Iringan Pengantar Jenazah

Siang yang sungguh terik. Saya terperangkap kemacetan di salah satu jalan raya ibu kota. Sungguh tidak biasanya. Bukankah sekarang sudah siang? Pikir Saya. Seharusnya sudah di luar jam macet. Seingat saya, daerah ini memang bukan daerah rawan macet. Maka memang luar biasa jika tiba-tiba ia terperangkap di jalur ini. Dengan keringat yang mengucur deras di balik helm, bisa dipahami jika kejengkelan mulai muncul.

Ada beberapa kemungkinan, pikirku. Pertama, ada kecelakaan. Kedua, ada demo. Ketiga, razia. Beberapa saat kemudian Saya menyadari bahwa ketiga tebakanku meleset semua. Ternyata penyebab kemacetan adalah iring-iringan pengantar jenazah. Ada seorang ulama meninggal dunia. Dan sewajarnya jika kemudian ribuan muridnya bergerak mengantarkan jenazah sang guru.

Kejengkelan Saya lumer seketika. Aku memang selalu berusaha menaruh hormat kepada setiap ulama. Kepergian seorang ulama adalah suatu kehilangan besar. Maka kini dengan takzim ia memandang ke arah rombongan iring-iringan pengantar jenazah yang tengah mengambil jalan memutar, memutus jalur yang ia lewati.
Sungguh pemandangan yang mengharukan.

Ada berbagai ekspresi yang aku amati. Umumnya adalah wajah-wajah duka. Namun ada pula ekspresi biasa-biasa saja. Mungkin yang berekspresi seperti ini tipe orang yang mampu menyembunyikan kesedihannya.

Tiba-tiba terlintaslah di benakku pesan suci ilahi, (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan. (An Nahl: 32).

Betapa indahnya jika kematianku kelak disambut sapaan demikian mesra dari Allah Swt. Jangan sampai kematian sebagaimana kematian orang-orang kafir, (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan”. (Al-Mu’minuun: 99-100).

Ah, berapa bekal yang telah aku siapkan untuk menghadapi saat yang demikian pasti? Mengingat itu, saya pun merinding.
Ya, bukankah kematian adalah sesuatu yang pasti? Setiap hari saya mendengar, kadang melihat, bahkan pernah turut menguburkan kerabat yang wafat. Begitu pastinya kematian. Namun apa yang telah saya siapkan untuk menyongsong itu semua?

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (Ali Imran: 185)

Ya, kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Begitu terpedayanya sebagian besar manusia, sehingga mereka lupa berbuat untuk akhiratnya. Segala daya, upaya, obsesi, sumber sedih dan bahagianya, semuanya bermuara kepada pencapaian duniawi.

Namun sayangnya, bangsa ini, yang begitu sibuk dengan berbagai perlombaan duniawi, justru begitu rendah pencapaian duniawinya. Buktinya, masih banyak sekali orang-orang miskin di negeri yang sesungguhnya kaya ini. Belum lagi musibah yang terus mendera, yang seolah ingin menggerus dosa-dosa yang ada.

Saya masih termenung. Jika sudah tiba saatnya, seperti yang sekarang ia saksikan di tengah siang yang terik ini, tak ada lagi peluang untuk beramal. Bahkan massa yang ribuan jumlahnya tak satupun yang akan menyertai di alam kubur nanti.

Bagaimana pula dengan manusia yang selama di dunia ini pikiran dan jiwanya hanya berisi obsesi duniawi. Bangun tidur, agenda duniawi yang terpetakan di pikirannya. Sepanjang hari, aksi-aksi duniawi yang dikerjakannya. Menjelang tidur malam, evaluasi duniawi yang disorotinya. Semuanya tentang dunia. Ketika saling bertemu dengan kawan lama, hanya capaian-capaian duniawi yang dibahas. Kerja di mana, anak berapa, tinggal di mana, sudah punya rumah atau belum, kendaraan apa yang dipergunakan.

Tidak pernah ada yang saling bertanya, sudah berapa juz yang berhasil dihapal, masihkah rajin sholat malam, bagaimana shoum sunnahnya, infaqnya masih rutin atau tidak.

Kabarnya, di zaman khalifah Umar bin Abd Azis, beliau berhasil mengubah pembicaraan masyarakatnya. Yang tadinya cuma sibuk membahas masalah duniawi, berubah menjadi masalah ibadah dan akhirat. Apakah kemudian mereka sama sekali melupakan kesibukan duniawi? Sama sekali tidak. Mereka juga bekerja untuk duniawinya. Bahkan pada masa Umar bin Abdul Aziz, yang masyarakatnya gemar beribadah itu, justru sulit ditemukan orang yang berhak menerima zakat, karena tingkat kemakmuran masyarakatnya sudah sedemikian merata.
Sekarang, justru di negeri yang penuh dengan kompetisi duniawi ini, kemiskinan dan kesengsaraan bertahta. Sungguh ironi.

Saya menyeka peluh di dahinya. Saya masih teringat ayat yang sudah begitu terkenal, Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Demikian peringatan Allah di surat At Takaatsur: 1-2.

Saya teringat riwayat yang berkenaan dengan ayat ini. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dua qabilah Anshar. Bani Haritsah dan Bani Harts yang saling menyombongkan diri dengan kekayaan dan keturunannya dengan saling bertanya: “Apakah kalian mempunyai pahlawan yang segagah dan secekatan si Anu?” Mereka menyombongkan diri pula dengan kedudukan dan kekayaan orang-orang yang masih hidup. Mereka mengajak pula pergi ke kubur untuk menyombongkan kepahlawanan dari golongannya yang sudah gugur, dengan menunjukkan kuburannya. Ayat ini turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hidup bermegah-megah sehingga terlalaikan ibadahnya kepada Allah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Buraidah).

Padahal Allah telah menegaskan bahwa syarat mencapai kesuksesan dunia begitu sederhana.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A’raaf: 96).

Ah, betapa sungguh meruginya sebagian besar manusia di negeri ini. Dunia tak dapat, akhirat pun tak diraih. Sudah bersusah payah sedemikian keras untuk urusan dunia, sampai mengorbankan ibadah, dan kikir berinfaq, jadi orang kaya pun tidak. Rugi dunia, rugi pula akhirat.

Adakah yang lebih rugi dari ini semua? Saya menghela nafas sedih.
Namun, termasuk golongan yang manakah saya? Itulah pertanyaan yang lebih penting.

Iring-iringan jenazah berangsur merenggang. Mendadak ada jalur kecil yang bisa aku lewati. Bergegas, bersama puluhan pengendara motor lainnya, ia menerobos, meliuk-liuk di tengah kepadatan kendaraan lain.
Aku masih sempat berpikir, jika segala jerih payah yang aku lakukan ini tak bernilai kebaikan abadi di sisi Allah, sungguh betapa meruginya!