Anak merupakan anugerah Allah yang tak terkira. Bagi kaum hawa, mereka akan merasa menjadi wanita yang sempurna setelah melahirkan putra-putrinya. Memang, titipan Ilahi tersebut menjadi bagian kebahagiaan sebuah keluarga yang tak terpisahkan. Kehadiran anak terkadang mampu mengusir kesepian kedua orang tuanya dengan canda riangnya.
Salah seorang tetangga saya memiliki tiga anak. Namun, anak kedua dari tetangga kami tersebut menderita autis. Tentu saja, hal itu membuat kedua orang tuanya merasa terpukul. Saat masih berusia tiga tahun, tingkah si anak memperlihatkan perbedaan dengan balita yang sebaya dengannya. Dia begitu agresif, tak bisa diam, cuek dengan orang di sekitarnya bahkan orang tuanya, dan belum bisa berlafal menyebut nama suatu benda. Ayahnya yang bekerja sebagai sales di perusahaan farmasi enggan mengonsultasikan si anak ke dokter dengan alasan keterbatasan biaya.
Meski demikian, perhatian dan kasih sayang ibu dan ayahnya sangat besar kepada Aditya, demikian nama bocah tersebut. Namun, tak jarang pula kedua orang tua Adit mengeluh karena tingkah polah sang anak yang tak bisa diam itu. Ada saja hal yang membuat mereka khawatir terhadap tindakan Adit. Meski nakal luar biasa, dia tergolong anak yang cerdas dan mudah menangkap sesuatu. Namun, kadang para tetangga sekitar justru merasa risih dan melarang anaknya bermain dengan Adit.
Kedua orang tua Adit pernah mengeluhkan perkembangan Adit kepada keluarga kami. Mereka merasa sedih dan tertekan setelah tahu anaknya menderita autis. Bahkan, saat Adit berusia lima tahun, ia pernah dikeluarkan oleh TK tempatnya bersekolah. Alasannya, pihak sekolah tak mampu lagi mengendalikan si anak yang dinilai terlalu agresif dan kerap mengganggu teman-temannya. Selain itu, Adit terkesan tak peduli saat menerima pelajaran dari para gurunya. Hal itulah mungkin yang membuat pihak sekolah kesal dan angkat tangan.
Sampai di situ, kedua orang tua Adit belum putus asa untuk menyekolahkan putranya tersebut. Bagaimanapun, mereka yakin, meski menderita autis, Adit adalah anak yang cerdas. Terbukti dengan rasa ingin tahun si anak yang tinggi. Meski demikian, ternyata setelah dua kali masuk TK, dua kali itu pula Adit dikeluarkan dengan alasan yang sama seperti sekolah sebelumnya.
Kini, usia Adit sudah beranjak tujuh tahun. Namun, dia tidak bersekolah karena ditolak saat masuk SD. Usaha kedua orang tuanya untuk mencarikan sekolah pun selalu menemui jalan buntu. Salah seorang kepala SD yang pernah didatangi ibu Adit menyarankan agar anaknya disekolahkan di SLB. Hal itu semakin membuat kedua orang tua Aditya sangat terpukul dengan kenyataan tersebut.
Suatu sore, kebetulan saya melihat Adit sedang bermain di rumahnya. Saya menghampiri sebentar dan menyapanya. Adit tak menjawab. Lalu, sang ibu menegurnya seraya memerintahkan membalas sapaan saya. Lagi-lagi dia tetap acuh. Ibunya tampak sedih.
Kedua orang tua Adit akhirnya berinisatif untuk mendidik anaknya sendiri di rumah karena tak tega bila Adit disekolahkan di SLB sembari berusaha mencarikan sekolah formal yang mau menampung Adit.
Dalam suatu kesempatan lain, saya melihat pemandangan mengharukan takkala melihat Adit dan ayahnya menunaikan salat Ashar berjamaah di musala kampung kami. Tak terlihat Adit yang nakal karena ia terus mengikuti gerakan sang ayah di sampingnya yang khusyuk mengikuti imam. Meski ia kerap dijauhi para tetangga, Adit tetap anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Autis bukanlah bahaya. Keteguhan dan kesabaran kedua orang tua Adit dalam mendidik anaknya yang menderita autis membuat saya kagum. Seolah, kedua orang tua Adit berpesan kepada para tetangga, ”Tolong, jangan jauhi anak kami.”
Dalam hati, saya hanya bisa berdoa untuk kebaikan Adit dan orang tuanya. Semoga Allah melimpahkan nikmat dan kasih sayang-Nya yang tak terhingga kepada hamba-Nya yang memiliki kekurangan dan keterbatasan seperti dia.