Jam tanganku menunjukkan tepat jam 13.00. Suasana di dalam Masjid Nabawi agak lengang. Usai sholat Dhuhur, sebagian jama’ah telah meninggalkan masjid untuk makan siang. Yang masih bertahan di dalam masjid melanjutkan dengan berbagai aktivitas. Melakukan wirid dengan tasbih di tangan, tilawah Al-Qur’an atau menuju makam Rasulullah SAW dan Raudah.
Waktu antara Dhuhur dan Asar biasanya kumanfaatkan untuk tilawah Al-Qur’an. Jika tidak, aku mengikuti antrian ke Raudah. Salah satu tempat yang utama untuk berdo’a. Al-Qur’an ukuran saku selalu berada dalam tas warna hijau yang selalu kuselempangkan di bahu. Tas serbaguna yang juga berisi buku-buku do’a dan buku panduan haji, umrah dan ziarah. Buku-buku berukuran saku tersebut diterbitkan oleh Kementrian Agama Saudi Arabia, namun berbahasa Indonesia. Dibagikan secara gratis oleh petugas di bandara King Abdul Aziz, Jeddah.
Aku duduk dekat tiang masjid. Cukup sejuk, karena dari celah-celah lubang yang terdapat di bagian bawah tiang masjid keluar udara yang berasal dari alat penyejuk udara. Sebelum berangkat ke masjid, aku sempat makan siang dulu. Selama di Madinah, jama’ah haji Indonesia mendapat pembagian jatah makan dua kali, yaitu makan siang dan malam.
Saat aku sedang akan membuka Al-Qur’an, tiba-tiba datang seorang pemuda menghampiriku. Masih muda, sekitar 25 tahun umurnya dan penampilannya cukup rapi. Dari wajahnya kuperkirakan berasal dari negara Asia Selatan. ” Assalamu ‘alaikum, ” sapanya sambil menjabat tanganku. ” Wa ‘alaikum salam, ” kujawab salamnya.
Kemudian dia menyerahkan secarik kertas kecil ber-laminating. Kubaca isinya: “ Saya orang miskin. Mohon kerelaan sedekah untuk saya.” Ternyata orang ini tahu kalau aku adalah orang Indonesia. Mungkin dia memperhatikan tas selempang warna hijau yang bertulisan ‘Indonesia’. Tas pembagian yang selalu kupakai ke mana-mana selama berada di Saudi Arabia.
Tanpa berpikir panjang, kuambil satu lembar uang 10 riyal dari dompet. Kuserahkan kepada orang itu. Setelah mengangguk dan tersenyum sambil mengucapkan: “ Syukron….” orang itu segera berlalu menjauh ke tempat lain. Kurelakan sedekah kepadanya.
Aku teringat pada seorang warga negara Bangladesh. Dia bekerja sebagai petugas cleaning service di pemondokan haji yang kutempati di Madinah. Orangnya rajin dan sangat cekatan. Saat di Makkah, aku juga sempat berbincang dengan seorang pemuda berasal dari Sukabumi. Sudah hampir setahun tinggal di Saudi Arabia. Umurnya 24 tahun. Bekerja sebagai cleaning service di Abraj Al-Bait Shopping Center yang berlokasi di depan Masjidil Haram. Mereka mau bekerja dan tidak mau meminta-minta kepada orang lain. Berbeda dengan orang yang meminta sedekah kepadaku di dalam Masjid Nabawi.
Profesi apapun yang mendatangkan rezeki halal adalah mulia. Umat Islam dianjurkan untuk bekerja, dan bukan meminta-minta. Rasulullah SAW adalah seorang pedagang. Rasulullah SAW sangat menekankan keutamaan bekerja, seperti tersirat dalam sabda beliau: ”Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Dan barangsiapa yang bekerja keras untuk keluarganya, maka ia seperti pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla.” (HR Ahmad).
Dalam realitas saat ini, banyak orang yang enggan bekerja pada tempat yang menurutnya kurang pas buat dirinya, karena itu mereka lebih memilih menganggur. Akhirnya menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain. Bagi orang-orang yang menganggur, berkhayal dan berangan-angan merupakan kesibukan sehari-hari. Ngobrol ke sana-sini yang tidak bermanfaat banyak dilakukan oleh mereka. Tak jarang mereka terjerumus dalam tindak kriminal yang meresahkan masyarakat.
Bekerja atau bahkan menciptakan lapangan kerja, jika dilakukan dengan ikhlas mencari ridho Allah SWT akan bernilai ibadah. Namun perlu diingat, orang yang bekerja dalam kondisi sesibuk apapun tidak boleh melalaikan perintah-perintah-Nya. ” laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayarkan zakat”. (QS An Nuur [24]: 37).