Delapan belas tahun sudah kami tidak bertemu. Namun alhamdulillah saya masih ingat. Sms yang saya terima lima hari lalu, bukan dari dia langsung. Tapi sang anak. Joko namanya. Saat ini 19 tahun umurnya. Subhanallah sudah besar.
“Kamu masih ingat sama saya Joko?” Tanya saya menyapa sesudah dia kenalkan bahwa yang kirim sms adalah dia.
“ Masih Pak!” Jawab dia lugu, dengan bahasa logat Jawa Trenggalek yang khas.
“Apa kamu masih hitam seperti dulu?” Tanya saya sambil gurau, karena Joko kecil yang saya temui dulu berkulit hitam. Maksud saya sawo matang.
“Ya tetap toh Pak!” Dia mengiyakan. Saya rasakan senyuman diseberang sana.
“Kamu ingat Joko? Setiap saat ketemu saya dulu, biasanya kamu lari. Takut saya suntik.” Tanya saya lagi, mencoba berkilas balik sejarah masa lalu, ketika saya terbiasa mempir ke rumahnya, di hutan sebelah, tampat saya ‘buka praktik’ sebagai tenaga Perawat di sana. Ya, saya pernah bekerja di daerah di tempat asal Joko di Trenggalek Selatan.
Mahmudin, Ayah Joko, acapkali menemani kepergian saya ke desa-desa sekitar. Saya masih ingat sekali, lelaki jebolan pondok pesantren itu, akrab dengan sarung warna merah dan kopiah hitam kesukaannya jika menemani saya hingga malam hari.
“Sekarang ….ya…tidak lagi Pak!” Kembali lagi, saya tangkap senyuman Joko lewat HP saya.
Perbincangan kami berikutnya merembet ke mana-mana. Dari latar belakang sekolahnya yang hanya sampai SMP, hingga kehidupannya di pondok pesantren. Joko saat ini tidak lagi tinggal bersama orangtuanya di desa terpencil di pinggiran selatan kota Trenggalek. Dia sekarang berada di sebuah pondok pesantren di kota Tulungagung.
Sudah hampir dua tahun ini dia mondok. Membayar Rp 10.000 per bulan. Sebuah angka yang hanya bisa digunakan untuk membeli segenggam sayuran di Jakarta. Sedangkan makanan seadanya, diperoleh dari upah buruh yang dia lakukan sehari-hari tanpa libur dengan merawat/memberi makan ayam milik seseorang di dekat tempat dia mondok. Pagi bekerja, sore hari mondok. Subhanallah. Sambil belajar Al Quran, Joko bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri di usia yang amat muda. Usia yang mestinya dia gunakan untuk sekolah, tanpa harus bekerja seperti ini.
Saya memang pernah mengalami nasib serupa. Bedanya, Allah SWT menagugerahi kami kehidupan yang lebih baik ketimbang Joko. Meski keluarga kami waktu itu juga tidak mampu, namun saya masih bisa melanjutkan sekolah lagi sesudah SMP, ke pendidikan ‘gratis’ lantaran dibiayai Pemerintah. Sedangkan Joko, kali ini tengah berjuang sendiri. Sesudah tamat SMP, dia tidak ke mana-mana. Pondok pesantren yang dihuni 32 murid itu saya kurang yakin kalau menerapkan kurikulum pondok pesantren umum. Apalagi sekelas Gontor! “Saya tidak pernah kirim uang kepadanya Pak.” Kata Mahmudin, si ayah, kepada saya.
Saya begitu tersentuh dibuatnya. Ketika saya tanya mengapa baru kali ini menghubungi saya, dia bilang tidak punya contact number saya. Dia dapatkan nomer saya dari orang lain tetangga kampung.
Bukan hanya itu, untuk sms pun, rupanya Joko kesulitan. Itu saya ketahui dari sms kemarin di mana dia bilang tidak memiliki pulsa. Sesudah saya transfer pulsa dari adik saya, baru dia bisa sms lagi. Di luar negeri, saya juga tidak tahu bagaimana harus menghubungi Mahmudin karena memang tidak ada sarana komunikasi. Jangankan telepon, listrik saja juga belum masuk ke daerahnya. Kalau harus kirim surat, kesulitan alamat lengkapnya.
Akhirnya, tidak ada kontak satu sama lain selama itu. Memang atas kehendak Allah lah, sehingga lewat anaknya, kami dipertemukan lagi, walaupun hanya melalui telepon. Lewat Joko, saya bisa berbicara langsung dengan Mahmudin. Itupun, dengan menggunakan HP orang lain. Joko harus kontak seorang teman guna menghubungi sang ayah, menyambungkan tali komunikasi dengan saya. Lagi pula dalam bayangan, saya tidak yakin kalau Mahmudin memiliki sebuah HP saat ini. Lega sekali rasanya bisa berbicara dengannya.
Ada hal serius ketimbang sekedar berucap salam dengan Mahmudin. Sesudah mendengar cerita Joko, batin ini jadi tersentak. Ada rasa bersalah, karena selama ini saya ‘mendiamkan’ nasib seorang manusia yang dulu pernah berjasa kepada saya. Seorang manusia yang ikut mengukir perjuangan saya di kala saya butuh bantuannya. Sementara saat ini, saat di mana dia butuh bantuan saya, tidak dikemukakan kata ‘minta’ kepada saya. Mengapa saya harus ‘diam’? Padahal, dulu saya sering bilang: “Ayo Pak Din, aku dibaturi lungo neng kono….!” (Ayo Pak Din, saya ditemanin pergi ke sana…!). Tanpa basa-basi, Mahmudin dengan ringannya melangkahkan kaki dan berjalan di sebelah saya. Istrinya juga sering menyiapkan makanan, meski seadanya ala desa, ketika saya mampir. At any time! Mereka menyintai saya sebagai bahkan lebih dari keluarga sendiri. Sementara kami tidak ada hubungan persaudaraan apapun.
Mahmudin muda, boleh dikata sebagai salah satu ‘tokoh’ di kampungnya. Selain mengajari anak-anak mengkaji Al Quran, dia secara giliran jadi Khotib di masjid kecil di hutan sana. Saya sebut hutan, karena kampungnya memang terletak di tengah hutan. Tidak memiliki pekerjaan tetap, kecuali sebidang tanah, di atas hutan sana, milik ayahnya. Mencari kayu, men-deres karet pohon pinus, atau mengelola sawah yang tidak seberapa luasnya adalah kegiatan rutinnya kalau boleh saya sebut.
Niat saya adalah, meminta Mahmudin untuk menginjinkan Joko tinggal dan sekolah di Malang saja. Sekolah sambil mondok jika mungkin, atau ke Madrasah Aliyah, atas biaya saya. Sebenarnya saya sudah bicarakan hal ini dengan Joko, apakah dia mau saya sekolahkan. Dia bilang tidak keberatan, asalkan sang ayah mengijinkan. Mahmudin menjawab dengan nada tanya, apakah niat saya ini malah justru tidak merepotkan saya. Subhanallah, sebuah ungkapan tulus orang desa yang tidak berpendidikan semacam dia, namun memiliki nilai-nilai kepribadian yang luhur.
Saat sekolah dulu, saya juga ingin meneruskan ke sekolah umum. Tapi Bapak bilang tidak mampu. Ke sekolah kejuruan saja yang dibiayai Pemerintah, meringankan beban orangtua. Dalam hati saya waktu itu, kenapa tidak ada orang lain yang bersedia untuk membantu membiayai saya melanjutkan sekolah ya? Itulah barangkali pikiran jujur seorang anak.
Tapi beda dengan Joko. Saya nilai dia lebih baik pribadinya ketimbang saya dulu. Joko amat mematuhi dan menghargai pendapat orangtuanya. Dia patuh terhadap apapun yang dikatakan oleh Ayahnya. Lulus SMP dia tidak menuntut harus melanjutkan. Menganggurpun di desa dilalui hingga dikirimkannya ke pondok ini. Kepatuhan ini yang membuat saya makin terkesan kepadanya. Bahwa dia butuh bantuan dari kacamata saya. Bukan sebaliknya.
Kami sepakat untuk bertemu di saat cuti saya mendatang. Mereka saya undang datang ke rumah untuk memantapkan rencana ini. Bagi sementara orang barangkali sepele persoalannya, akan tetapi bukan mereka, orang-orang desa. Bisa saja pola pikir dan keputusan mereka bakal berubah. Atau kepercayaan Mahmudin kepada saya pula goyah. Bagi saya, insyaallah mantap!
Kalaupun saya berniat membantu meringankan beban Mahmudin dengan membiayai sekolah Joko nantinya, itu bukan berarti saya orang kaya. Insyaallah kalau sekedar membiayai sekolah atau makan, saya mampu. Niat baik tetap niat baik dan bakal mendapatkan pahala meskipun Allah tidak mengijinkan realisasi pada akhirnya. Insyaallah saya yakin akan pahala itu. Dan itulah yang saya cari.
Dalam keyakinan saya, kesediaan untuk menyekolahkan Joko adalah investasi yang sebenarnya. Ada beberapa keuntungan yang kelak saya petik dari investasi seperti ini. Pertama, tali silaturahim yang sudah lama renggang, kini menguat. Jalinan persaudaraan antara keluarga kami dengan keluarga Mahmudin erat kembali. Kedua, saya tidak ingin dikatakan sebagai orang yang lupa akan hak-hak orang lain lantaran kenikmatan duniawai. Lantaran rejeki lebih yang Allah limpahkan kepada saya dengan bekerja di luar negeri. Dan yang ketiga, membantu peningkatan pendidikan orang lain berarti menyelamatkan satu generasi agar kualitas kehidupan mereka menjadi lebih baik. Yang terakhir, tentu saja, Allah SWT akan membalas segala niat baik ini.
Saya jauh dari niat untuk mengumumkan budi baik ini kepada orang lain. Apalagi yang namanya mengiklankan. Salahkah jika lewat tulisan ini, saya secara tidak langsung mengetuk pintu hati orang lain yang diberi kelebihan rejeki oleh Allah SWT, untuk lebih proaktif dalam beramal? Bukankah pahala yang bakal saya petik nanti akan berlipat ganda di hadapanNya, sekiranya buah dari tulisan ini bisa menularkan niat banyak orang untuk berbuat serupa?
Saya sadari, ada banyak mahmudin-mahmudin lain, yang enggan menggerakan bibirnya guna momohon bantuan kasih sesama. Ada banyak pula joko-joko di negeri ini yang harapannya cuma terpendam dalam hati. Tolok ukur nilai sebuah kebajikan bukan atas dasar kuantitas sumbangsih kita. Berbuat baik kepada mereka, tidak harus dalam bentuk rumah sakit, sekolah atau panti asuhan. Melangkah sejengkal saja, tanpa menunggu pinta mereka, sepanjang itu ikhlas, tidak kalah mulia disisiNya. Wallahu a’lam!
Doha, 26 October 2008
[email protected]