Hari ini, saya teringat dengan seorang sahabat bernama Yudi. Saya ingat padanya karena satu hal, yaitu dia menyukai sekali rubrik “oase iman” ini. Saat kami pernah bersama dalam satu usrah (sekitar awal tahun 2005), dia sering menjadikan artikel “oase iman” ini sebagai bahan untuk tausiyah dalam forum usrah.
Mei 2005, dia hijrah dari Jakarta ke kampung halamannya di Indramayu. Kepindahannya disebabkan oleh sesuatu hal. Pertama, dia mendapat amanah untuk mengelola usaha bisnis milik keluarga di sana, di antaranya yaitu lembaga kursus komputer dan toko buku muslim. Kedua, Dia memiliki binaan (mad’u) di sana. Dengan berhijrah, maka dia akan lebih leluasa dalam mencurahkan perhatian kepada binaannya itu.
Sebenarnya kecondongan hati untuk pindah ke Indramayu, sudah tertanam cukup lama. Itu yang pernah terungkap darinya. Hanya saja, ia belum sanggup pindah jika belum mendapatkan pekerjaan pengganti di sana. Bagaimanapun, memiliki pekerjaan (ma’isyah) adalah hal pokok dan prioritas. Ma’isyah itulah yang akan menopang keberadaan dia sebagai seorang da’i, sehingga ia bisa berkonsentrasi tanpa merisaukan jaminan kehidupan. Dan tentu saja yang lebih penting, ia akan lebih bisa menjaga keikhlasan dalam beramal, sebab keikhlasan itulah yang menjadi wasilah datangnya pertolongan Allah dan ketenangan dalam kehidupan.
Di Jakarta, ia adalah karyawan bagian akuntansi sebuah perusahaan pelayaran dan ekspedisi di daerah Slipi, Jakarta. Dan ia bertahan di sana karena belum menemukan pekerjaan yang lebih baik dari segi benefit dan kenyamanan kerja. Sebagai tamatan D3 lembaga pendidikan pengembangan profesi, boleh jadi kapasitas keilmuannya masih kurang. Makanya dia menempuh program S1 sebagai sarana mengembangkan keilmuannya itu, yang bermanfaat bagi pengembangan dunia kerja maupun untuk pengembangan pribadinya.
Tatkala dia ditawari mengelola lembaga kursus komputer dan toko buku itu —dengan digaji tentu saja— dia langsung menyanggupinya. Dia berencana akan memfungsikan lembaga itu sebagai ladang amal untuk berdakwah. Dia tidak akan sekedar memberikan ilmu dan ketrampilan komputer saja, tetapi juga akan mengarahkan peserta kepada jalan Islam. Dan toko buku itu, adalah sarana untuk menyebarkan fikrah dakwahnya. Sebuah obsesi yang luar biasa.
Di samping itu, dia akan lebih serius membina binaannya. Dia tidak perlu lagi harus bolak-balik menempuh perjalanan panjang Jakarta-Indramayu setiap 1-2 pekan untuk menyambangi mereka.
Selang beberapa pekan setelah kepindahannya, saya pun hijrah ke luar Jawa. Sejak itulah, saya tidak berhubungan lagi dengan Yudi. Nomor kontaknya boleh jadi sudah berubah dan saya tidak mengetahuinya.
***
Yudi adalah sahabat yang saya kagumi. Meski usianya lebih muda dan pendidikannya juga masih belum tamat S1 (waktu itu), pemikirannya lebih dewasa. Satu hal yang bisa menjadikannya demikian adalah komitmen keimanannya yang begitu kuat. Saya melihatnya dari pemikirannya yang lurus dan tindak tanduknya yang tawadhu dan khusyu’.
Hari-harinya penuh dengan kesibukan yang melelahkan. Bekerja di kantor, mengambil kuliah S1 di malam hari, membina majelis taklim keluarga, menghadiri taklim pekanan, dan memantau murid binaannya di Indramayu. Meski hari-harinya penuh dengan aktivitas yang meletihkan, wajahnya tetap teduh dan khusyuk, senyumnya tulus, tawanya menyejukkan, dan tutur katanya penuh dengan kata-kata hikmah. Terasa sekali jika keimanannya hidup dan bercahaya.
Iman yang hidup, sejauh yang saya rasakan, memberikan efek yang luar biasa. Tatkala saya masih kuliah, saya pernah mengalami hari-hari yang menyibukkan tetapi sangat menyenangkan bagi saya. Saya —bersama teman-teman— membina anak-anak TPA dan mengaktifkan kegiatan masjid di komplek kediaman. Saat itulah saya menemukan arti keberartian, kemanfaatan, dan kepedulian bagi orang lain. Iman saya terasa lebih hidup dan ibadah-ibadah saya pun lebih terjaga.
Ia juga memberi pengaruh kepada kecerdasan. Pada saat-saatnya saya sibuk dengan aktivitas keimanan, buku-buku kuliah pun disentuh ala kadarnya, tidak seperti saat bisa intens mendalami buku-buku kuliah di tahun-tahun pertama perkuliahan. Namun ajaibnya, IP kumulatif saya di tahun terakhir itu, lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Boleh jadi, pemahaman saya dalam membaca buku kuliah menjadi lebih baik (lebih cepat nangkap) meski hanya membaca sebentar saja. Faktornya mungkin karena otak sering dipakai buat memikirkan masalah ummat, jadi selalu bagus koneksi antar syarafnya. Ibaratkan pisau yang sering di pakai, maka pisau itu makin tajam. Boleh jadi, ini adalah isyarat bahwa orang beriman adalah orang-orang yang cerdas. Setidaknya dalam mengenal Tuhannya. Waallahu a’lam.
Pejuang dakwah seperti Yudi, yang senantiasa aktif dalam melakukan manuver membukaladang dakwah, tetap bersinar dalam kondisi kebersahajaan. Sudah menjadi sunnatullah, yaitu mereka yang menjaga diri dari tarikan dunia atau menjadikan dunia bukan sebagai orientasi (utama) kehidupan, maka tarikan akhirat pun lebih dekat. Sebagai dampaknya, keimanannya pun memancar dan terasa menghidupi (memberikan resonansi) terhadap keimanan orang lain. Hipotesis ini sering kulihat pada sahabat-sahabat yang hidup dalam keterbatasan, namun mampu memproduksi amal-amal kebajikan yang luar biasa.
***
Beberapa pekan yang lalu saya kedatangan jamu dari Rembang. Dia adalah seorang kepala Madrasah Ibtidaiyah yang juga seorang pengusaha. Dia datang ke Jakarta dalam rangka mengikuti musyawarah kerja sebuah jaringan pengusaha muslim. Kedatangannya bagi kami adalah sebuah kejutan yang menggembirakan, karena ternyata dia datang dalam rangka membuka kerjasama bisnis dengan kami. Bagaimana asal-usulnya? Rupanya waktu ia berbelanja ke Tanah Abang untuk keperluan tokonya di Rembang, ia melihat produk kami terpajang di sana. Tidak puas dengan pajangan produk di sana, ia berkunjung langsung ke rumah dan melakukan transaksi yang lumayan besar. Tidak hanya sekali itu, begitu ia sampai di Rembang, ia memesan barang lagi dalam jumlah yang lumayan juga.
Sungguh seperti rezeki yang tidak diduga-duga. Baru kenal, tetapi berani beli banyak. Saya coba menduga-duga apa yang menyebabkan ia begitu percaya kepada kami. Boleh jadi karena ia melihat kejujuran dan kredibilitas sahabat tempat kami menitipkan barang. Berusaha bagi sahabat kami itu, bukanlah semata-semata untuk cepat meraih kekayaan. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menjadikan usaha sebagai sarana dakwah dan memberi kemanfaatan bagi orang banyak.
Tamu asal Rembang itu ternyata memiliki orientasi yang sama dalam hal berbisnis, yaitu menjadikan bisnis sebagai ladang amal untuk berdakwah. Dengan orientasi demikian, maka kami tidak terjebak dalam tarikan dunia. Kekayaan adalah sebuah keniscayaan, tetapi bukan menjadi tujuan. Itulah sedikit yang bisa saya gali dari pertemuan singkat dengannya.
Dalam pertemuan dengan tamu asal Rembang itu, kami juga sempat mendiskusikan adanya pergeseran nilai dari para aktivis dakwah. Mereka yang pada awalnya berjuang dengan penuh sahaja dan keikhlasan, setelah menduduki jabatan tertentu justru makin redup keimanannya. Jika dulu mereka sering mengatakan, “Upah kami adalah dari Allah”, namun sekarang ini sebagian mereka mengatakan, “Apakah kami tidak boleh kaya?” Andai mereka konsisten, jika mereka dulu bekerja kepada Allah, maka sekarang pun seharusnya mereka bekerja kepada Allah, bukan kepada hawa nafsunya. Jika mereka sudah merasa nikmat dengan pesona dunia, artinya ada sebuah pergeseran nilai. Imbasnya, keimanan yang dulunya bersinar, kini menjadi redup. Banyak orang menjadi kurang simpati dan memberikan penilaian buruk.
Memang penilaian buruk orang itu bukanlah jaminan akan sebuah kebenaran. Boleh jadi nuansa prasangka buruknya lebih kental dibanding kritik membangunnya. Namun apapun bentuknya, alangkah bijaknya jika semua itu dijadikan sebuah cerminan akan jatidiri keimanan. Betulkah keimanan saya redup? Dan kenapa?
Pergeseran nilai itu jika kita bandingkan dengan kehidupan Rasul dan khalifah ar Rasyidin sungguh terasa jauh. Mereka yang sebelum menjabat kedudukan hidup dengan limpahan kekayaan, begitu menjabat, kekayaan itu menjadi hilang. Sebab mereka harus berkonsentrasi mengurusi ummat, yang otomatis menghilangkan perhatian mereka dari perniagaan yang menjadi seumber kekayaan sebelum menjabat. Sebagai contoh adalah khalifah Abu Bakar yang tidak diperbolehkan berniaga setelah menduduki jabatan sebagai khalifah dan harus ridha dengan jatah dari Baitu Maal yang ala kadarnya.
***
Kisah tentang Yudi dan tamu dari Rembang tersebut memberi sebuah hikmah kepada saya. Iman -jika boleh diibaratkan dengan hewan piaraan- ternyata hanya bisa digemukkan dengan ibadah dan upaya pendekatan diri kepada Allah, bukan dengan harta. Dan sumber pusat pembangkit keimanan adalah kecintaan kepada akhirat, bukan kecintaan kepada dunia. Kecintaan pada akhirat itulah yang akan menjadikan pusat pembangkit keimanan menjadi powerfull, tidak akan pernah kekurangan pasokan energi, dan memberikan kemanfaatan yang luar biasa tidak hanya bagi diri tetapi juga banyak orang lainnya. Nyala imannya benderang dan terus menerus benderang. Tidak redup dan tidakbyar-pet, layaknya pusat pembangkit buatan manusia.
Sungguh, kita mendambakan pusat pembangkit keimanan seperti itu yang tertanam di dalam lubuk jiwa kita. Ya, Allah karuniakanlah kami iman yang hidup dan menghidupkan. Amin.
Waallahu’alam.
([email protected])