Jakarta? ”Nice city, ” begitu kata seorang kawan. ”Yaah, sampeyan belum tahu sih..” begitu jawab saya dalam hati. Kalau saja dia jeli atau keliling Kota Jakarta, mungkin bisa jadi dia bakal mengoreksi kata-katanya tadi. ”Home to over 10 million people, Jakarta is the capital city of Indonesia, ” terang saya.
Padahal, saya mafhum betapa ibu kota negara itu identik dengan macet dan sumpek. Di ujung-ujungnya, saya bertanya, ”So, why should you visit Jakarta?” Jawaban para bule pasti kurang lebih sama: ”Because we can find everything here..” Mungkin, ada benarnya. Meski padat, urbanisasi ke Jakarta justru meningkat. Desember 2006, saya mengunjungi Jakarta.
Meski bukan kali pertama, saya berdecak kagum dengan pesatnya pembangunan di sana. Gedung-gedung pencakar langit menjulang begitu megah. ”Yo iki sing bikin Jakarta sering banjir, ” pikir saya. Sebab, banyak bangunan yang tinggi tanpa memperhatikan konstruksi serapan air. Akibatnya, jika datang hujan dan air kiriman dari Bogor, banjir menggenangi hampir 2/3 Jakarta, Meski demikian Jakarta adalah kota yang supersibuk. Denyut nadi kehidupannya hampir 24 jam seiring perputaran uang di sana.
Jujur, saya cukup norak melihat busway sliweran. Bagus sih busnya, tapi kasihan juga lahan-lahan warga yang digusur untuk proyek busway. Bisa-bisa, sepuluh tahun lagi orang jalan di depan rumah kena macet nih, gumam saya dalam hati. Herannya, jargon ibu kota itu kejam tidaklah memengaruhi banyak orang. Kian banyak saja orang yang mengadu peruntungan di Jakarta. Angka urbanisasi tetap tinggi. Akibatnya, banyak pengangguran dan kemiskinan karena semakin sempitnya lapangan kerja, sementara tingkat persaingan sangat tinggi.
Dari situ akhirnya bersambut dengan tingginya kriminalitas. Pencopetan di bus, penjambretan di terminal, perampokan di taksi, kekerasan disertai penganiayaan hampir setiap hari terjadi di Jakarta. Muaranya satu: urusan perut dan bertahan hidup. Masya Allah. Cara-cara demikian atau kejahatan terjadi seiring tingginya kesenjangan sosial di ibu kota tersebut. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin tersudut.
Rasa kasihan dan perhatian kepada kaum duafa mungkin hanya sedikit yang peduli. Muda-mudi makin trendi dan suka mejeng di mal. Katanya susah, tapi masih mampu kredit kendaraan dan rumah. Gengsi dianggap jauh lebih penting daripada kalah gaya. Konsumerisme nyaris menjadi budaya. Gaya hidup hemat seperti dianjurkan Nabi Muhammad tak banyak dianut. Investasi akhirat seperti zakat dan sedekah tak banyak diindahkan.
Korupsi para wakil rakyat di ibu kota pun terbilang tinggi dan bisa bikin geleng-geleng kepala. Korupsi itu sama seperti mencuri. Tak peduli maling ayam atau koruptor kelas kakap, harus dihukum secara setimpal. Betapa kita harus berkaca dan menilik pada sabda Rasulullah: ”Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku pun akan memotong tangannya.” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Melihat ketimpangan sosial ini, saya teringat kembali pada hadis tersebut. Bagi orang awam, pernyataan itu kedengaran sarkastis atau mungkin dalam bahasa George W. Bush disebut militan atau fundamentalis. Namun, bagi kalangan ulama, itu adalah salah satu dasar dalam proses law enforcement.
Kisahnya, seorang perempuan di zaman Rasulullah SAW sesudah fathu Makkah telah mencuri. Rasulullah lalu memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi perempuan tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau bersabda, ”Apakah kamu akan meminta pertolongan (mensyafa’ati) untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza wajalla?” Usamah lalu menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku ya Rasulullah.”
Pada sore harinya, Nabi SAW berkhutbah setelah terlebih dahulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Beliau bersabda, “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan jika seorang bangsawan mencuri, dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah), dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku pun akan memotong tangannya.”
Setelah bersabda begitu, beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu. Subhanallah. Jakarta oh Jakarta. Dalam hati, saya berharap menjelang pulang ke Surabaya. Semoga kemiskinan yang sedemikian menonjol di ibu kota, atau kota-kota lain, dapat memicu kesadaran kita dalam berzakat dan menumbuhkan kepekaan sosial. Juga, pemerintah bisa bersikap tegas menindak para koruptor dan menegakkan keadilan. Semoga kita bisa memberantas KKN di negara ini menuju suatu baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Amiin.. [email protected]