Ada seorang wanita yang punya sifat lembut dan insya Allah shaleha. Saat mengucapkan ijab-kabul dengan seorang pria yang di cintainya, maka dia tak kuasa untuk tidak mengucurkan air di pipinya. Tangisan itu bukanlah sebuah kesedihan, tapi sebuah kebahagiaan karena telah di persandingkan dengan seorang pria yang dia yakini akan membuatnya bahagia dalam berumah tangga.
Beberapa tahun perkawinan berjalan sesuai dengan impiannya. Kasih-sayang dan materi memenuhi hidupnya. Hingga pada suatu waktu, sang suami menderita sebuah penyakit yang mengakibatkannya harus kehilangan pekerjaan.. Suaminya harus berhenti karena di kenakan medical terminated. Yaitu suatu PHK karena dianggap penyakitnya tersebut tidak memungkinkanya lagi untuk bekerja.
Kejadian itu membuatnya sedikit shock ; “Bagaimana ini? Apa yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?” Banyak pertanyaan yang ingin di keluarkannya. Tapi, dia tak ingin perasaan cemasnya tersebut di limpahkan kepada suaminya yang belum pulih dari penyakitnya. Dia hanya menangis di sujud-sujud panjangnya.
Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian suaminya dapat menafkahi rumah-tangga mereka. Suaminya membuka sebuah CV yang lumayan berhasil. Usaha yang sukses ini dapat mengembirakan hati sang istri, maka wanita ini pun menangis bahagia, karena bersyukur pada Rabb-Nya. Ekonomi yang semula berkekurangan akhirnya berkecukupan kembali.
Hingga suatu saat tangisan sang istri kembali berurai. Saat suami yang di sibukkan oleh usahanya, teryata telah meminang seorang wanita di lain kota. Berita itu baru dia tahu, karena santer di bicarakan oleh orang-orang di lingkungannya. Maka dia pun menanyakan kebenaran berita itu. Ternyata benar lah semua info itu. Dia tak menyangka, bila suami yang diharapkannya setia, ternyata menduakannya tanpa membicarakan sebelumnya. Kecewa karena orang lain lebih tahu, dari-pada dirinya.
Beberapa tahun kemudian sebuah peristiwa pahit menimpa suaminya. Suami tersangkut sebuah kasus, sebagai hukuman dia harus mendekam di sebuah penjara di lain kota. Wanita yang sering mengucurkan air-mata ini, akhirnya menangis kembali. Menangis di hadapan Ilahi, karena ternyata hidupnya selalu di rundung duka.
Hingga tangisan yang selalu di lantunkannya ternyata berbuah manis. Suami akhinya kembali ke pangkuannya. Pria yang di cintainya kembali ke dekapannya tanpa berbagi lagi ke wanita lainnya, dan menyadari kesalahannya di masa lalu. Gemericik kebahagiaan kelihatan mulai menjalari hari-harinya. Bersyukur dan berdo’a, semoga hari-hari selanjutnya penuh dengan kebahagiaan bersama suami dan ketiga anaknya.
Harapan tinggal harapan. Wanita yang dulunya selalu menangis, ternyata harus menangis kembali. Suaminya di hinggapi sebuah penyakit akut. Sejenis penyakit diabetes basah ( menurut bahasa awam ). Tubuhnya sangat kurus, tapi mulai dari perut hingga ke kaki membesar, dalam artian membengkak. Di samping itu, kulitnya melepuh mengeluarkan cairan yang sangat busuk. Hingga ada seorang tetangga tak sengaja menyeletuk :”Mungkin ini seperti sinetron yang berjudul rahasia Ilahi..”
Istri yang shaleha ini ternyata harus merawat suami ( untuk kebutuhan sehari-hari di bantu oleh keluarga besar mereka ), sekaligus menjaga posisi untuk netral antara suami dan anaknya. Suaminya walaupun dalam keadaan sakit, ternyata bukannya menjadi seorang yang sabar, tapi malah menjadi seorang pemarah. Apalagi terhadap anak-anaknya yang telah berusia ABG.
Anak-anaknya tidak menerima sikap ayahnya. Mereka tahu semua kelakuan ayahnya selama ini, di tambah lagi sifatnya yang bertambah minus di mata mereka. Ayahnya malah membentak-bentak mereka agar segera dilayani untuk segala keperluannya. Tentu saja anak-anaknya tambah tak hormat padanya. Lain bila ibunya yang menyuruh mereka. Karena mereka menyadari ibunya sudah cukup menderita selama ini.
Tangisan istri ini, tetap kerap menemani dirinya disaat dia merasa tak berdaya.. Sebuah tangisan yang hadir, karena merasa tidak mampu untuk menyadarkan suami yang harus banyak beristigfar atas semua perbuatannya. Tangisan hati yang tak berdaya, karena tidak bisa memihak antara anak dan suami, bila mereka bertengkar mulut. Sebuah keadaan yang membuatnya sangat menderita.
Saat malam telah datang. Saat suami dan anaknya terbuai mimpi. Dia tak bisa memicingkan matanya, merenungi kehidupan yang harus di jalaninya. Kemudian bangkit untuk bermunajat pada Rabb-Nya :” Ya Allah, aku memohon kesabaran atas semua yang telah Engkau gariskan untukku. Jadikan aku sebagai istri yang dapat menjalani hari-hariku penuh dengan keikhlasan.”
Pada suatu kesempatan, kami sempat bertemu dan saling curhat. Pada pertemuan rutin ini, dia mengeluhkan sebuah rasa yang di pendamnya selama ini. Sebuah perasaan yang membuatnya menangis karena tak mampu menepis sebuah bisikan hati, yang ternyata tidak disukainya.
“Mengapa aku sebagai istri tidak bisa ikhlas secara hati atas penyakit suamiku? Aku melayani beliau tetap dengan sepenuh raga. Tapi hatiku tidak. Selalu ada bisikan hati yang mengatakan bahwa aku senang dia menderita sakit. Senang karena merasa dia telah mendapatkan balasan yang setimpal. Sebuah balasan atas semua perlakuannya terhadap diriku selama usia perkawinan kami. Aku selalu mengingat kesalahannya dan sepertinya malah bersyukur atas penyakit yang dideritanya saat ini.”
Memang sebagai manusia, kita akan selalu diuji dengan berbagai cara. Istri yang selalu menangis ini ternyata selalu memperoleh ujian. Karena Allah Swt. Memang telah menjelaskan dalam Al-Quran :”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut : 2-3 )
Ujian akan selalu datang dalam setiap kehidupan kita. Hidup yang memang di gariskan untuk selalu harus ( diusahakan ) dapat meningkat dari segi keimanan dari waktu ke waktu. Seperti sabda Rasulullah yang kurang lebih berbunyi demikian :”Bila kemarin sama dengan hari ini, maka kita dalam kerugian. Bila hari ini lebih baik dari kemarin, maka kita beruntung. Bila hari ini lebih buruk dari kemarin, maka kita celaka.”
Seperti saat kita sekolah. Sering di adakan ulangan harian, maupun ulangan semester, dengan harapan nilai kita termasuk kategori baik, agar bisa naik ke kelas yang lebih tinggi. Kemudian ada ujian untuk kelulusan sekolah. Semuanya itu diperlukan, agar kita bisa mengevaluasi hasil kerja keras kita. Begitu pula dalam hidup ini, memang di perlukan ujian. Ujian untuk mengetahui seberapa dalam iman di dalam dada. Bisa juga berarti untuk mengasah kemampuan kita, agar dapat menerima semua hal yang telah di tetapkan oleh sang Kuasa Kehidupan.
Seperti seorang atlet angkat beban. Setiap hari dia akan latihan mengangkat beban. Beban latihannya tentu saja di mulai dari hal yang paling ringan. Kemudian di lihat kemampuan si atlit. Dia akan di coba diberi beban yang lebih berat, ketika sang pelatih yakin dia akan mampu mengangkat beban tersebut.
Bila atlit angkat beban saja perlu latihan mulai dari yang terkecil, maka kita sebagai makhluk Allah yang di berikan amanah yang sangat besar di dunia ini, tentu saja juga akan di berikan ujian “beban” yang dimulai dari yang kecil. Jika kemudian Allah Swt. tahu batas kemampuan kita, tentu saja Dia akan menambah ujian yang lebih berat dari sebelumnya. Itulah makanya Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an bahwa tidaklah Allah akan membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Dengan dasar firman Allah itulah, maka kita dapat bersandar dan bersabar. Ternyata memang sebagai makhluk-Nya, harus yakin akan apapun yang kita dapatkan di dalam perjalanan di dunia ini. Suka dan duka haruslah dapat didasarkan pada keyakinan yang kuat bahwa semuanya berasal dari kecintaan Allah pada kita. Sesuatu yang tidak kita sukai, belum tentu sesuatu yang buruk di mata Allah Swt.
Misalnya sebuah masalah yang kita hadapai, membuat kita bersedih hati. Padahal mungkin ada hikmah yang bisa kita petik di dalamnya.
Allah Swt. telah berfirman di dalam Al-Qur’an ( QS Hud : 11 ) : “Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.
Istri yang telah mendapat ujian atas akhlak suami yang jauh dari yang diharapkannya, tentu saja mengandung hikmah yang sangat besar. Bagi istri yang memang terkenal akan kesabarannya, maka ujian itu merupakan test kenaikan derajatnya di hadapan sang Pencipta.
Demikian pula bagi sang anak. Mereka akan punya sebuah penilaian ( baik dan buruk ) pada kedua sikap orang-tuanya yang bertolak belakang dalam memandang hidup. Anak-anak itu akan bercermin, bahwa sifat sang ayah adalah tidak baik, maka mereka tentu ( insya Allah ) akan berusaha tidak berbuat seperti ayahnya. Dan suri-tauladan ibunya yang sabar dan shaleha, tentu saja (insya Allah ) akan membekas di dalam jiwa mereka, untuk dapat mereka tauladani. Insya Allah.
5 Juni 2009
[email protected]