Ketika berhasil mendapatkan gelombang yang diinginkan, aku bersorak gembira.
“Akhirnya dapat juga!” pikirku girang. Terdengarlah lagu-lagu berirama padang pasir. Jaddi memang pernah kuliah di Saudi. Mungkin dengan mendengarkan irama padang pasir itu, beliau ingin bernostalgia. Lain waktu terdengar lantunan orang mengaji di radio. Suaranya merdu, menyayat hati. Diriku ikut terhanyut karenanya. Aku ingin bisa mengaji sebagus itu. Aku juga sering mendengarkan Jaddi mengaji. Tidak perlu teks, karena beliau hafal Al Quran. Iramanya cepat sekali.
Jaddi juga kadang-kadang menjadi imam di mesjid dekat rumah. Aku pernah ikut sholat tarawih yang diimami oleh Jaddi. Surat-surat yang dibaca Jaddi panjang-panjang, tapi karena Jaddi membacanya dengan cepat, jadinya terasa pendek.
Jiwa pendidik melekat kuat dalam diri Jaddi. Tak heran karena beliau adalah seorang guru. Jaddi mengajar di MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) Geurugok yang kebetulan letaknya persis di samping rumah. Sebagai guru, Jaddi cinta kepada murid-muridnya. Terkadang beliau bernyanyi bersama mereka.
Memang dalam diri Jaddi tersimpan beragam karakter. Selain disiplin dan tegas, beliau juga orang yang lembut hati, mudah jatuh kasihan terhadap mereka yang lemah, dan cinta kepada anak-anak. Itulah sebabnya mengapa beliau akrab denganku, yang waktu itu masih anak-anak.
Sosok Jaddi sebenarnya pendiam, tapi diriku betah berlama-lama berdekatan dengannya. Karena beliau tidak pernah membentakku, suka memperhatikanku dan kadang-kadang mengajakku sholat berjamaah. Aku senang sholat dengan Jaddi, karena tidak pernah lama. Tentunya beliau mengerti psikologis anak kecil yang bosan kalau sholat lama-lama.
Sebenarnya ini bukan pertemuan pertamaku dengan Jaddi. Jaddi pernah beberapa kali ke Jakarta. Rindu dengan anak cucu, sekaligus berobat. Jadi keakrabanku dengan Jaddi dimulai saat beliau di Jakarta.
Seingatku, Jaddi sudah mengajakku sholat berjamaah sejak aku masih di TK. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan. Dan aku melakukannya dengan `enjoy`, tanpa beban.
Tanpa kusadari ajakan Jaddi untuk mengajakku sholat berjamaah membekas dalam jiwaku. Aku jadi terbiasa sholat lima waktu, bahkan sedari kecil. Berpuluh tahun kemudian, barulah kupahami bahwa Jaddi telah menanamkan metode pembiasaan pada diriku, sejak masih kanak-kanak. Dengan metode ini, akan mudah bagi si anak untuk melakukan apa yang dibiasakannya. Tanpa latihan dan pengalaman yang dibiasakan, maka akan sulit bagi seorang anak untuk melaksanakan ajaran agama seperti sholat.
Pembiasaan yang diterapkan Jaddi berpuluh tahun lalu kini telah membuahkan hasil nyata. Sholat lima waktu, bagiku bukanlah suatu hal yang berat. Memang jika kita telah terbiasa mengerjakan sesuatu hal, sesuatu yang berat sekalipun tentu tidak akan terasa berat lagi. Hal ini yang sedang kucoba terapkan pada anak-anakku. Aku membiasakan anak-anakku sholat, bahkan sejak mereka balita.
***
“Sie itieknya enak, Minnek,” pujiku tulus. Rasanya sebelumnya aku belum pernah mencicipi gulai itik seenak ini. Minnek hanya tersipu-sipu. Beliau memang pandai memasak, berbeda dengan diriku, hiks. Wah seminggu di sini, timbanganku bisa naik nih!