Aku mengetahui tentang ruangan itu dari seorang teman Indonesia. Setelah kelas bahasa Jepangku usai. Saat itu, sudah dimulai waktu sholat dzuhur. Aku mengikutinya menuju ruangan itu. Sebuah ruangan kecil, bahkan teramat kecil mungkin. Ukurannya sekitar 2.5m x 1.5m. Terletak di lantai dua gedung fakultas teknik di kampusku, bersebelahan dengan ruangan tempat beraktivitas para mahasiswa ketika jeda kuliah. Memang terkesan kumuh dan dingin, apalagi di salah satu pojok, bertumpukan barang-barang lain di atas sebuah meja. Mungkin, barang-barang penghuni ruangan itu dulu. Tidak seperti ruangan-ruangan lain, ruangan itu tidak mempunyai pendingin atau penghangat ruangan. Apalagi di saat menjelang musim dingin seperti saat ini. Memasuki ruangan itu terasa memasuki sebuah kulkas dengan ukuran jumbo.
Di pojokan yang lain, ada dua buah kran air dengan sebuah bak penampungan. Tampak juga sebuah alas kaki, serta sandal yang bisa digunakan oleh pengguna ruangan itu. Di dindingnya tertempel sebuah kalender lama, serta sebuah peta yang menunjukkan seluruh ruangan yang ada di gedung itu. Di bagian dinding yang lain, juga tertempel sebuah pesan peringatan. Untungnya, di bawah tulisan kanjinya tertulis isi pesan dalam bahasa Inggris. Aku yakin, jika kalimat dalam bahasa Inggris itu tidak ada, maka pesan-pesan itu akan terabaikan saja.
Yang menjadikan ruangan itu istimewa adalah tiga buah benda yang disampirkan pada sebuah pembatas ruangan yang berjejalan dengan meja di salah satu pojok ruangan itu. Dua helai sajadah, serta sebuah mukena berwarna ungu muda. Untunglah, tidak seperti kesan ruangan itu, pertama kali melihat sajadah dan mukena itu, bau harum langsung memenuhi rongga hidungku. Sungguh terpuji orang yang memperlakukan dengan baik ketiga benda itu.
Teman, itulah mushala kami. Sangat jauh dengan kondisi mushala atau bahkan masjid yang terdapat di kampus-kampus di Indonesia. Bahkan, tidak juga terdengar suara adzan memanggil di saat waktu dzuhur dan ashar tiba. Juga tidak ada sholat jamaah dengan makmum yang banyak seperti di Indonesia. Hanya bisa untuk dua orang saja, atau maksimal untuk tiga orang. Dan biasanya, sholat jamaah dilakukan dengan sesama perempuan atau laki-laki saja. Beruntung beberapa teman yang seakidah mempunyai ruang untuk sholat di laboratoriumnya. Tidak perlu menahan dingin dan angin untuk melangkahkan kaki atau mengayuh sepeda menuju ruangan itu. Apalagi di musim gugur dan menjelang musim dingin saat ini. Berada di sebuah ruangan dengan sebuah penghangat lebih menarik.
Tapi, bagiku, ada nuansa berbeda dengan ruangan itu. Sekedar melepas penat dengan tugas kuliah sambil menikmati dingin dan angin di atas pedal sepeda, misalnya. Atau sekedar tersenyum dengan brother atau sister yang juga sama-sama antri untuk menggunakan ruangan dalam rangka menggenapkan sebuah rindu di setiap waktu sholat tiba. Dan untuk selanjutnya berbincang tentang apa saja: tentang hari-hari yang semakin dingin, tentang tugas kuliah bahasa jepang, tentang kelas bahasa jepang. Atau juga menemukan senyum seorang penjaga kantin yang menyapa dengan bahasa Inggris yang terbata-bata dan akhirnya berkata “great” ketika aku menjelaskan kalau aku harus menunaikan kewajiban pada Sang Khalik lima kali sehari. Dan yang lebih menarik lagi adalah di ruangan itu pula diskusi seruku dengan seorang sister dari negerinya para Firaun, Mesir, dimulai. Bukan untuk sebuah tema yang berat dan memusingkan kepala. Cukuplah sudah kami dibebani dengan tugas-tugas kuliah. Hanya sebuah tema yang sepele. Mengapa di Indonesia tidak ada family name? Pertanyaan itulah yang menjadikan kami berdua terlibat diskusi seru usai sholat ashar jamaah kami.
Selalu ada syahdu di ruangan itu. Apalagi ketika ayat-ayat Allah dibacakan dalam lirihan suara teman yang menjadi imam. Sama dengan syahdunya suasana di sebuah senja. Ditemani tiupan angin yang cukup kencang, serta senja yang menguning gading di ufuk barat. Tak lupa dingin yang menusuk sampai ke pori-pori kulit. Di sebuah gedung, masih di kawasan kampusku. Di lantai sepuluh tepatnya. Gedung yang paling tinggi. Dan semua yang ada di bawah bisa terlihat jelas. Daun bunga sakura yang mulai menguning. Kereta yang memulai perjalanannya. Gedung-gedung lain yang lebih rendah. Dan ketika menatap ke atas, terlihat langit petang dan hampir gelap yang menjadi atap dengan taburan awan hitam diselingi garis-garis kuning kemerahan-merahan menuju ufuk barat. Di situlah bersama seorang teman, aku menunaikan tiga rakaat sholat magrib. Ah, indahnya.
Jarang kutemukan di Indonesia suasana syahdu seperti itu. Bahkan, mungkin adalah kebalikannya. Sebuah rutinitas yang kadang tidak mempunyai makna. Tapi, semua menjadi berbeda di sini. Mungkin juga karena keminoritasan kami. Tapi, sebuah syukur yang tak henti tetap terpanjatkan kepada Allah: ruang kami untuk bertemu dengan-Nya tersedia di sini. Walaupun, mungkin, tidak semewah di Indonesia. Tapi, ada makna lain di setiap rakaat penghambaan kami pada Sang Khalik. Ah, aku semakin mengerti, mengapa seorang senior di kantor di Indonesia yang hampir sepuluh tahun berada di negerinya Barack Obama selalu hadir dalam jamaah sholat dzuhur dan sholat ashar di masjid kantorku, dari ruangannya yang terletak di lantai empat menuju masjid yang terletak di depan gedung kami. Bukan dengan lift atau eskalator, tapi dengan berjalan kaki menapaki tiap tiat anak tangga.
@dormitory, Inage, November 2008
blog: ingafety.wordpress.com