Kematian bisa datang kapan saja. Tidak hanya menimpa pada orang yang sudah tua, sakit-sakitan, dan kondisi yang sedang diliputi krisis tetapi bisa menimpa pada orang muda, sehat, dan kondisi yang sedang menuju puncak kesuksesan. Setidaknya inilah yang saya rasakan dari meninggalnya seorang sahabat yang meninggal pada akhir Oktober lalu. Dia Meninggal dalam usia yang relatif muda yaitu 30 tahun dengan meninggalkan seorang isteri dan seorang putri. Sebelum meninggal, dia adalah pengelola sebuah warnet di kawasan Margonda, Depok. Yang membuat trenyuh, dia meninggal justru ketika jiwa usaha dan bisnisnya sedang bersinar dan dia mulai mengembangkan sayap usaha dengan membangun warnet sendiri di wilayah Tangerang.
Kronologi singkat kejadiannya adalah sebagai berikut. Saat itu, sore dengan sedikit mendung, Almarhum hendak memasang antena di gedung warnet barunya. Binar wajahnya memandangi angkasa, senyum bahagia menghiasi bibirnya. Ya, sebentar lagi, hari itu akan menjadi hari yang bersejarah baginya. Terpasangnya antena yang menjulang tinggi akan menjadi simbol kemandirian usaha yang akan menopang harapan isteri dan putri terkasihnya. Dengan penuh optimis dia panjat tiang besi antena itu dan melengkapinya dengan beberapa peralatan pendukungnya.
Namun Allah berkehendak lain, ketika sedang sibuk-sibuknya memasang perlatan antena itu, sesuatu mengagetkan dirinya sehingga tangannya terlepas dari batang antena yang dipegangnya kemudian ia terpelanting jatuh dan meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Saya tidak tahu persis tentang kronologi kejadian sebenarnya. Kabarnya dia jatuh menimpa sesuatu, entah pagar besi, bebatuan, atau lantai yang keras. Kematian yang menjemputnya secara tiba-tiba itu menimbulkan kesedihan bagi isteri dan keluarganya.
Putrinya tidak menunjukkan ekspresi kesedihan apa-apa bahkan kadang masih bisa tersenyum simpul. Boleh jadi, dia belum menyadari bahwa orang yang mencintainya, telah meninggalkannya pergi untuk selamanya. Justru isterinya yang tidak kuasa menahan tangis sambil terus menciumi putri yang dipangkunya. Tonggak usaha yang telah ditancapkan Almarhum, mau tidak mau harus diteruskan oleh sang isteri demi masa depan putrinya.
Saat saya bertakziyah —sebelum dimakamkan— di kediaman orang tuanya di Cililitan, dengan rona kesedihan sang isteri mengatakan bahwa biasanya sebelum sang suami hendak naik memasang atau memperbaiki antena, dia selalu mengingatkan untuk selalu memakai peralatan pengaman. Tetapi pada saat itu dia tidak sempat mengingatkannya dan Almarhum sendiri pun tidak mengantisipasinya. Akhirnya terjadilah musibah itu. Kecelakaan selalu menyisakan sebab-musabab yang masuk akal sebagai pelajaran bagi yang masih hidup. Namun semua itu itu tidak terlepas dari skenario Allah sebagai sang sutradara kehidupan.
Saat saya pulang dan membicarakan masalah kematiannya bersama isteri, barulah saya mengetahui bahwa kejadian serupa ternyata pernah menimpa kakak ipar isteri saya bernama Syamsul, yang terjadi sebelum kami menikah. Bidang usaha Syamsul bukanlah warnet seperti Almarhum, akan tetapi supplier dan jasa pemasangan peralatan radio komunikasi. Bidang usaha keduanya mensyaratkan adanya antena sebagai penerima sinyal/gelombang. Waktu itu, saat jaringan telepon kabel sudah penuh dan handphone belum memasyarakat, radio komunikasi adalah sarana komunikasi alternatif untuk daerah-daerah yang tidak terjangkau kabel telepon. Untuk melayani kliennya, Syamsul dengan dibantu seorang assisten, seringkali melakukan instalasi antena untuk komunikasi berbasis gelombang radio di berbagai daerah. Tak terkecuali, pemasangan antena pun dilakukan di kantor sendiri untuk kepentingan komunikasi dengan beberapa klien yang menggunakan peralatan serupa.
Kronologi kejadian yang menimpa Syamsul serupa dengan kejadian yang menimpa sahabat saya Almarhum. Saat itu Syamsul sedang memasang antena baru di depan kantornya. Tiba-tiba dia terjatuh dari ketinggian 10 meter. Beruntung sekali, sebelum menyentuh tanah dia menimpa bangku kayu. Seketika itu dia tidak sadarkan diri (koma). Beruntung ketika Syamsul jatuh, ada orang yang melihatnya. Kemudian oleh isteri saya —yang berada tidak jauh dari lokasi kejadian— dan beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu, digotong dan dibawa ke UGD Rumah Sakit. Nasib baik berpihak kepadanya, tidak lama setelah lama terbaring tanpa daya, dia sadarkan diri.
Dua kejadian di atas adalah kejadian yang mirip, tetapi berakhir dengan kondisi yang berbeda. Sahabat saya meninggal sedangkan Syamsul —kakak ipar isteri—selamat dari ajal. Yang satu mengundang tangis, yang satu lagi mengundang bahagia (kesyukuran). Penyebab dari kejatuhan mereka, saya menduga karena mereka terkena induksi aliran listrik sehingga tangan yang semula berpegang erat pada batang antena terlepas secara tidak sadar (reflek), seperti kesetrum aliran listrik. Kebetulan cuaca lagi mendung dan induksi listrik bisa saja terjadi dari cuaca mendung tersebut. Malangnya, mereka tidak menggunakan peralatan pengaman sehingga ketika tangan terlepas, mereka pun meluncur jatuh.
Dalam hati saya bergumam alangkah beruntungnya Syamsul. Seharusnya dia banyak bersyukur kepada Allah dengan banyak mengisi hidupnya dengan kebaikan. Kami berpikiran demikian karena Syamsul belum termasuk orang yang taat dalam menjalankan agama.
Setelah kejadian itu, adik-adiknya menjulukinya dengan ‘Superman’, karena keselamatan dia dari kejatuhan 10 meter itu adalah hal yang sangat menakjubkan. Seharusnya mereka tidak mengatakan demikian jika mengetahui bahwa yang kuat itu bukanlah dia tetapi Allah yang Maha Kuasa. Saya menyadari julukan itu dimaksudkan untuk bercanda, namun seharusnya kemurahan dan kemahakuasaan dari Allah-lah yang harus senantiasa diingat dan disebut-sebut. Saya mengambil pelajaran, kebanyakan manusia memang bersifat lupa dan sedikit dari mereka yang berusaha mengambil pelajaran dari peristiwa masa lampau yang dialaminya.
***
Kita semua pasti pernah mengalami saat-saat di mana Allah menyelamatkan kita dari ajal. Baik saat terpeleset, tertabrak, hampir tenggelam, turbulensi di pesawat udara, tertimpa benda keras, terhindar dari lubang, dan lain-lain. Saya pun pernah mengalami hal tersebut, yaitu saat saya mengendarai sepeda motor dalam kondisi mengantuk. Beberapa kali saya mengalami kondisi yang membahayakan. Sampai saat ini kejadian tersebut itu tertanam kuat dalam memori saya. Saya bersyukur dan merasa Allah benar-benar telah menyelamatkan hidup saya. Ada efek positif dengan selalu mengingat kejadian tersebut, yaitu sejak saat itu saya selalu berusaha berhati-hati dalam mengendarai sepeda motor. Jika ada rasa ngantuk sedikit, saya mampir di masjid terdekat untuk sekedar menghilangkan kantuk.
Mengingat kematian khususnya saat-saat Allah menyelamatkan dari ajal, juga berefek sangat positif bagi pembangunan jiwa. Terutama tatkala kita merasakan kebuntuan dalam hidup, merasa sedih, malas, lemah, bosan, tidak semangat, tidak berarti, kecewa, putus asa, dan sifat-sifat negatif menyelimuti diri. Menghadirkan kematian di pelupuk mata, sering kali menjadi alat yang efektif untuk melejitkan motivasi dan memproduktifkan amal kebaikan. Selagi masih diberi kesempatan hidup, maka amal-amal kebaikan harus dilakukan sebanyak-banyaknya sebelum kematian benar-benar datang menjelang. Seperti halnya kita menghargai nikmat sehat karena pernah mengalami sakit, kita seharusnya mampu menghargai (mensyukuri) nikmat dan kehidupan dengan menghadirkan (membayangkan) kematian di pelupuk mata.
Masalahnya kita terlalu sibuk dengan urusan dunia sehingga kita lalai dari mengingat Allah, termasuk mengingat Allah tatkala menyelamatkan hidup kita. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. ”
Kita akan rugi karena kelalaian selalu membawa malapetaka bagi kita. Sebagaimana kelalaian yang membawa kepada kematian seperti mengantuk, lalai tidak mengecek kesiapan alat untuk melakukan perjalanan, lalai tidak menggunakan peralatan pengamanan dan lain-lain. Dan kelalaian ini bisa dikurangi bahkan bisa dihilangkan dengan senantiasa mengingat kematian. Sebab kita akan senantiasa berhati-hati dan berhati-hati itu menjadikan kerja-kerja menjadi optimal.
Waallahu’alam