Kemarin pagi Habib Rizieq kembali dibawa polisi. Bersama puluhan anak buahnya, pemimpin organisasi massa Islam yang tak gentar dalam ber-amar maruf dan ber-nahyi munkar ini secara jantan mempersilakan polisi untuk bersama-sama menuju markas aparat negara tersebut.
Bukan sekali ini saja Sang Habib ‘berjalan beriringan’ dengan polisi. Bahkan dinginnya lantai penjara pun pernah dirasakannya. Dalam suatu pertemuan pribadi beberapa tahun lalu, Sang Habib berkata, “Jalan Nabi adalah jalan penuh onak dan duri. Jalan yang sunyi dan jalan yang kerap dipenuhi fitnah. Inilah dakwah Islam yang lurus, jalan para mujahid yang telah menjual nyawa dan kehidupannya semata untuk meninggikan kalimat Allah. Tidak semua orang mampu menelusuri jalan ini. Hanya orang-orang yang berani, punya nyali, dan mungkin sedikit nekat, yang mau menyusuri jalan yang tidak populer seperti ini.”
Saya mengangguk, terus memperhatikan uraiannya. Sang Habib mempersilakan saya minum teh hangat dari cangkir kuningan kecil. Setelah minum, kedua mata saya mengedarkan pandangan ke seluruh bagian rumah Habib yang juga dijadikan “markas besar” organisasi yang dipimpinnya.
Markas besar pakai tanda kutip. Soalnya markas besar yang ada di sekeliling saya—jujur saja—tidak layak disebut sebagai markas besar. Selain rumah Habib yang sangat-sangat sederhana, di sebelah kirinya berdiri sebuah ruangan kecil sebagai tempat perpustakaan dan barang-barang dagangan Sang Habib seperti tasbih, sorban, qur’an, aneka minyak wangi, dan lain-lain.
Di sebelah kanan rumah utama, berdiri sebuah ruangan yang lebih kecil lagi sebagai warung Sang Habib yang dipenuhi barang-barang dagangannya. Inilah Habib Rizieq yang sangat bersahaya dalam menjalani hidup. Isterinya, saya memanggilnya Umi, merupakan seorang perempuan yang sangat rendah hati dan tawadhu. Tak jarang dia menyapu sendiri halaman rumahnya atau bermain-main dengan anak-anaknya yang masih kecil dan lucu-lucu. Saya tidak pernah melihat khadimat di rumah ini.
Saya sudah berkali-kali mengunjungi rumah Habib, dari tahun ke tahun tidak ada perubahan yang berarti. Tetap dalam kesederhanaan dan ketawadhuannya. Dari jalan raya ke rumah sang Habib harus tetap menyusuri gang senggol sepanjang sepuluh meter dan pintu besinya yang rendah dan jarang di kunci yang itu-itu juga. Yang berubah hanya masjid yang berjarak sekitar tigapuluh meter dari rumah sang Habib, dulu masjid itu kecil, sekarang sudah lumayan besar.
Dalam hati saya berkata bahwa jika saja Habib mau merasakan hidup lebih makmur maka hal itu bukan hal yang sulit baginya. Front Pembela Islam (FPI), organisasi massa yang dipimpinnya itu memiliki cabang di hampir seluruh provinsi negeri ini. Bukan sekali dua kali tawaran menggiurkan (tentu saja dalam ukuran duniawi) mampir kepada Habib dari orang-orang yang memiliki maksud-maksud mengeksploitasi jumlah simpatisan maupun anggota FPI demi keuntungan dirinya. Namun semua itu dilihat Habib sebagai cobaan dakwah dan tidak membuat Sang Habib goyah. Sang Habib tetap menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan dan ketawakalan.
Saya sangat bangga umat Islam masih memiliki pemimpin umat yang lurus seperti Habib Rizieq. Di bumi Indonesia, jenis pemimpin umat seperti itu sudah sangat langka. Banyak ustadz-ustadz yang dahulu mengatakan dunia dengan segala perhiasannya adalah fitnah yang harus dihindari, ternyata sekarang malah terpenjara dalam kehidupan duniawi yang melenaka. Ada yang menyeru agar umat Islam lebih banyak jalan-jalan ke mall agar selera terhadap dunianya bertambah, ada yang tiap bulan membeli tanah hingga akte tanahnya menggunakan nama orang lain agar tidak ketahuan orang, ada yang mampu membeli mobil Bentley yang harga miliaran rupiah dan membangun istana di atas tanah berhektar-hektar di tengah lautan penderitaan umatnya yang kian hari kian putus asa, ada yang sibuk mengotak-atik anggaran negara (mengakali uang rakyat) demi memperkaya dirinya, ada yang mondar-mandir jadi makelar pilkadal, dan sebagainya.
Saya sangat sedih melihat kenyataan seperti sekarang ini. Dakwah sudah tidak ada bedanya dengan Multi Level Marketing (MLM), di mana mereka yang di atas bisa kaya raya dengan menginjak dan menunggangi umat yang berada di bawah. Yang di atas hiudp bagaikan surga dunia, sedangkan yang di bawah, umat kebanyakan, tetap hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Ukhuwah Islamiyah? Itu hanya materi di dalam pengajian-pengajian. Di dalam prakteknya: NOL BESAR. Hanya orang-orang kritis, cerdas, dan berani yang bisa bangkit dari semua dongeng penuh kepalsuan ini.
Saya terngiang-ngiang perkataan Habib saat akhir pertemuan. “Akhi, walau banyak orang menuding kami kelompok radikal, kami akan tetap dalam jalan dakwah ini. Kami akan tetap melakukan amar ma’ruh nahyi munkar sampai kapan pun. Ini adalah jalan para Nabi. Mudah-mudahan Allah SWT selalu bersama kita.”
Malam ini, saya memanjatkan doa agar Allah SWT melindungi dan memperkokoh keimanan Sang Habib dan para anak buahnya yang tengah didera fitnah dari Hizbusyaithon, manusia-manusia yang merelakan dirinya menjadi pembela kepentingan Zionisme. Bagi saya, Habib dan para pengikutnya merupakan orang-orang yang selalu istiqomah dalam melakukan amar ma’ruf nahyi munkar. Bukan seperti ‘pemimpin umat yang lain’ yang sudah memodifikasikan hal ini sehingga menjadi Amar Ma’ruh Nyambi Munkar. Amien.