Di mana Ayahku …..
Di mana Bundaku …
Mungkin petikan bait lagu itu akan sering dinyanyikan oleh anak-anak kita yang selama ini hampir tidak pernah kita berikan waktu lebih. Yang lebih sering kita tinggal untuk bekerja dengan dalih mencari uang untuk beli susu, pampers dll. Kalau laki-laki memang mempunyai kewajiban sebagai kepala keluarga untuk memberikan nafkah kepada anak istrinya. Tapi bukankah tidak menjadi sebuah keharusan bagi kaum wanita untuk bekerja?
Ada kalanya ini menjadi sebuah konflik yang merucut, hampir saja suami memaksa saya untuk berhenti kerja ketika pengasuh anak saya berhenti tiba-tiba. Sempat kolabs juga, karena kami kehabisan akal bingung harus dititipkan kemana anak kami. Sedangkan orang tua saya juga masih aktif bekerja, mertua nun jauh di sana. Akhirnya dengan terpaksa saya ijin mengajak anak ke sekolah untuk sehari saja.
Pilihan yang sulit, ketika keluarga dihadapkan pada tuntutan ekonomi yang lebih otomatis suami istri harus bekerja sama untuk memenuhinya. Tapi ketika perekonomian keluarga sudah mencukupi dan cenderung berlebih mungkin akan lebih mudah untuk istri memutuskan tidak bekerja.
Ada curhat seorang teman, kebetulan dia salah satu guru BK di tempat saya bekerja, bukan bermaksud membuka aib tapi ada satu permasalahan yang membuat dia dan terutama saya malu sebagai seorang ibu.
Allah menegur
Waktu itu ada seorang ibu (wali murid) yang berkonsultasi tentang anaknya. Dia sempat mengucapkan kata-kata yang saya ingat sampai sekarang. Bahwa dia rela meninggalkan karirnya demi untuk menghabiskan waktu bersama anaknya “Saya tidak ingin melewatkan waktu sedetikpun untuk melihat perkembangan anak saya, dan saya tidaj rela kehilangan waktu semenitpun untun mendengar keluhan mereka” Subhanallah, saya malu sebagai seorang ibu, hati saya tercabik sebagai seorang wanita. Rasanya saya mendapat teguran dari Allah, apa yang sudah saya lakukan untuk anak saya? Apa yang sudah saya berikan untuk buah hati saya?
Selama ini saya hanya memikirkan mencari uang untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, atau membeli kebutuhan anak. Tapi bukankah seorang anak tidak membutuhkan uang tapi perhatian dan kasih sayang.
Saya memang bercita-cita menjadi ibu yang baik, tapi baik menurut saya mungkin bukan baik menurut anak saya kelak. Saya ingin anak saya mempercayai saya menjadi wadah mengeluarkan unek-uneknya. Tapi dengan keadaan sekarang apakah itu mungkin?
Kalau ada istilah anak durhaka, mungkin saya salah satu orang tua yang durhaka pada anak. Karena saya lebih banyak menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak orang lain di sekolah (di luar tugas) tapi membiarkan anak sendiri menghabiskan waktu dengan nenek, kakek atau malah dengan pengasuhnya.
Istri yang Baik VS Ibu yang Baik
Hati saya perih ketika anak saya cenderung lebih memilih digendong pengasuh daripada lengket dan akrab dengan saya. Meskipun saya berusaha semaksimal mungkin untuk menarik perhatiannya tapi tetap saja tidak berhasil. Bukan salahnya jika dia lebih memilih digendong orang yang sudah menghabiskan banyak waktu dengannya. Ini salah satu bukti nyata, ternyata anak kita tidak hanya butuh pengakuan tapi juga bukti nyata kalau kita ini ibunya!
Memilih menjadi ibu yang baik atau istri yang baik, ketika kita mempunyai niat untuk membantu pasangan memenuhi kebutuhan hidup itulah saat kita menjadi istri yang baik. Tapi kalau kita bisa memenuhi keduanya antara membantu suami tanpa meninggalkan kewajiban kita sebagai ibu itulah saat kita benar-benar menjadi ibu yang baik.
Pilihan yang sulit memang, karena wanita/istri/ibu adalah penghasil produk-produk yang nantinya mempunyai misi untuk dirinya sendiri dan negara ini.
Hidup ini sebuah pilihan, Allah memberi banyak pilihan terserah kita memilih hidup yang seperti apa. Apakah kita menginginkan menjadi istri yang baik saja atau ibu yang baik? Menyakitkan bukan bila anak kita mendendangkan bait lagu di atas…. jangan sampai deh. Ibu saatnya kita memilih….