Takbiran di Ruang ICU

Awal Januari tahun 2007, tepatnya sehari sebelum Hari Raya Idul Adha, saya mengunjungi seorang teman yang profesinya sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Mojokerto Jatim. Saat itu saya diajak ikut dinas malam di ruang ICU.

Saya memutuskan untuk ikut, namun dengan syarat: tidurnya “camping” di luar ruang ICU bersama para keluarga pasien ICU. Tapi ternyata Nur, teman saya ini, memaksa saya masuk ruang ICU walaupun saya sudah berkali-kali menolaknya.

“Duh, kan serem Nur. Aku ga kuat lihat kondisi pasien gawat!" kilahku.

“Lebih baik aku di luar dengerin suara takbir sambil ngelamun daripada stress liat yang gawat-gawat!”

Tepat jam 10 malam Nur merusak lamunan saya.

“Udah malam, ayo masuk!”

Akhirnya karena melihat semua penunggu adalah laki-laki, maka saya memberanikan diri masuk ke ruangan dimana biasanya terdapat banyak pasien yang meninggal itu.

Benar saja, saat masuk saya mendapati dua pasien sedang terbaring dalam kondisi kritis. Semuanya tersambung ke monitor: ada monitor ECG dan Ventilator. Mesin Ventilator dalam keadaan Technical Error, berbunyi tiap 2 menit sekali, menambah pekerjaan perawat dan terlebih menambah seram suasana.

Di ruangan itu ada pasien yang baru saja dioperasi karena jatuh dari pohon. Kepalanya diperban. Ada selang kecil berisi darah yang keluar dari kepalanya dan ada tulisan "Tanpa Tulang" di bagian parietal-nya (bagian ubun-ubun). Terbayang kegawatan kondisi sang pasien. Ternyata musibah bisa terjadi di mana saja. Tidak harus di jalan, naik pohon saja bisa separah itu.

Saya jadi berpikir, sebenarnya alangkah beruntungnya saya bisa masuk ke ruangan yang orang awam lain tidak diperbolehkan masuk. Sebuah kesempatan langka. Maka kesempatan berada di ruang ICUsaya pergunakan untuk memperhatikan peralatan kedokteran.

***

Jam 12 lewat ada telepon dari ruang UGD. Pasien baru akan masuk. Ternyata korban kecelakaan juga. Saya bertanya pada Dewi, temannya Nur, tentang kondisi pasien yang akan masuk. “Biasanya yang masuk sini gawat-gawat,” jawabnya. Wah, saat itu saya tidak tahu harus lari ke mana . Yang saya bayangkan hanya darah bercucuran, muka rusak dll.

Benar-benar tidak ada berhentinya kerja menjadi perawat. Kedua perawat ini lalu sibuk mengurusi pasien baru. Saya hanya memperhatikan dari kejauhan. Darah segar masih mengalir dari kedua kuping pasien baru itu.

Ketika Nur membacakan hasil CT Scan lewat telepon untuk dokter ahli syaraf, baru saya tahu ternyata darah yang keluar itu berasal dari meningen subarakhnoid (ruang antara dua lapisan pelindung otak, antara lapisan piamater dan arakhnoid).

Nur berkelakar ketika melihat sayamembantunya mematikan bunyi yang berasal dari mesin Ventilator yang rusak, “Mimpi apa aku semalam, ya, didatengin petugas pemencet alarm monitor hehehe.” Yang ditanya hanya mesem-mesem saja. Saat itu saya tidak tega melihat mereka.

Sementara sibuk mengurusi pasien baru, mereka harus pula mematikan alarm mesin Ventilator yang error berbunyi setiap dua menit sekali. Maka tanpa dikomando saya duduk di samping pasien yang tulang kepalanya dicopot itu untuk mematikan alarm jika berbunyi.

Dewi dan Nur berulangkali menyuruh saya untuk tidur, tapi melihat-lihat sekeliling ruangan ternyata lebih menarik bagi saya yang saat itu sudah hampir terbiasa dengan suasana seram ruang ICU.

Di dekat meja kerja perawat ada daftar harga. Ternyata tarif ICU mahal sekali! Biaya oksigen untuk 24 jam saja hampir 300 ribu, tepatnya 288 ribu. Belum lagi biaya obat, dokter, sewa kamar ICU perhari yang mahal dll.

Langsung terbayang kalau Allah meminta bayaran untuk oksigen yang saya hirup setiap hari dengan bebas dan leluasa ini, mana sanggup saya membayar hanya untuk oksigen saja.

Terbayang segala sikap saya yang kurang bersyukur pada Allah. Allah tidak pernah meminta bayaran dengan semua nikmat yang telah diberikan-Nya. Dengan syukur dan ibadah yang terbaik pun sebenarnya kita tidak akan pernah bisa mengimbangi kepemurahan dan penyayangnya Allah.

Suara takbir Idul Adha bergema hingga memasuki ruangan ICU. Sambil memencet alarm monitor mesin ventilasi, saya pandangi pasien gawat yang lemah tak berdaya. Hanya Allahlah yang sanggup membuatnya berjalan dan memanjat pohon lagi. Manusia memang lemah, tapi kadang suka merasa paling kuat dan bisa.

Allaahu Akbar Allaaahu Akbar Allaaahu Akbar. Laailaaha Illaallaahu wawlooohu Akbar. Ya Allah berikanlah kesembuhan kepada pasien-pasien ini.

Berikanlah kesehatan dan kebahagiaan buat kedua orangtua hamba. Jadikanlah kami hamba yang pandai bersyukur.