Saya tercenung mendengarkan perkataan Ustadzah dalam suatu pengajian rutin yang saya ikuti siang itu. Tausiyah tersebut membahas tafsir surat Al-Baqarah 264 mengenai penggunaan harta di jalan Allah. Bukan sesuatu yang baru saja saya dengar dan bukan pula merupakan hal yang baru. Inti dari surat itu adalah bahwa kita orang beriman hendaklah tidak menghilangkan pahala sedekah dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima. Di mana perumpaan orang yang bersedekah demikian adalah seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan.
Pemberian yang seolah tidak ikhlas atau ingin disanjung orang lain itu tidak hanya pemberian dari orang kaya kepada orang miskin, atau pemberian kepada yayasan yatim piatu, Taman Pendidikan Al-Quran, masjid, fi sabilillah, dan lain-lain, tetapi juga termasuk pemberian dari orang tua kepada anaknya. Sampai di sini hati saya begitu tersentak. Sudahkah saya memuliakan hak anak yang memang sudah sepatutnya memperoleh pemberian orang tua dengan tanpa menuntut balasan mereka?
Kembali saya teringat peristiwa yang saya lalui bersama anak-anak saya. Suatu ketika putri saya yang besar minta kepada ayahnya untuk menambah saluran TV anak-anak yang selama ini memang tidak masuk dalam daftar saluran yang bisa ditonton oleh kami. Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya suami saya pun mengalah dan menambah biaya paket saluran TV tersebut demi memenuhi keinginan putri kami.
Selang waktu setengah jam suami saya selesai membayar paket saluran TV di sebuah agen langganan kami, dan kami pun hendak melanjutkan perjalanan pulang. Baru saja kami memulai perjalanan, si kakak sudah bertengkar dengan adiknya di dalam mobil karena masalah sepele. Tentu saja hal ini memicu emosi kami. Sambil berkata sedikit tegas, kami berkata pada putri kami bahwa kami sudah memenuhi keinginannya untuk menambah saluran TV tapi “imbalan“ yang diterima adalah kakak tetap berperilaku keras kepala dan tidak mau mengalah dengan adik. Sang kakak pun terdiam dan tidak melanjutkan pertengkarannya.
Pada kali lain sepulang dari toko buku, anak-anak begitu gembira mendapatkan buku-buku dan majalah kesayangan mereka ke rumah. Mereka pun asyik membaca, menggambar, dan menulis di buku aktivitas yang baru saja dibeli hingga lupa waktu. Ketika tiba waktu sholat dan mengaji, mereka tampak enggan beranjak dari tempat duduknya. Tentu saja saya kesal lalu mengungkit-ungkit barang yang baru saja dibeli untuk mereka dan menuntut “balasan“ agar mereka mau menurut perkataan orang tua.
Bila dihitung, banyak sekali kejadian-kejadian yang mengalir begitu saja tanpa terasa bahwa kami sebagai orang tua sudah begitu menguasai anak sesuai dengan kehendak kami sendiri. Tanpa disadari kami sudah menuntut balas budi dari anak yang selama ini seharusnya memang sudah menjadi kewajiban kami untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Bukankah mereka memang belum bisa mencari nafkah sendiri, menyetir kendaraan sendiri, memasak makanan sendiri, ataupun membeli kebutuhannya sendiri? Tapi saya sebagai ibu sering merasa kesal ketika anak-anak tidak mau menuruti nasehat atau perintah yang diberikan, atau tidak mau menghargai masakan yang sudah disediakan.
Memang semua orang tua berniat untuk mendisiplinkan anak dengan membuat peraturan ini itu yang harus dipatuhi. Tapi apa bukan pamrih namanya kalau pemberian kepada anak-anak kita harus dijadikan senjata yang terus diungkit-ungkit dan konsekuensinya dia harus menuruti apa yang menurut kita baik?
Padahal Insya Allah kalau saya bersedekah kepada orang lain, tidak pernah diingat-ingat. Tetapi kalau bersedekah kepada anak sendiri, masih terus diingat-ingat apalagi kalau kenakalan mereka sudah membakar emosi di dada. Astaghfirullah.
Saya pun akhirnya kemudian berjanji kepada diri sendiri untuk berusaha menjaga mulut ini yang senantiasa tidak dapat menahan keluarnya kata-kata yang mungkin menyakiti hati mereka. Subhanallah, anak-anak itu tidak pernah dendam sedikitpun walau kita sudah mengomel penuh kejengkelan. Hati mereka betul-betul masih suci. Ya Rabbi, jangan torehkan hati-hati yang suci ini dengan untaian kata yang tajam.
Ya Allah, jadikanlah batinku lebih baik dari lahirku dan jadikanlah yang tampak dariku itu baik. Wahai Tuhanku, aku memohon kepada Engkau dari yang baik yang Engkau telah berikan kepada manusia, baik harta maupun keluarga dan anak-anak, tidak sesat dan tidak menyesatkan. Wahai Tuhanku, jadikanlah daku termasuk hamba-hamba-Mu yang terpilih, yang putih dahi dan tangannya dan utusan-utusan yang diterima. Amin ya Rabbal Alamin.
Jeddah, Rabi Al-Tsaani 1429H