Seekor hewan yang selalu menjadi perumpamaan jelek untuk seseorang yang berbuat kesalahan adalah seekor keledai. Bila seseorang sekali berbuat kesalahan, kemudian nasehat yang muncul adalah: jangan seperti seekor keledai, yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Ibaratnya, jika manusia yang memiliki kesempurnaan akal dan hati bisa berbuat kesalahan yang sama berkali-kali, ia sama saja seperti seekor keledai, hewan yang tidak memiliki akal dan hati.
Memang, sebagai seorang makhluk yang penciptaannya begitu sempurna, agak keterlaluan bila tidak bisa mengoptimalkan potensi akal dan hatinya untuk melindungi diri dari kebodohan tersebut. Tetapi, sungguh tidak sedikit orang yang melakukannya.
Ada seorang kerabat saya yang telah melakukannya. Saya telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Kesalahan pertama yang ia perbuat bertahun-tahun yang lalu demikian menyakitkan bagi isteri dan anak-anaknya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana dampak yang diakibatkan dari perbuatannya tersebut dahulu. Yang saya tahu, beberapa keluhan serta gejala-gejala traumatik dapat dilihat dengan jelas pada proses perkembangan kedua anak-anaknya. Yang satu, tumbuh menjadi anak yang sedikit penakut bahkan bisa histeris dan panik bila sewaktu-waktu mendengar pertengkaran kecil kedua orang tuanya, atau mendengar suara-suara berintonasi keras dari orang lain. Walaupun seiring dengan pertumbuhannya, trauma itu berangsur-angsur berkurang, tetapi tidak bisa hilang sama sekali. Yang satunya lagi, seringkali secara tidak sadar bersikap kasar sekali kepada ayahnya tersebut, dan sedikit memiliki potensi sifat pendendam. Memang, kejadian yang menyebabkan trauma tersebut terjadi ketika mereka berdua masih sangat kecil. Tentu saja, apapun yang dialami seorang anak, sekecil apapun dia, pasti akan terus membekas hingga dewasa.
Namun bertahun-tahun kemudian, sampailah hidayah yang membuahkan keterbukaan hati pada kerabat saya itu. Alhamdulillah. Banyak sekali orang yang lega dan senang akan perubahannya tersebut. Saya sendiri termasuk salah seorang yang mendukung perubahannya menuju kebaikan. Saya tak lelah menyemangatinya untuk terus berubah menjadi lebih baik, yang tentu saja hal itu akan membahagiakan keluarganya.
Dan memang, campur tangan setan untuk menyesatkan tak akan pernah jera menghantui manusia. Saya sendiri tak mengerti, dari mana godaan itu berasal, dalam tempo yang sangat singkat, perilaku kerabat saya tersebut berubah total. Hal ini mengagetkan isteri dan anak-anaknya, terlebih diri saya yang tadinya begitu optimis akan dirinya. Dan ia pun mengulangi kesalahan yang telah ia perbuat dulu. Begitu cepat terjadinya. Hingga kedua anaknya sendiri pun tak mampu mencegah atau menyadarkan ayahnya akan kesalahannya tersebut. Tak sedikit orang yang akhirnya turun tangan menasehatinya, tetapi tidak mempan. Sungguh benar, ketika seseorang sudah memilih untuk menempuh jalan yang sesat dan tak lagi mengindahkan kebenaran, maka siksa Allah akan menimpanya. Ia pun semakin tersesat. Jatuh ke lubang yang sama dua kali.
Seandainya ’lubang kesalahan’ memiliki tanda, maka bisa jadi setiap orang akan mudah untuk menghindarinya supaya tidak terjatuh. Atau bila ketika berbuat sebuah dosa seseorang akan tercoreng hitam mukanya, maka bisa jadi tak ada orang yang mau berbuat dosa. Masalahnya, dosa dan kemaksiatan diselimuti dengan pagar kenikmatan serta kesenangan yang akan memuaskan nafsu manusia. Sedangkan kebaikan dan jalan menuju surga diliputi kerikil yang tampak menyusahkan. Dan memang tidak semua orang di dunia ini mengerti tujuan akhir kehidupannya. Sehingga yang ia cari hanyalah kenikmatan dan kesenangan untuk sesaat, tanpa memikirkan ganjaran apa yang akan ia terima atas perbuatannya tersebut.