Sesosok tubuh tergolek di atas trotoar tanpa alas. Ia seorang lelaki dengan tubuh tanpa tangan dan kaki.
Sorot matanya menghiba berharap belas kasih pada setiap yang berlalu lalang di depannya. Di dekat tubuhnya yang kurus teronggok sebuah gelas plastik untuk menampung rasa peduli dari orang-orang yang tersentuh nuraninya.
Salsabila memandangi lama sosok pengemis cacat itu. Matanya sendu lalu ia mendongakkan kepalanya sambil berkata, “Bunda, aku ingin punya tangan mulia.”
“Kautsar juga mau punya tangan mulia!” seru Kautsar tiba-tiba. Rupanya, ia pun memperhatikan pengemis itu.
Segera ia minta ijin mengambil uang dari dompet Bunda, disusul adiknya. Saya mengiyakan sambil menatap wajah anak-anak itu. Terpancar rona bahagia di wajah polos mereka saat mengulurkan tangan menyerahkan sebentuk cinta pada pengemis tersebut.
Sepanjang menyusuri trotoar yang penuh pedagang jalanan, perhatian mereka tak lagi tertuju pada berbagai macam mainan. Kini mata mereka sibuk mencari-cari para pengemis yang terkadang mereka temukan diantara para pedagang jalanan itu. Bila mereka menemukan yang dicari, segera berlari menghampiri saya untuk mengambil uang dan kembali berlari menuju pengemis yang mereka temukan. Sambil berteriak gembira, “Aku mau tanganku mulia… aku mau disayang Allah!”
Sungguh tak terpikirkan sebelumnya ternyata mereka masih mengingat apa yang saya sampaikan tentang “tangan mulia- tangan yang disayang Allah” saat mereka sedang menyusuri Mueller Strasse, sebuah ruas jalan menuju toko Asia di kawasan Wedding, Berlin. Saat itu anak-anak melihat di beberapa tempat ada orang yang duduk sambil menengadahkan topi atau tangan mereka.
****
“Bunda, sedang apa orang itu?” tanya Kautsar ketika melihat seorang lelaki dengan penampilan funky duduk bersila di bagian luar swalayan Rossman yang bersebelahan dengan Vinh-Loi, sebuah swalayan yang menjual berbagai keperluan pangan dari Asia. Di sebelah kiri lelaki bermata kelabu itu duduk seekor anjing yang kelihatannya garang. Lelaki tersebut tampaknya masih muda dan fisiknya kelihatan sehat hanya saja ia terlihat lusuh dan sesekali tangannya menengadah saat orang lewat di hadapannya.
Di tempat yang tak jauh dari lelaki itu duduk seorang wanita muda membawa seorang balita. Ia bersandar pada tembok tempat keluar masuk orang yang menggunakan kereta bawah tanah. Ia melakukan hal yang sama dengan lelaki muda yang funky itu, menengadahkan tangan!
“Bunda, kenapa orang itu duduk di sana dan tangannya seperti itu?” Kautsar mengulangi pertanyaannya.
Sejenak saya terdiam, memikirkan kalimat yang hendak diucapkan agar mudah dimengertinya tentang untaian kalimat yang diucapkan lisan mulia kekasih Allah, Rasulullah yang diriwayatkan Muslim “Alyadul ‘ulyaa khoirum minal yadis sufla, walyadul ‘ulyaa hiyal munfiqatu,walyadus sufla hiyas saailah – Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Tangan di atas adalah tangan yang memberi, sedangkan tangan di bawah adalah tangan yang meminta”.
“Orang-orang itu tangannya selalu ditengadahkan supaya tangan kita menjadi tangan mulia. Tangan mulia itu tangan yang selalu memberi pertolongan,misalnya membagi uang yang kita punya kepada orang yang membutuhkan. Allah sayang sama orang yang tangannya mulia,” urai saya.
“Nah, … sekarang Bunda ingin tahu, Kautsar dan Salsabila mau tidak punya tangan mulia, tangan yang yang disayang Allah?” saya mencoba memancing respon mereka.
“Mau…mau…mau!” Kautsar dan Salsabila serempak menjawab. Dengan segera mereka berlarian menghampiri para pengemis itu setelah sebelumnya saya bekali beberapa koin. Meskipun nyali mereka sempat ciut saat akan mendekati lelaki funky bersama anjingnya. Namun ternyata semangat untuk mempunyai tangan mulia tak menyurutkan niat mereka mencemplungkan koin ke dalam wadah uang yang telah disediakan lelaki itu. Hal yang sama, mereka lakukan pula pada wanita bersama balita yang digendongnya.
***
Dan kini, di tempat yang berbeda, anak-anak itu melihat lagi ada tangan-tangan menengadah menanti uluran tangan-tangan mulia. Kepolosan tingkah anak dan masih jernihnya warna hati mereka, membuat mereka mudah tersentuh melihat orang-orang yang menderita. Penuh semangat mengharap tangannya menjadi tangan mulia-tangan yang disayang Allah. Sehingga anak-anak itu terus berlarian sepanjang trotoar mencari tangan-tangan yang akan membuat tangan mereka menjadi mulia.
Saat mengawasi mereka dari kejauhan, terlintas dalam pikiran saya arti dari firman yang Maha Pengasih-Penyayang…
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka, dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS. Al-Hadid: 18)
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).
Banyak tercantum dalam al-Quran ayat-ayat dimana Allah memberitahukan kabar gembira sebagai balasan bagi orang-orang yang tangannya mulia. Tapi entah kenapa tangan-tangan mulia ini tak mudah ada pada setiap orang? Kenapa selalu ada rasa enggan, berat hati dan mencari-cari dalih atau pembenaran untuk tidak berbagi rezeki walaupun sekedar recehan?
Padahal Allah juga telah memperingatkan pada kita dengan firmannya “Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”(QS.3:92).
Andai orang-orang dewasa memiliki jiwa peka dan semangat memiliki tangan mulia, akankah masih ada orang-orang di jalanan menanti belas kasih kita? akankah masih ada bayi-bayi kekurangan gizi dan anak-anak busung lapar yang tergolek lemas di rumah sakit menanti pertolongan? akankah masih ada erangan menahan sakit dan lapar dari gubuk-gubuk reyot di balik gedung-gedung pencakar langit? akankah masih ada anak-anak yang bunuh diri karena malu tak mampu membayar uang sekolah? Akankah…” Ah, tak mampu lagi saya dengarkan tanya yang memenuhi dan menyesak di ruang hati.
***
Semoga bencana yang bertubi-tubi melanda negeri kita, menjadi sebuah kesempatan bagi kita untuk mengasah hati agar lebih peduli pada sesama dan sebagai tarbiyah bagi jiwa kita untuk memperbaiki kualitas diri menjadi lebih baik untuk dapat meraih derajat taqwa.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS.Al-Baqarah:177)
Ineu Ratna Utami www.facebook.com/ratnautami