Tak terhitung entah berapa banyak doktrin agama yang memerintahkan kita agar senantiasa menjaga lidah. Tentunya bukan karena bahaya lidah itu sendiri. Melainkan, karena aktivitas yang dilakukan lidah. Tak terkecuali juga dua kebutuhan mendasar sekaligus terpenting bagi seorang manusia terhadap lisan: makan dan minum.
Namun, besarnya manfaat lidah, besar pula bahayanya. Bukan hanya ketika berbicara saja, saat diam pun lidah masih bisa menimbulkan dosa. Dahsyat bukan? Saat lidah berbicara batil dan keji, saat itu pulalah dosa mengalir kepada pemilik lidah.
Bila diperhatikan, perkataan yang diucapkan lidah, tak terlepas dari empat hal: seluruhnya mengandung mudharat, seluruhnya mngandung manfaat, seluruhnya mengandung manfaat dan mudharat, dan sama sekali tidak mengandung manfaat maupun mudharat. Tentu saja, yang ideal dan diharapkan yang seluruhnya mengandung manfaat. Tapi namanya lidah tak bertulang, sudah barang tentu manusia berpotensi besar untuk melakukan khilaf (al-Insan mahal al-khata’ wa al-Nis-yan).
Betapa banyak orang yang tergelincir sekaligus dirugikan akibat perbuatan dusta. Di samping merugikan dirinya, juga merugikan orang lain. Diam juga bisa mengandung kebatilan, sekalipun diam itu, katanya, emas. Kapan? Ketika diam dengan sengaja melihat kemungkaran, tanpa ada hasrat untuk menegurnya. Jadi, bicara dan diam sama-sama bersinergi untuk dosa, jika tidak pintar-pintar mengatur lidah.
Di era perkembangan media informasi dan globalisasi, banyak sekali orang menganggap sepele masalah lidah, mulai dari ringan menggosip, gemar menggunjing, dan bahkan terbiasa memfitnah orang lain. Semuanya dilakukan tanpa ada perasaan risih dan malu. Cuek, itulah kata mereka. Bukti konkrit, perhatikan saja pagi-pagi sekali acara di Indosiar sudah menyuguhkan buat kita bermacam ragam gunjingan para selebritis dan tokoh. Bahkan, terkadang bahasa yang digunakan presenter mengandung bau pornografi. Malu bercampur benci mendengarkannya.
Apa produsernya tidak memikirkan, kalau aktivitas gosip yang dilakukan bisa menjelma menjadi fitnah, pencemaran nama baik atau bahkan tindak pidana lain yang dapat digugat sacara hukum? Sepertinya paham, tapi tetap saja ditayangkan. Bahkan mudharat yang lebih besar lagi bisa terjadi, ketika sibuk membeberkan kasus perceraian dua insan selebritis, yang akhirnya bukan malah mendamaikan, tapi justru menjadi makin melebarnya jurang perpecehan dan bahkan berbuntut permusuhan.
Intinya, pembicaraan yang digosipkan nyaris tidak ada yang dapat diambil hikmah dan teladannya. Tak lain dari tujuan acara tersebut hanya menjanjikan hiburan, konsumsi, bahkan tak jarang aksi eksploitasi atas derita yang menimpa orang lain dan semacamnya. Ya, itulah hiburan media yang ‘garing’ menurut syariat Islam.
Menggunjing orang adalah membuka aib sesama manusia yang dilarang. Pelarangnya pun disitir di dalam al-Qur’an, ”.Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.." (Qs. Al-Hujarat [49]: 12) Menceritakan aib orang yang jelas-jelas dilakukan adalah dosa besar, apalagi jika yang digembor-gemborkan itu ternyata tidak pernah dilakukan. Logikanya, dosanya tentunya lebih besar, karena sudah masuk dalam kategori fitnah dan adu domba, yang tak lain pelakunya sudah sah mendapatkan ‘cap’ orang yang bakal menghuni neraka. Alangkah bijaksanan, bila rajin membaca berulang-ulang dan merenungkan kalimat selanjutnya dari ayat tersebut, "Sukakah kamu memmakan daging saudaramu yang sudah mati?" Tujuannya, agar selalu waspada dalam berbicara.
Karena itu, saat berpuasa seperti sekarang ini, bukan saja momen untuk menahan diri dari makan dan minum. Tapi juga menjadi momentum untuk menahan diri dari menggunjing dan membuka aib orang. Bit-taufiq []