepadaku!
“Ada yang mencari, tuh?”
Sebuah tepukan menyadarkan aku ke alam nyata. Alam yang sudah kuhirup sejak aku dilahirkan oleh seorang ibu—single parent saat ini yang begitu tangguh walau sudah menjelang senja mendekati harinya. Dan tepukan itu berasal dari adik laki-lakiku.
“Memangnya siapa, sih,” jawabku terkejut saat itu.
“Nggak tau. Lihat aja sana! Tuh, lagi nungguin. Perempuan pake jilbab!” seru adik laki-lakiku lagi. Aku semakin terkejut. Siapakah gerangan yang datang untuk diriku seorang? Apakah aku punya salah? Atau, jangan-jangan….Ah, aku tak mau hal yang tidak-tidak menghampiri dibenakku. Apalagi di hari bahagia ini, gumamku menerka-nerka.
Aku masih tetap tak tahu.
Dengan gontai dan perasaan yang berkecamuk membuat aku semakin mempercepat jalanku. Hingga membuat sekujur tubuh mandi peluh serta tak bertulang. Ya, Rabb siapakah gerangan yang datang menghampiriku saat ini. Aku tak ingin ya Rabb, dalam kegalauanku saat ini ada seseorang menemuiku. Langkahku makin cepat melaju. Ingin segera bertemu dengan gerangan itu.
Akhirnya dengan ditemani adik laki-lakiku aku menghampirinya.
Ketika Datang Harapan itu….
“Kirain, siapa? Sama siapa datang?” tanyaku saat menyapa orang yang sudah lama menunggu kedatanganku di kursi para undangan.
“Hmm… sendiri. Ini juga habis dari rumah saudatra,” jawabnya lagi malu-malu. Seperti perdu bernama putri malu yang disetiap tangkai banyak duri kecilnya.
Adik laki-lakiku masih tetap bersamaku. Tapi saat itu ia terus menggodaku dengan melemparkan ledekan yang membuat aku merah seperti kepiting rebus. Memerah. Malu. Tak enak hati. Terlebih orang yang ada di depanku. Alamakkk….mungkin ia sama dengan raut wajahku saat itu, kataku dalam hati. Saat adik laki-lakiku terus melemparkan ledekan itu kepadaku.
“Itu pacarnya, ya, Bang!”
Begitu katanya. Hingga membuat situasi saat itu jadi berubah. Aku tersipu. Dia juga tersipu. Sama-sama tersipu malu dengan ledekan adik laki-lakiku.
Aku diam!
Tak menjawab.
Lebih baik begitu daripada aku menjawab apa yang dikatakannya. Aku takut adik laki-lakiku itu tambah ember. Membuat kegaduhan disaat hari bahagia keponakan perempuanku. Memproklamirkan bahwa ada orang istimewa datang untukku.
Oya, aku lupa mengenalkan orang istimewa—yang menurutku saat itu. Aku mengenalnya berawal dari dunia maya. Ya, berawal dari sebuah email (baca: pesan) yang mampir tak sengaja (atau disengaja aku tak mau bersu’uzhan) di inbox pribadiku. Sebuah pesan khusus untukku. Dalam pesan itu ia ingin mengenal aku lebih dekat dan ingin berlanjut. Baik dalam pesan dalam dunia maya maupun dalam pesan singkat (SMS) di handphone. Sebenarnya aku tak tahu dari mana ia tahu segala bentuk aktivitasku hingga sampai nickname di dunia maya. Aneh memang! Mungkin inilah yang namanya misteri Ilahi. Aku tak tahu hal itu.
Hingga hal itu berlanjut pada pertemuanku yang pertama kepadanya di saat hari bahagia keponakan perempuanku saat itu. Ia datang menemuiku—dan sebelumnya meminta izin kepadaku untuk datang dalam persepsi pernikahan keponakan sekaligus menemuiku pula. Namun sebelum itu aku sudah bertegur sapa di handpahone baik dengan memberikan tausiyah maupun dengan kata-kata bijak layaknya seorang yang memiliki teman curhat. Begitu sebaliknya dengan aku. Entah apakah ini sudah melebihi batas aku sendiri (belum) benar-benar mengetahui hal itu. Walau pun secara fisik masih batas berjauhan. Dia di Selatan, aku di Timur dan akhirnya bertemu jua di repsepsi pernikahan keponakan perempuanku. Entahlah….
Apakah aku menolak atas kedatangnya? Uh, betapa bodoh bila ada kumbang dihampiri dan dikunjungi gadis lalu menolak kehadirannya. Dan kumbang mana pula yang tak mau ada harapan untuk dikunjungi oleh gadis yang dianggap istimewa. Kecuali, kumbang itu punya kelainan dari yang semestinya Yang Maha Pecipta ciptakan kepada makhluk yang bernama kaum Adam. Ingin mendapatkan pendamping!
Jawaban yang Belum Terkatakan Itu…
Saat itu pula aku menemaninya berbicara walau saat itu begitu banyaknya para undangan yang datang. Tapi aku tak bisa menolak apalagi mempercepat berbicara dengannya. Alih-alih aku nanti menyinggung perasaannya. Tak mengharapkan ia datang. Untungnya adik laki-lakiku masih setia ada di dekatku. Ia yang menggantikan aku menjadi pagar bagus. Orang yang bertugas menyapa kedatangan para undangan. Dengan memberikan sebuah senyum khas adikku menyapa para undangan yang dikenalnya. Dan aku masih menemani orang yang ada dihadapanku sesekali ia mencicipi hidangan yang disediakan untuk para undangan.
Tak terasa waktu begitu cepat. Jarum jam terus berganti. Tak berapa menit kemudian ia meminta izin untuk berpamitan pulang. Namun sebelum ia pulang ia menanyakan keberadaan ibuku. Untuk ingin mengetahui serta ingin berpamitan. Sebab sejak kedatangannya ia tak menemui ibuku.
“Ibunya ada nggak, Mas,” katanya sebelum ia melangkah meninggalkan tenda biru keponakan perempuanku.
“Oya, tunggu ya sebentar saya panggil dulu,” jawabku. Dan ia menunggu di tempatnya.
Namun sayang seribu sayang saat aku ingin menemui ibuku. Aku terhalang oleh kakak perempuanku yang pertama. Ia ingin menanyakan siapa gerangan yang (lumayan) lama bicara kepadaku saat itu. Kakak perempuanku itu terus menginterogasi. Ingin mengetahui siapa orang yang ada di kursi para undangan bersamaku saat itu.
“Siapa itu, Yan?” Tanya kakak perempuan pertamaku itu.
Aku terkejut saat kakak perempuanku menanyakan hal itu.
“Nggak kok itu teman biasa. Mau kondangan aja,” alasanku mengalihkan apa yang sebenarnya.
“Memangnya kenapa,” kataku lagi singkat.
“Kok kayaknya lebih tua dari kamu sih, Yan.”
Betapa terkejutnya saat aku mendengar ucapan kakak perempuanku itu. Saat itu aku tak bisa menjawab apa-apa. Hanya seribu bahasa. Diam. Memang apa yang dilontarkan kakak perempuanku ada benarnya juga.
Perempuan yang sejak tadi bicara kepadaku saat itu dilihat dari segi usia memang lebih tua dariku. Lebih tua 4 tahun. Dan aku tak menampikan hal itu. Tapi bagiku itu tak masalah bagiku—yang sebelum aku curhat ke semua kawan-kawanku. Meminta masukan positif. Toh, jika ia benar-benar jodoh serta mau menerima keberadaanku dan keadaanku sekarang itu tak mengapa. Memangnya yang menikah dirinya, hatiku berkata demikian. Tapi lagi-lagi aku tak mau egois terhadap kakak perempuan pertamaku itu. Karena ia-lah selama aku masih kecil dirinya yang merawat aku. Jadi aku tak mau membantah apalagi tak mendengarkan perkataannya itu. Aku dihadapkan dilema. Jika aku menerima keadaan orang yang sangat kutunggu-tunggu itu aku pasti diteror dengan ketidaksetujuan aku mencari pendamping hidupku. Dan itu belum satu kakak perempuanku. Masih ada dua kakak perempuanku lagi jika aku harus berdebat hal ini. Lagi-lagi itu yang tak aku inginkan.
Saat itu juga aku tak bisa berbuat lebih, Terlebih saat aku benar-benar tak merespon kedatangan orang yang sudah jauh-jauh datang untuk menemuiku akhirnya hempas sudah.
“Memangnya kamu sudah mau nikah? Nah, kalau mau milih jodoh lihat dulu. Apakah mau nantinya jika tidak punya keturunan. Ingat saudara-saudara kamu yang menikah sama perempuan yang lebih tua, sudah 5 tahun lama belum punya anak. Apa kamu mau seperti itu!”
Aku terdiam.
Tergugu.
Aku makin terdesak dengan ucapan-ucapan kakak perempuanku itu. Dan aku memahami hal itu. Toh, kakak perempuan berkata demikian itu juga untuk kebaikanku juga. Ya, walau sebenarnya aku tak setuju apa yang dikatakannya juga saat itu. Tapi apa boleh buat aku harus mengalah demi keinginanku yang sudah aku harapkan. Untuk menikah dengan orang pilihanku!
Akhirnya setelah aku mendapatkan uraian dari kakak perempuan pertamaku itu aku pun langsung menemui orang yang sejak tadi menungguku di kursi undangan. Dengan harapan ibukulah yang datang bersamaku saat itu. Dan ia masih tetap ada di tempatnya. Aku tahu ia ingin sekali menemui ibuku agar ia lebih dekat dengan ibuku itu. Tapi sayang kakak perempuanku itu telah mengetahui apa yang aku lakukan. Ia tak setuju. Memang saat itu ibuku sedang sibuk menyambangi para undangan yang dikenalnya. Tapi karena kakak perempuanku itu berkata demikian aku tak mau berlarut-larut berbuat konflik dengan kakak perempuanku itu. Apalagi untuk memenangkan opini masin-masing. Itu yang aku tak kehendaki.
“Afwan, ibu kayaknya sibuk banget. Lagi sibuk melayani para undangan,” ucapku memberitahukan apa adanya. Walau sebenarnya aku tak mau mengungkapkan sebenarnya yang terjadi kepadanya.
“Ya, sudah salam aja ya sama ibu. Kita masih kirim-kirim SMS kan” lanjutnya lagi.
Dengan gontai ia melangkah meninggalkan tenda biru keponakan perempuanku dengan harapan yang tak semestinya. Ia tak menemui ibuku. Tapi itu karena aku terhalang dan mendapatkan masalah dari kakak perempuan pertmaku saat ia mengetahui bahwa orang yang menemuiku itu tak pantas untukku.
Ya, Rabb apakah dia tak pantas untukku. Dan apakah aku bersalah bila hal yang sebenarnya aku tidak utarakan kepadanya. Ya, Rabb ampuni hambaMu ini yang melakukan tindakan yang bersalah Sebenarnya aku tak tega menyampaikan hal itu….
Dalam diamku terdengar lagu musik dari backsound sebagai peneman para undangan yang membuatku semakin tak berdaya. Hingga jawaban yang ingin kuutarakan kepada orang yang kutunggu-tunggu itu akhirnya tetunda. Tertunda untuk menyatakan apakah ia mau menerimaku apa adanya serta mau membina lebih lanjut denganku. You marry me…Hempas sudah jawaban yang ingin kuungkapkan untuknya dengan bersama terbawanya rinai hujan saat ia meninggalkan tempat resepsi pernikahan keponakan perempuanku. Kini tinggal aku sendiri berdiri menyesali jawaban yang telah tertunda di saat hari bahagia.*(fy)
Rental Idamanku,18 Februari 2009
Pukul: 18.30 WIBB
Ketika ditemani oleh Pasto dengan tembang Aku Pasti Kembali
Untuk orang yang merasa dan dirasa. Ma’afkan bila jawaban itu sampai sekarang belum terungkap!