Ketika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kutemukan sebuah kata yang memiliki arti “kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir”. Kata itu adalah ironi.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia. Aku pun berpikir sejenak. Kemudian bergumam, tidak seharusnya aku membuat judul seperti di atas. Tapi batin ini tidak bisa hanya diam ketika aku merasakan kesepian di tengah-tengah hiruk-pikuknya orang lalu-lalang. Seolah-olah merasakan kegerahan yang sangat, sementara yang lainnya dicekam kedinginan. Tenggelam dalam lumpur kenistaan di tengah-tengah manusia bersorban. Apakah aku ironis?
Mengawali awal pekan yang selalu tidak menyengkan, pagi-pagi aku sudah disuguhi sebuah realitas hidup melalui layar kaca 14 inchi di ruang tengah rumahku. Seorang wanita yang sudah tidak muda lagi bahkan terbilang renta, nenek yang hanya tinggal sebatang kara masih menunjukkan wajah optimis.
Setelah pulang dari usahanya untuk bertahan hidup, dia membuka pintu rumahnya yang mengeluarkan bunyi berderit karena kayu dan engselnya sudah berusia sama dengan si pemiliki. Diturunkannya gendongan yang menggelayut di punggung. Nenek itu pun bergegas ke kamar mandi.
Segarnya air wudhu membasuh kulit wajah, tangan serta kaki yang sudah tidak semulus ketika nenek ini masih muda. Pendar-pendar keriput kulitnya tidak membuat pasrah begitu saja pada takdir yang telah digariskan Ilahi Robbi. Bermukena lusuh dan tikar sederhana sebagai alasnya, kewajibannya sebagai hamba ia tunaikan. Setelah selesai, bait-bait doa dilantunkan dalam hatinya. Ya, doa menjadi obat penenang paling mujarab dalam kesulitan maupun kelapangan.
Nenek itu bukan tidak punya anak, tapi anak-anak yang keluar dari rahim perempuan yang sudah tua itu seperti sudah tidak lagi memiliki seorang ibu. Menurut tetangga dekatnya, anak-anaknya tidak pernah berkunjung ke rumahnya yang hanya sepetak dan terletak di gang sempit itu. Meski sang ibu sedang sakit pun, anak-anaknya tidak pernah memperlihatkan bola mata dan batang hidungnya kehadapan sang ibu.
Sejenak kumenarik napas dalam-dalam. “Tega benar, tuh, anaknya, ” gumamku dalam hati. Ingatanku seketika melayang pada nenekku yang telah tiada. Aku sangat merindukannya….! Dulu ketika masih ada, beliau adalah sosok yang kuat menghadapi pelbagai tantangan hidup. Ada persamaan antara nenek yang aku lihat di acara pagi ini dengan nenekku, yaitu meski miskin harta tapi tidak pernah menghujat Robb-nya. Siang malam nenekku selalu berdiri dengan dua kakinya yang terkadang tidak sanggup menahan berat beban tubuhnya. Bacaan Qur’annya yang tidak lebih baik dari murid TPA-ku, tidak membuatnya malu untuk membacanya keras-keras. Teguran dari sang guru semakin membuatnya rajin untuk mengulang hafalan Al-Waqia’ah, Ar-Rahmaan, dan Al-Mulk di rumahnya yang tergolong rumah tua di wilayahnya.
Allohummagfirlahum warhamhum…. Kini jasad nenekku mungkin sudah tidak lagi berbentuk utuh. Ya, tahun ini sudah memasuki tahun ketiga kepergian nenekku menghadap sang Kholiq. Satu hal yang sangat aku sesali, aku tidak pernah punya waktu yang cukup membimbingnya untuk dapat membaca dan menghafal surat-surat dari firman-Nya yang menjadi favoritnya. “Maafkan aku, Nek!”
Kembali ke nenek yang diliput salah satu stasiun televis swasta di Indonesia. Klimaksnya adalah ketika sang nenek memperlihatkan kemampuan survivalnya. Beliau ternyata “bekerja” memungut butiran-butiran beras yang terjatuh dari puluhan karung yang berisi beras yang dipindahkan dari atas truk ke dalam toko di pasar induk. Butir demi butir beliau kumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung. Ketika dirasa sudah cukup banyak, sang nenek memanggulnya dan membawanya pulang ke rumah. Sampai di rumah, beras yang terkumpul disortir dari kotoran-kotoran yang menyertainya.
Kalau dilihat sekilas, kotoran-kotoran itu lebih banyak dari jumlah berasnya. Dan setiap harinya sang nenek kira-kira mendapat 2 – 3 liter beras. Setengahnya untuk konsumsi sendiri dan setengahnya lagi dijual dan uangnya digunakan untuk membeli lauk-pauknya.
Aku merasakan seperti ada genangan air di mataku. Dan aku hanya bisa menitikkan air mata. Nasi dan sejumlah lauk pauk yang tersedia di meja makan, tidak cukup untuk menggugah selera makan pagiku. Aku masih teringat dengan dua tangan keriput yang terampil memungut butiran beras di jalanan pasar. Aku belum lupa dengan kotoran yang tersaring dari beras. Dan hatiku berkata, mungkin bukan dia saja yang “berprofesi” seperti itu. Masih banyak lagi rekan-rekan kerja sang nenek yang berjibaku dengan kerasnya hidup. Ironiskah?
Masyarakat Indondesia yang dari dulu terkenal ramah, pemurah dan ringan tangan, berbalik 180 derajat.
Banyak dari mereka yang memiliki harta yang berlimpah, tapi sangat miskin hati. Kesenjangan yang amat sangat kentara mewarnai panggung sandiwara kehidupan di Indonesia yang selalu berakhir menyedihkan. Merasakan kesulitan di tengah orang yang bisa membuat segalanya menjadi mudah. Kelaparan di tengah mereka yang kekenyangan. Menggelandang di sepanjang jalan yang memamerkan kemegahan tempat tinggal, sementara maupun permanen. Dan akhirnya, mati membusuk di antara orang-orang yang hidup semerbak wewangian. Ironis…!
Hutan, gunung, sawah, lautan…
Simpanan kekayaan…
Kini ibu sedang sedih…
Merintih dan berdoa…
Satu bait lagu semasa kecil yang mendeskripsikan wajah Indonesia yang sedih.
Hutan Indonesia yang begitu luas menyebabkan kita dijuluki zamrud khatulistiwa. Namun julukan itu tinggal hanya julukan. Tiada pernah luasnya hutan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas. Tapi mereka yang segelintir, mampu memanfaatkan luasnya hutan. Meski legalitas pemanfaatan hutan menjadi pertanyaan besar. Hijaunya hutan tidak membuat kesejukan bagi masyarakatnya. Hijuanya hutan membuat mata mereka yang serakah menjadi hijau. Alhasil, kita kekurangan papan di tengah membelukarnya pepohonan di negeri indah ini. Ironis…!
Bentangan sawah sejauh mata memandang terasa fata morgana di padang pasir. Dari jauh begitu menjanjikan, ketika dekat merasa tertipu. Menguningnya padi tidak cukup untuk membuat wajah kita kuning. Pucat pasi nampak di wajah para petani yang sedang memanen. Jatuhnya harga gabah akibat tidak adanya regulasinya yang jelas., mahalnya harga pupuk menyebabkan masa tanam menjadi terlambat, dan kesulitan lainnya yang membuat para petani mati berdiri di tumpukan padi yang menggunung. Dan bangsa Indonesia menderita kelaparan di tengah-tengah sawah yang luas tak berujung. Ironis…!
Birunya laut yang menghampar bak permadani, dengan penghuninya yang menjanjikan kemakmuran bagi manusia. Ikan-ikan yang beraneka ragam bentuk dan rasanya. Plankton-plankton yang mengambang menyeimbangkan ekosistem kolam raksasa dan bermanfaat pula bagi manusia. Tapi penghuni pesisir kurus kering, sementara minyak ikan berlimpah ruah. Para nelayan hidup miskin di hamparan kaya rayanya lautan. Keindahan tiba-tiba menjadi sebuah neraka yang menakutkan menyambut kemarahan sang penciptanya. Mereka semakin bertambah haus ketika meminum airnya. Ironis…!
Wajah ibu pertiwi memang benar-benar sedang bersedih di percaturan bangsa-bangsa lain yang tertawa bahagia. Air matanya meluap membanjiri kota metropolitan sampai desa-desa terpencil sekali pun. Di belahan bumi yang lain, air matanya keruh menghitam dan panas menggenang, membuat tenggelam beberapa pemukiman penduduk. Mereka yang menyebabkan saling melempar tanggung jawab. Tidak ada yang bisa menghentikan tangisnya.
Tangisnya yang deras menyisakan guncangan hebat di tubuhnya. Terbelahlah bumi yang menjadi pijakan para manusia yang menjerit, berdoa, dan putus asa. Luluh lantak bangunan yang kokoh berdiri menantang. Teringat akan sebuah pesan dari manusia mulia, “Kemarahan sang ibu adalah kemarahan sang mahakuasa, keridhoan sang ibu merupakan keridhoan-Nya”.
Manusia bersorban yang dipenuhi jenggot tak mampu menahan lajunya kemaksiatan. Bahkan menyeret mereka kepada kemungkaran itu sendiri. Maling menjamur di kampung para kyai dan priyayi. Sang Raja tidak lagi dipatuhi rakyatnya. Kesenangan di atas penderitaan orang lain menjadi pemandangan memuakkan. Gema adzan hanya menjadi penghias udara, tak ada yang peduli. Mereka mengaku beriman tapi lalai dalam segala hal. Mereka mengaku isyhadi bi anna muslimun, tapi lupa akan eksistensi-Nya. Tapi tangan-Nya tak pernah berhenti mengulur, menolong para manusia kembali menata kehidupannya menuju lebih baik.
Selangkah kita mendekat kepada-Nya, seribu langkah Dia mendekat kepada kita. Kita berjalan menghampirinya, Dia berlari menyambut kita. Sejengkal kita mencoba merengkuhnya, sehasta Dia maju ke kita. Dia tidak pernah menutup pintu taubat selama matahari masih terbit di sebelah timur. Dia masih akan terus menunda hari akhir, ketika masih ada orang-orang soleh yang mengagungkan-Nya. Tiada kata terlambat sebelum segalanya menjadi terlambat.
Aku bergidik tersadar dari lamunan seraya bergumam, “nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau ingkari”. Sudah cukup kondisi ironi yang mampir di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Sudah saatnya membangun negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun gofur. Semuanya bermuara pada kita. Siapkah kita, mulai dari pucuk pimpinan sampai ke akar rakyat jelata menerima cahaya kebesaran-Nya?
Wallohu’alam
Theking_po@yahoo. Com