Seiring kehadiran buah hati yang pertama menyemarakkan hidup kami, saya jadi memiliki kebiasaan baru yang berlangsung hingga kini.
Memandangi wajah anak-anak dikala mereka terlelap dalam tidur malam maupun siang adalah saat-saat yang saya sukai dan tanpa sadar sudah menjadi bagian dalam ritme hidup saya. Ada perasaan tertentu yang sulit diungkapkan namun terasa ada ketenangan mengalir ke relung hati.
Ketika memandangi wajah-wajah damai itu selalu hadir sebersit azzam dalam hati untuk terus belajar dan memperbaiki diri agar bisa menjadi ibu sebaik-baiknya bagi mereka.
Memandang bersihnya paras yang seolah memancarkan bercahayanya hati mereka, selalu sanggup menumbuhkan janji di hati untuk menjaga anugerah terindah dalam hidup kami ini dengan sebaik mungkin menjaga amanah dariNya.
Namun di saat bersamaan dengan rasa tadi, tak bisa ditepis sering pula muncul kilas balik berbagai kejadian saat bagaimana saya merespon tingkah anak-anak yang terkadang menguji kesabaran diri sekaigus menunjukkan suatu kenyataan bahwa ternyata saya mendapatkan banyak ilmu kehidupan dari tingkah polos mereka.
Seperti saat itu jarum jam menunjukkan pukul satu malam, yang berarti baru satu jam berlalu putri kecilku genap berusia 4 tahun. Ia tengah tertidur lelap, kerudung berwarna pink dengan motif bunga-bunga kecil masih melekat di kepalanya. Saya tatap wajahnya yang menentramkan itu, ada kilasan peristiwa berkelebat saat pandangan tertuju pada kerudung kesayangannya…
"Bunda, kenapa setiap bunda keluar rumah selalu menutup rambut dengan kerudung besar itu?", putri kecilku bertanya dengan binar mata penuh rasa ingin tahu.
Sejenak saya terdiam, memikirkan kalimat apa yang pantas diucapkan agar dipahaminya. Lalu sambil berjongkok di hadapannya, saya coba menjawab…
"Karena Bunda ingin disayang dan dijaga Allah maka Bunda turuti apa yang diperintahkan Allah… Allah menyuruh perempuan yang sudah besar untuk menutupi rambut supaya tidak ada yang mengganggunya. Tapi, tak hanya rambut lhoo, semua bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan harus ditutup juga dengan pakaian yang seperti Bunda pakai ini," urai saya.
"Ooo… gitu ya?", gumamnya perlahan…matanya mengerjapkan gemintang rasa ingin tahu lebih jauh…
"Yang boleh lihat hanya ayah, kakak, aku dan adek ya?" ia lontarkan kembali sebuah tanya.
"Masih ada selain ereka yang boleh melihat, tapi lain kali aja ya Bunda kasih tahunya?", terlihat putriku mengangguk mengiyakan permintaan saya.
"Bunda, aku suka lihat Bunda pakai kerudung…karena Bunda jadi disayang Allah",ungkap putriku sambil menghambur dalam pelukan.
"Aku juga mau pake ah! Aku juga ingin dijaga dan disayang Allah!" ujarnya lagi, sesaat kemudian ia berlari menuju lemari miliknya, mengambil sehelai kerudung lalu mengenakannya.
Saya acungkan kedua jempol tangan tanda menyetujui dan memuji sikapnya. Putriku tersenyum senang kemudian berlari ke halaman rumah, bergabung kembali dengan kakaknya yang sedang ayik bermain di teras.
Tak disangka sejak itu ia selalu ingin mengenakan kerudung setiap kali keluar rumah. Seringkali kami membujuknya agar ia melepas kerudungnya itu setelah seharian bermain di luar. Tetapi ia selalu menolak. Kalaupun dilepas hanya saat akan mandi, setelah itu ia akan mengenakannya kembali.
"Aku ingin dijaga dan disayang Allah, seperti Allah menyayang Bunda!" ucapnya ketika suatu hari saya tanya kenapa ia tak mau melepas kerudungnya.
Subhanallah!jawaban polosnya membuat saya menyesal karena selama ini selalu membujuknya agar ia melepas kerudung saat ia berkeringat kelelahan dan kepanasan. Padahal ia tak pernah mengeluhkan keadaan dirinya bahkan kelihatannya tetap merasa nyaman.
Di lain waktu berbeda lagi motivasi memakai kerudungnya, ia mengatakan pada saya bahwa ia merasa malu ketika orang melihat rambutnya. Putri kecilku tak suka rambut indahnya menjadi perhatian dan merasa jengah mendengar komentar atau pujian orang.
Subhanallah! rasa hati semakin tak menentu…Maafkan bundamu ya nak?… Bunda tidak peka akan keinginan baikmu untuk meraih cinta Allah di usia beliamu…kuusap kepala putriku yang terlindung kerudung kesayangannya itu.
Kembali saya pandangi wajah damainya… terbayang suatu waktu ia pernah merajuk dan menangis dengan kencang ketika bangun tidur mendapatkan matahari sudah menyemburatkan cahayanya. Di sela sedu-sedannya, ia mengatakan bahwa dirinya sedih karena saya dan suami tidak membangunkannya untuk shalat subuh berjamaah di masjid.
Subhanallah! Kami terperangah…sungguh tak disangka ternyata putri keciku memiliki keinginan yang sangat mulia. Ia ingin shalat subuh bersama ayahnya di masjid. Kakaknya pun melayangkan protes yang sama pada kami, mengapa ia dan adiknya tidak dibangunkan saat adzan berkumandang? Tak ada yang dapat kami ucapkan saat itu selain permintaan maaf dan berjanji akan membangunkan mereka untuk subuh yang akan datang.
Harus saya akui, seringkali saya terjebak dalam rasa kasihan pada anak-anak, merasa mereka masih terlalu kecil untuk melakukan hal itu. Perasaan tak tega membangunkan mereka agar turut ayahnya menembus gelap dan dingin subuh menuju masjid, kerap memenuhi pikiran saya. Astaghfirullah!
Semestinya kami bersyukur ketika mendapatkan buah hati yang memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan titahNya meski di usia dini mereka. Namun, entah kenapa selalu melintas dalam pikiran kami rasa kasihan itu, bahwa mereka masih terlalu kecil untuk melakukan semua kebaikan yang saat ini dengan senang hati mereka lakukan. Alangkah naifnya kami…
Padahal bukankah lebih baik jika dilakukan pembiasaan sejak usia dini bagi permata hati kita sejauh tidak dalam bentuk pemaksaan agar tumbuh kecintaan dalam pribadi mereka untuk mentaati perintah dan larangan Allah?
Benarlah sebuah pepatah Jerman mengatakan "Eltern werden ist einfach, Eltern zu sein ist schwierig"(menjadi orangtua adalah mudah tapi berperan sebagai orangtua adalah lebih sulit). Saya merasakan diri ini masih sangat jauh untuk dapat bersikap bijak dalam menyikapi tingkah anak baik sikap yang positif maupun negatif . Di samping itu saya pun masih perlu belajar banyak untuk bisa konsisten dengan apa yang kami inginkan dari diri anak-anak untuk menjadi pribadi shaleh, tentunya dengan mendukung segala kebaikan yang dilakukan mereka, bukan sebaliknya.
Astagfirullahaladzhim…saat memandangi wajah-wajah tanpa dosa itu, bongkahan rasa bersalah menyesak di ulu hati.
Saya jadi teringat dengan seorang ibu di Berlin. Belum lama berselang suaminya yang berkebangsaan Jerman, wafat. Meninggalkan ia beserta dua putrinya yang masih di bawah umur. Ibu tersebut bercerita pada saya melalui e-mail tentang azzamnya untuk terus berupaya mengenalkan Islam kepada kedua buah hatinya. Semangat yang tersirat dalam tulisannya itu saya rasakan tak berubah sejak saya mengenalnya pertama kali di sebuah masjid tempat berkumpulnya muslimin muslimat Indonesia. Saya melihat sendiri betapa ia berusaha sekuat daya membiasakan buah hatinya untuk berinteraksi dan belajar banyak hal tentang Islam dalam masjid tersebut. Sekalipun jarak rumahnya dengan masjid cukup jauh dan sering terkendala dengan kondisi cuaca, semangat itu tak pernah pudar dari dirinya. Ia berharap pembiasaan sejak dini pada buah hatinya dapat menjadi benteng iman mereka ketika menghadapi budaya di negeri tempat mereka bermukim.
Ada pula ibu lainnya yang membuat saya kagum. Sama halnya dengan ibu yang pertama tadi, ia pun menikah dengan pria Jerman dan dikaruniai tiga orang putra yang kini beranjak remaja. Saya sering bertemu dengan ketiga putranya itu di hari ahad saat mereka akan belajar untuk menambah wawasan keislamannya di masjid Indonesia tersebut. Di masjid bernama Al-Falah itu, memang diadakan program kajian khusus untuk para remaja Indonesia- Jerman yang dipandu mualaf Jerman bernama Daniel serta beberapa guru lainnya. Mereka pun selalu hadir saat shalat tarawih di bulan Ramadhan. Melihat sosok mereka, saya jadi teringat akan cerita sang ibu bagaimana ia berjuang mendidik dan mengkondisikan agar ajaran agama terpatri dalam kepribadian mereka…Ya, ibunya mengkondisikan ruhani anaknya agar selalu tertaut pada Islam sejak mereka masih kecil. Subhanallah!
Masih banyak deretan ibu lainnya melintas dalam benak saya dengan segala upaya keras mereka sebagaima kedua ibu tersebut. Lantas kenapa saya masih terpaku pada sebuah sebuah alasan bahwa mereka masih teralu kecil untuk dikenalkan pada kewajiban terhadap agamanya yang kelak mesti mereka jalankan? Saya harus menepis pikiran itu dan mulai menyalakan semangat untuk mendidik dan mengenalkan keindahan ajaran Islam di usia belia mereka agar kelak menjadi pribadi-pribadi berahlak mulia dalam naungan cahaya Islam.
Saat memandang kembali wajah-wajah suci belum tersentuh dosa itu…saya berharap dalam hati, semoga belum terlambat untuk segera memperbaiki kekeliruan diri.
Di hari kelahiran putriku… bersimpuh diri ini padaMu Ya Allah, ampunilah kelalaian kami.. bimbinglah selalu kami untuk bisa mendidik amanah sekaligus karunia dariMu ini hingga dapat menghantarkan mereka menjadi pribadi-pribadi shaleh yang mencintaiMu dan Engkau cintai, amiin.
Inilah salah satu hal mengapa saya suka memandang wajah mereka dalam lelap tidurnya… ada selaksa asa, ada sebersit azzam dan ada segumpal kesadaran untuk melakukan koreksi diri.
(Risalah hati, 19 November 2010)