Izinkan Aku Masak Untuk Mereka

Orang memanggilnya Bu Nuri. Pengusaha katering yang cukup terkenal di kota ini. “Wah, luar biasa Bu Nuri ini. Sudah ahli memasak pun masih suka membaca buku resep,” kataku menyapa. Hari itu kami duduk-duduk di kantin sekolah. Sama-sama menunggu pembagian raport anak. Ia memang kesohor pintar masak. Usaha kateringnya maju pesat. “Alhamdulillah, hasilnya sebulan bisa sampai 1500 ringgit (sekitar 5 juta),” ujarnya kalem.

“Ini buku resep masakan Thailand. Kelihatannya sih enak. Saya mau coba”. Sambil membolak-balik halaman demi halaman buku resep itu, aku tertarik mendengar bagaimana ceritanya hingga hobby masak-memasak. Ya, sekadar hobby, karena sebenarnya Bu Nuri orang kaya yang serba kecukupan. Lantas mengapa usaha katering?

“Saya ini sebenarnya calon notaris yang gagal,” katanya mengenang. Kisah nyatanya yang menggugah bagiku menarik disimak.

***

Kami dibesarkan oleh ibu tanpa kehadiran ayah di sisi kami. Aku melihat sendiri, bagaimana kerasnya usaha ibu untuk menyekolahkan kami. Karena itu kami sungguh-sungguh belajar dan bertekat untuk meraih setidaknya gelar sarjana untuk pegangan kami di kemudian hari. Kami tidak mau kejadian yang menimpa ibu kami terulang pada kami. Ibu ditinggal mati ayah, tanpa punya pekerjaan tetap atau keterampilan khusus, kemudian membesarkan anak sendirian dengan susah payah.

Ketika kuliah IP-ku termasuk bagus, rata-rata di atas tiga. Sayang, kuliahku belum selesai, aku keburu menikah. Hinggak anak kedua lahir, aku masih susah payah kuliah. Hingga akhirnya ketika anak keduaku sakit dan aku harus menungguinya terus menerus. Kuliahku mulai terbengkalai, bagaimanapun tanggung jawab sebagai ibu tidak boleh kuabaikan. Hingga akhirnya aku harus pasrah dan ikhlas meninggalkan bangku kuliah.

Namun syukurnya, gaji suamiku mampu memberikan kami kehidupan yang mewah. Aku pun akur dengan mertua dan suami. Kurelakan berhenti kuliah. Biarlah anak-anak dan rumah tangga ini menjadi ladang pahala bagiku. Tapi semua itu kurasa belum cukup. Kebetulan kompleks dimana kami tinggal –kata orang sih perumahan elit- ada kelompok pengajian yang sering melakukan bakti sosial. Aku mulai ikut dan aktif di sana. Membantu kaum dhu‘afa, janda-janda miskin dan anak-anak yatim. Mengumpulkan dana untuk memberikan mereka modal ala kadarnya untuk buka usaha. Membantu dan membiayai sekolah anak-anak yatim itu. Kemudian memberi mereka motivasi hingga beberapa yang tadinya kami bantu bisa menjadi penolong buat yang lain. Mereka yang sudah berhasil dengan suka rela meminjamkan modal ke temannya. Aku bahagia dan makin bersemangat.

Namun, semua itu tak berlangsung lama. Baru sekitar tiga atau empat tahun aktif di sana, suamiku pindah kerja. Mau tidak mau aku harus ikut pindah. Berat sekali rasanya meninggalkan anak-anak asuh itu karena mereka sudah terlanjur dekat denganku. Tiga bulan setelah kepindahan suamiku baru aku bersedia untuk menyusulnya. Bagaimana nasib anak-anak yatim itu setelah kepergianku? Meskipun aku yakin teman-teman lain akan meneruskan kegiatan itu, tapi aku tetap berat hati jika harus melepaskan kegiatan ini begitu saja. Tapi bagaimana aku bisa menolong mereka dari jauh?

Aku sempat terombang-ambing di tempat baru ini. Tidak banyak kegiatan berarti yang bisa kulakukan di sini. Rutin mengurus anak-anak dan rumah tangga. Sekali lagi aku merasa tak puas. Aku ingin berbuat lebih. Kerinduan pada anak-anak yatim piatu, janda-janda dan orang dhu‘afa itu selalu menggangguku. Aku ingin bisa terus membantu mereka. Tetapi bagaimana caranya?

Suatu ketika aku menerima telpon dari rekan kerja dulu di panti asuhan. Dia mengabarkan ada sekitar 20 orang anak dhu’afa dari kawasan panti asuhan yang berhasil mereka bawa ke sekolah biara. Pihak gereja sengaja mengambil mereka untuk dikristenkan dengan iming-iming mereka akan dibantu dan disekolahkan. Untungnya Lurah setempat tidak setuju dan keduapuluh anak tersebut ditarik kembali dan ditempatkan di panti kami. Tetapi masalahnya pihak panti kekurangan dana.

Mendengar itu, aku berjanji akan membantu mereka. Aku berjanji dalam hati untuk mendapatkan uang agar bisa membantu mereka. Tapi bagaimana caranya?

Tidak terbayang sebelumnya bahwa katering adalah jalan untukku mendapatkan uang. Aku tidak begitu pandai memasak. Tapi rasanya tidak ada jalan lain. Aku harus mendapatkan uang untuk menolong panti. Semua itu tentu saja aku keluhkan kepada-Nya, dan tidak lupa memohon pertolongan-Nya. Suatu ketika iseng kutawarkan masakanku di acara pengajian-pengajian. Hanya Allah SWT yang tahu betapa bahagianya aku ketika teman-teman menyukai masakanku. Orderan demi orderan berdatangan. Aku sering takjub sendiri. Mustahil semua ini terjadi tanpa campur tangan-Nya. Aku yakin Allah SWT yang membuat lidah orang-orang itu menyukai masakanku.

Tapi tidak ada usaha yang berjalan mulus-mulus saja kan? Sudah pasti akan ada halangan atau tantangannya. Suamiku rupanya cukup terganggu dengan omongan-omongan orang. Mau cari apa sih istri Pak Lim itu? Masak gaji suaminya yang gede itu tidak cukup juga buatnya? Sampai buat ketering segala? Tanpa pembantu lagi? Kalau aku atau istri aku gak usahlah ya.

Bisa dimengerti jika kemudian suamiku ‘kebakaran jenggot’.                                                                       “Mau apa sih buat katering segala Ma?”
“Sudahlah bikin malu saja. Kayak kita kekurangan uang saja,” ujarnya dengan nada tinggi.

Aku terdiam, aku tidak pernah membantah kata suami. Lagi-lagi hanya Allah tempatku berkeluh kesah. Aku memohon pada-Nya untuk membukakan hati suamiku agar mau mengizinkan aku meneruskan usahaku ini. Keesokan harinya kubicarakan kembali dengan suami. Bahwa tidak ada gunanya mendengar cemoohan orang. Karena yang aku lakukan ini adalah perjanjian yang aku buat dengan Allah. Bahwa ini semua aku lakukan bukan karena ingin memperkaya diri sendiri. Tapi murni untuk menolong mereka yang perlu.

“Pa, izinkan aku meneruskan usaha ini. Izinkan aku terus memasak untuk membantu anak-anak panti itu.”

Alhamdulillah, akhirnya dia mau mengerti dan malah mendukung usahaku. Sekali lagi Allah mendengar pintaku. Segala puji bagi-Nya. Aku tambah bersemangat, hidupku bertambah ceria. Keuntungan dari usaha kateringku kukirimkan setiap bulan ke anak-anak asuhku.

“Seperti di bulan ramadhan ini mbak Inci, gak nyangka, delapan juta rupiah bisa terkumpul. Kemarin sudah kukirimkan ke panti itu. Lumayan bisa buat THR guru-guru panti dan juga buat anak-anak panti. Alhamdulillah.” Katanya lagi menutup kisahnya.[]