“Ticketnya sudah confirm ya. Insya Allah kita pulang tanggal 7 Mei”, suara suamiku menginformasikan jadwal rencana kepulangan kami melalui telepon.
Alhamdulillah… Akhirnya jadi juga kami pulang ke Indonesia. Tentu saja kali ini rasanya beda dengan kepulangan sebelumnya, karena kali ini kami pulang for good, setelah penempatan kerja suamiku selama hampir 4 tahun di sebuah pulau kecil di tengah Samudera Hindia ini.
Sudah terbayang berkumpul dengan keluarga besar kami, para ponakan yang tumbuh sangat cepatnya dan teman-teman lamaku yang selama ini hanya bisa berhubungan dengan email dan sms, serta sekali-kali telpon dan… kembali ngantor! Setelah 3 tahun lebih beristirahat dari rutinitas kantor dan belajar menjadi ibu rumah tangga sejati, yang ternyata tidak mudah. Benar-benar saat yang dinanti-nanti itu akhirnya tiba di depan mata.
“Kontrak kerjanya hanya untuk 2 tahun kok”, masih teringat waktu itu “calon suamiku” menyampaikan tentang masa penugasannya kepadaku. Ketika kemudian aku menemaninya sebagai suamiku beberapa bulan kemudian, pun tidak ada istilah homesick pada diriku, mengingat 1 tahun yang berlalu dengan cepat, tentunya sisa 1 tahun lagi akan demikian juga adanya.
Namun dari jadwal semula yang 2 tahun itu suamiku diminta tinggal untuk 1 tahun lagi, kemudian 6 bulan lagi dan kembali 6 bulan lagi untuk membantu proses handing over sehubungan dengan penjualan perusahaan tempatnya bekerja, maka “pulang for good” menjadi sebuah berita yang aku nantikan.
“How do you feel leaving Mauritius? Don’t you like staying here?”. Hampir selalu kata-kata ini yang terucap dari teman-teman kami di sini, setiap kami sampaikan rencana kepulangan kami yang sudah diambang waktu itu.
So, how do I feel? Hmmm… Ketika pertanyaan itu kini terlontar, kenapa malah aku tidak dapat langsung menjawabnya. Jadi sebenernya apa yang aku rasakan?
Mauritus, sebuah Negara kepulauan yang sangat kecil di tengah luasnya Samudera Hindia. Besarnya mungkin hanya 3/4 kali Bali dengan jumlah penduduk yang tidak sampai 15% warga DKI Jakarta di siang hari. Menurut seorang teman Mauritian, jumlahnya tidak lebih dari 2 juta orang pada saat summer, Oktober-Maret, itupun dengan catatan 800 ribunya adalah international tourist yang mencari matahari disaat negaranya bermandikan salju dan dingin yang menusuk. Apalagi Mauritius memang terkenal dengan pantainya yang memang cantik.
Mayoritas penduduk yang mayoritas India membuat Hindu menjadi agama mayoritas di negeri ini. Penduduk keturunan Africa yang disebut Creol adalah jumlah terbesar kedua setelah mereka. Islam yang sebagian besar dianut oleh keturunan dari daerah Utara India menjadi agama minoritas dengan jumlah sekitar 17% dari total penduduknya.
Membutuhkan waktu beberapa bulan untuk beradaptasi dengan kebiasaan muslim di sini. Hal yang saya rasa paling sulit diterima pada mulanya adalah penggunaan Masjid. Di sini Masjid boleh dikatakan hak prerogatif kaum lelaki. Cukup sulit untuk menemukan masjid yang menyediakan ruangan shalat khusus untuk perempuan, padahal Masjid sendiri di sini bukanlah bangunan yang mudah didapatkan.
Akibatnya setiap merencanakan perjalanan, apakah keliling pulau, beraktifitas laut ataupun hanya bermain di pantai, perlu membuat perencanaan yang sangat matang. Apakah memulai dari pagi dan selesai sampai jam makan siang, supaya shalat zuhurnya tidak terlewat. Atau berangkat sehabis makan siang dengan catatan tidak boleh lama-lama supaya sudah bisa sampai rumah pada saat waktu ashar.
Mengenai jadwal shalatpun cukup berbeda dengan jadwal shalat di Indonesia yang sebagian besar memakai mazhab Syafii. Muslim Mauritius hampir semua sepakat menggunakan mazhab Hanafi sama seperti sebagian besar warga India muslim dan Pakistan pada umumnya. Sehingga mereka menggunakan waktu ashar yang diakhirkan, mendekat ke waktu magrib. Sempat bingung juga awalnya, shalat jam berapa ya?
Masih mengenai shalat, untuk kaum lelaki yang berjamaah di masjid. Shalat berjamaah akan dimulai 20-25 menit setelah azan dikumandangkan. Nah, kalau buat yang ini, cukup membingungkan untuk shalat subuh. Karena yang ada jadinya, setiap suami saya pulang shalat subuh di masjid dekat rumah, diluar rumah sudah cukup terang alias sudah tidak ada nuansa subuhnya. Nah loh? Jadi gimana dong…?
Belum lagi peringatan-peringatan agama seperti urz dan khatam, 2 istilah yang mereka ambil dari bahasa urdu. Mungkin pengertiannya mirip dengan Tahlilan atau selametan di Indonesia. Tapi ketika belakangan kami perhatikan, kok ada acara “membacakan Al-Fathihah” bagi makanan tertentu? Atau pemberian air bunga mawar kepada setiap tamu, yang saya sendiri masih belum mengerti maksudnya apa. Wah.. wah… gak berani ah… Akhirnya, setiap ada undangan, kami memilih datang last minute yang biasanya acara intinya sudah selesai. Paling tidak kan masih menghormati undangannya.
Aaaah… betapa kangennya aku dengan jakartaku, yang biarpun berantakan macetnya minta ampun, tapi Alhamdulillah masih cukup mudah menemukan Masjid di mana mata memandang. Betapa Jakarta kota yang sudah penuh dengan gedung-gedung tinggi, shopping centre di mana-mana, tapi masih menyediakan mushalla, dari yang hanya di tempat parkiran mobil dengan bilik sederhana sampai ke ruangan yang apik dengan tempat wudhu yang eksklusif.
Aaaah… tapi bagaimana dengan diriku yang menjadi terbiasa dengan ucapan salaam ketika bertemu saudara-saudara muslim, menggantikan “hallo, hi, selamat pagi siang malem”. Akankah Jakartaku menerima kebiasaan baruku ini?
Bagaimana dengan “Insya Allah” yang menjadi sangat terbiasa diucapkan menggantikan “ok” ketika berjanji atau berencana. Bukan.. bukan seperti Insya Allah di Indonesia yang 90% kemungkinannya tidak bisa ditepati, tetapi karena mereka di sini meyakini, mereka hanya berencana dan Allah yang Memutuskan.
Masih ingat bagaimana aku memandang "fanatik" saudara-saudaraku yang berprinsip tidak mau bersalaman dengan lawan jenis. Astaghfirullah… Bagaimana Jakarta menerimaku dengan diriku yang kini telah terbiasa dengan kebiasaan Mauritus yang Islami ini?
Abaya-abayaku, yang terbiasa aku pakai karena kepraktisan dalam keseharianku tanpa terlalu banyak komentar dari kanan kiri, yang begitu nyamannya aku kenakan ketika Alhamdulillah Allah Mengundang kami menjadi tamuNya Desember tahun lalu. Aaaah… Fanatik? Ekstrim?
Mauritius, aku akan meninggalkanmu kembali ke Jakartaku tercinta…
Ya Allah, sungguh aku mohon BimbinganMu disetiap langkah hambaMu yang lemah ini…. Aku mohon Berikanlah Kekuatan kepadaku untuk dapat selalu berdiri tegak di jalanMu yang lurus di manapun aku berada…
Aamiin… Yaa Rabbal ‘Alamiin..
Quatre Bornes, Maret 2008