Judul refleksi ini saya ‘curi’ dari judul buku karya Dr. Raghib As-Sirjani, penulis buku best seller “Misteri Shalat Shubuh” yang luar biasa dan fenomenal itu. Judul asli dari buku itu adalah Risâlah ilâ Syabâb al-Ummah, yang secara bebas saya artikan dengan “Surat Terbuka kepada Pemuda Islam”. Buku yang diterbitkan oleh penerbit AQWAM (Solo) ini penting untuk ‘diberitakan’ dan “diinformasikan”. Agar para pemuda sadar bahwa mereka punya “tanggung jawab” yang tidak ringan, karena mereka adalah calon nakhoda roda kemajuan Islam.
Ya, pemuda sangat “vital” peranannya di tengah-tengah umat. Mereka adalah “tulang punggung” agama, bangsa dan negara. Dan itu semua tidak dapat diemban, jika para pemudanya tidak memiliki “komitmen” yang baik, benar dan istiqâmah. Di awal tulisannya, Dr. Raghib (hlm. 11) menyapa qalbu para pemuda dengan mencatat:
“Potret generasi muda kita ini mencerminkan dan menjelaskan perkara yang sangat mengkhawatirkan kita semua, yakni sirnanya komitmen sebagai seorang Muslim di dalam diri generasi muda kita. Komitmen mereka sebatas hanya kepentingan pribadi belaka. ”
Kepentingan pribadi. Artinya, para pemuda itu benar-benar “egois”. Ini mungkin fenomena umum dari mereka. Mereka hanya memikirkan seputar perut, aksesoris duniwa (mobil, sepeda motor, hp, pakaian bagus dan modis), dugem (dunia glamour), tidak lebih. Saya khawatir, jika itu yang terjadi, para muda tidak akan mengenal Islam dengan baik. Jika demikian, maka Islam tidak akan membutuhkan mereka. Imam ‘Ali karramallâhu wajhah pernah bertutur: “Barangsiapa yang hanya berpikir tentang perutnya, maka kualitasnya “tidak lebih” dari apa yang dikeluarkan oleh ‘perutnya’”.
Para pemuda Islam seharusnya menyadari, bahwa usia mereka akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah. Kanjeng Nabi SAW pernah bertutur tentang mereka ini: “Tidak akan bergeser kedua kaki Anak Adam pada hari kiamat dari Tuhannya, hingga dia ditanya tentang empat perkara: [1] tentang usianya, untuk apa ia habiskan; [2] “tentang masa mudanya”, untuk apa ia gunakan; [3] tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan [4] tentang ilmunya, apa yang telah ia lakukan dengan ilmu itu. ” (HR Al-Tirmidzi).
Banyak pemuda yang berasumsi bahwa: “masa muda” adalah kesempatan untuk:[1] senang-senang; [2] hidup hura-hura dan poya-poya; [3] masa menikmati keindahan, karena tidak ada –menurut mereka–masa yang lebih indah selain “masa muda”. Maka muncullah istilah sweet seventeen; [4] masa –ini yang lebih konyol, na‘udzu billâh min dzâlik–memuaskan diri dengan perbuatan yang tidak baik: dosa dan maksiat kepada Allah. Karena dalam otak mereka, ketika rambut sudah ‘beratap seng’ alias berhias uban, mereka bisa taubat. Yang saya khawatirkan adalah, belum sempat taubat, nyawa (ruh) keburu dipanggil Sang Empunya, Allah SWT. Kapan mau taubat? Kapan mau kembali? Menunggu masa tua?
Saya membayangkan, hanya sekedar misal, jika ada seorang pemuda yang kerjannya hanya mengkonsumi putaw, pil anjing –udah tahu pil ini diproduksi untuk anjing, diminum lagi–shabu-shabu, bir, dan zat adiktif lainnya. Apa yang dapat dilakukan oleh pemuda macam ini?! Seandainya dia jadi direktur sebuah perusahaan, akan ‘menghanguskan’ seluruh dokumen perusahaannya. Kenapa? Bisa jadi dia salah meletakkan tanda tangannya (signature), karena dia sedang on alias sakaw. Dia sedang mabuk, sehingga asal letakkan tanda tangan. Ini baru contoh sederhana. Bagaimana dengan pekerjaan yang lain, yang juga ditangani oleh pemuda model ini.
Pemuda yang hidup dengan “dugem”, sangat berbahaya. Yang dia tahu hanya kesenangan belaka. Dia tidak sadar, bahwa kesenangan semacam itu sifatnya palliative alias sementara dan sekejap saja. Saya punya “dugem” yang lain. Dugem adalah ‘duduk gemetar’ alias “zikir” kepada Allah. Pemuda yang punya ingatan khusus untuk Allah, memorinya akan menjadi baik dan sehat. Karena dia punya tanggung jawab penuh terhadap kemajuan umat Allah (manusia) dan agama Allah (Islam). Dia akan sadar, ternyata dia juga bagian dari misi besar Islam, “rahmatan li al-‘Alamin”.
Coba sejenak merenung dan berpikir. Umat ini butuh amunisi baru, para pemuda yang “peka” dengan problematika umat. Kita sudah lelah mendengar berita para pemuda yang masuk bui gara: putaw, memperkosa, membunuh, korupsi, dll. Lihat umat kita yang terbelakang: miskin, kotor, suka berantam, mudah diadu-domba, mudah ditipu dan dikibuli, suka menyalahkan saudaranya, suka pasrah ama takdir, cepat putus asa, cepat puasa dengan prestasi yang kecil, dan masih seabrek permasalahan dan sekeranjang problematika yang menuntut solusi dari pemuda. Bukankah itu semua tantangan bagi para mereka? Tapi ke mana mereka pergi dan menghilang?
Pemuda yang peka dengan ‘sikon’ (situasi dan kondisi) zaman adalah pemuda “Muslim Sejati”. Pemuda masa depan. Karena hidup dan mati umat ini, menurut Musthafa al-Ghulayaini, adalah di tangan mereka. Al-Ghulayaini menyatakan, “Inna fi yadi al-syubbâni amra al-ummati, wa fî aqdâmihim hayâtaha” (Sungguh, di tangan para pemudalah urusan umat ini. Dan di bawah kaki mereka lah hidup dan matinya umat ini). Masihkah kita ‘tertidur lelap’ di atas ‘kasur khayalan’ dan “ilusi dusta”? Jika sadar bahwa “usia” akan dipertanggung-jawabkan, apakah kita mau dan rela “laporan pertanggung-jawabkan” kita ditolak, dicampakkan dan dicerca di hadapan Allah?!
(Medan, Jum‘at pagi yang sedikit mendung, 7 Syawwal 1428 H/19 Oktober 2007)
Http://qosim-deedat. Blogspot. Com/http://alqassam. WordPress. Com