Eramuslim.com – Fitnah merupakan salah satu penyakit hati yang bebahaya bila tidak segera di obati. Jauh sebelumnya dalam Al-Quran dan Sunnah telah mengigatkan hal tersebut. Penyakit ini mesti di perangi. Bahkan mereka yang tidak bersegera untuk bertaubat dari penyakit ini akan mendapat ancaman berupa azab yang pedih.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Anfal ayat 39:
وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ ٱنتَهَوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“..dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS: Al-Anfal: 39)
Dalam Surah al-Buruuj ayat 10 juga Allah berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَهُمْ جَنَّٰتٌ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْكَبِيرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”
Dalam buku fatwa-fatwa kontenporer karya Yusuf Qaradhwi sebuah hadis Nabi menyebutkan : “Sesungguhnya dua orang ahli kubur itu disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Ya, benar. Sesungguhnya dosa itu amatlah besar. Salah seorang di antara keduanya ialah (mereka) yang berjalan di muka bumi dengan menyebarkan fitnah (mengumpat). Sementara yang lain tidak bertirai ketika kencing.” (HR Bukhari dan Muslim)
Fitnah tidak pernah memandang bulu dapat memangsa siapapun. Bahkan ulama besar pendiri mazhab ternama seperti Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi atau Imam Syafi’I pernah diterpa isu fitnah.
Namun karena dia dikenal cerdas dan bijak, Imam Syafi’i berhasil terlepas dari fitnah dan merubahnya menjadi 1000 dinar.
Kisah ini terjadi ketika Imam Syafi’I hidup di Negeri Yaman. Shalahuddin Hamid dalam buku Kisah-Kisah Islami menuliskan, pada waktu itu Negeri Yaman menjadi tempat bagi orang-orang Syi’ah yang selalu membuat tipu daya terhadap Ibnu Abbas dan mereka mensyiarkan ajaran Syiah dan as-Syafi’i bersama mereka.
Akhirnya, pada tahun 184 H (803 M) hal tersebut dilaporkan kepada Khalifah Harus al-Rasyid dan Imam Syafi’i diajukan ke pengadilan. Ia dilaporkan oleh Mutharif bin Muzin seorang hakim Shonaa /Sana’a.
Pada saat itu Khalifah Harun al-Rasyid ada persaingan dengan keluarga Raja dan Keluarga Ali. Akibatnya muncul beberapa pemberontakan kecil. Ia memerintahkan pasukannya untuk menangkap semua tokoh dan ulama Syi’ah.
Nama Imam Syafi’i pun juga masuk dalam penangkapan itu. Beliau dituduh sebagai pengikut Syi’ah.
Dalam keadaan dirantai, Imam Syafi’I berjalan menuju khalifah. Lalu khalifah bertanya kepadanya: “Benarkah engkau yang menjadi pemimpin pemberontakan yang akan menggulingkan pemerintahanku? Bukankah engkau telah bersalah? Apakah ada alasan bagimu untuk menolak tuduhan ini?”
Beliau menjawab: “Wahai tuan, saya akan menjelaskan kepada tuan perasaan hati saya untuk menegakkan keadilan. Tetapi mustahil bagiku untuk menjelaskan keadilan sebelum rantai yang membelengguku dibuka. Saya meminta kepada tuan untuk dapat membuka rantai ini.”
Khalifah mengabulkan permintaan Imam Syafi’i dan memerintahkan pengawalnya untuk membuka rantai tersebut. Setelah rantai itu di buka, Imam Syafi’i berkata: “Sungguh amat keliru tuduhan itu diamanatkan kepada saya. Sungguh bohong, orang-orang yang menyampaikan informasi itu kepada tuan. Ya amirul mu’minin, sesungguhnya aku menjaga kehormatan agama. Cukuplah perkara ini akan menjadi jalan bagi tuan untuk menetapkan keputusan yang benar. Tuan lebih memegang kitab Allah, karena tuanlah paman Rasulullah ﷺ yang sangat membela agamanya dan mempertahankan pendiriannya sesuai dengan pimpinan Allah.”
Kata–kata ini sangat mempengaruhi Khalifah Harun al-Rasyid sehingga segera membebaskan Imam Syafi’i.
Khalifah pun juga mengundangnya ke jamuan penghormatan untuknya, dan mendapatkan hadiah 1000 dinar sebagai kompensasi atas fitnah yang telah dialaminya. Uang yang diberikan kepada dari khalifah itu oleh Imam Syafi’i lantas dibagi-bagikan semua kepada masyarakat sampai habis.
Sifat Terpuji
Selain cerdik dan bijak, Imam Syafi’ijuga dikenal dengan sifat terpuji. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah kisah ketika beliau bepergian dari Yaman menuju kota Makkah.
Kisah ini terjadi setelah beliau mendapatkan hadiah 1000 dinar sebagai kopensasi dari khalifah atas fitnah yang telah dialaminya.
Dalam perjalanan itu beliau Imam Syafi’i menyempatkan diri berhenti dan berkemah di suatu tempat. Pada saat itu, datanglah beberapa orang miskin dan beberapa orang-orang yang menanggung hidup menderita.
Imam Syafi’i kemudian memberikan hadiah uang kepada mereka.Di lain waktu, Imam Syafi’i sedang berjalan-jalan melewati para tukang sepatu.
Tiba –tiba tongkat beliau terjatuh di hadapan tukang sepatu tersebut. Dengan cepat pelayan tukang sepatu itu mengambil tongkat beliau dan membersihkan kotoran yang melekat di tongkat itu.
Setelah dibersihkan, tongkat itu diberikan lagi kepada Imam Syafi’i. Melihat kebaikan orang itu Imam Syafi’i memberikan hadiah uang kepada orang tersebut.
Di saat lain, pada hari raya Imam Syafi’i baru saja keluar dari masjid bersama muridnya pulang menuju rumah. Begitu sampai di rumah, ia sudah ditunggu beberapa orang yang membawa kantong penuh uang.
Orang itu mengucapkan salam dan memberikan kantong berisi uang itu kepadanya.Tidak beberapa lama kemudian, datanglah seorang laki-laki kepadanya.
Laki-laki itu berkata kepada Imam Syafi’i: Wahai Imam. Baru saja istriku melahirkan anak, sedangkan aku tidak punya apa-apa, sudikah imam membantuku?
Mendengar permohonan itu, Imam Syafi’i mengambil kantong penuh yang berisikan uang yang didapat dari seorang laki-laki tadi dan memberikan beberapa keping kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu menerima pemberian dari Imam Syafi’i. Ia merasa gembira dan senang. Sang Imam pun juga merasakan hal yang sama karena telah dapat membatu manusia dalam menghadapi kesusahan.
Riwayat Imam Syafi’i
Dalam buku Biografi Imam Syafi’i, karya Dr. Tariq Suwaidan, disebutkan Imam Syafi’I bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin AlMuttalib. Akar nasabnya bertemu dengan Rasulullah ﷺ tepatnya di moyangya bernama Abdi Manaf.
Ia lahir di Ghazza , Palestina pada tahun 150 Hijriah. Pada tahun itu pula wafatnya Imam Abu Hanifah. Ayahnya berna Idris Ibnu Abbas yang berasal dari Tabalah. Sedangkan ibunya berasal dari Azad salah satu kabilah arab yang masih murni.
Jejak kesalehan dan kecerdasan seorang Syafi’i sejak kecil sudah mulai nampak. Sejak usia tujuh tahun ia sudah mampu menghafalkan al-Quran 30 juz. Diusia 10 tahun beliau sudah menghapalkan kitab Al- Muwaththa’ karya Imam Malik.
Hebatnya lagi, di usia lima belas tahun atas izin gurunya Muslim bin Khalid Az-Zanji, sudah mengeluarkan fatwa.
Semasa hidupnya Imam Syafi’I telah menuliskan 100 kitab, Namun kebanyakan dari mereka belum sampai kepada kita. Karya-karyanya yang masih ada dan dapat diakses saat ini adalah:
Pertama Kitab Ar-Risalah, kitab ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertamakali dikarang dan karenanya Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi’I dalam menetapkan hukum.
Kedua Kitab al-Umm, kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi’i secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam Mazhab Syafi’i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi’i dalam berbagai masalah fikih.
Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fikih Imam Syafi’i yang berjudul Ar-Risalah.
Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-Sya’b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.
Ketiga Musnad asy-Syafi’i, kitab ini berisi himpunan hadis–hadis Rasulullah ﷺ dan atsar para sahabat yang periwayatannya disandarkan oleh Imam Syafii.
Selain tiga kitab diatas, terdapat juga banyak kitab yang dinisbahkan kepada beliau, diantaranya ; kitab Al-Musnad, As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Asy-Syafi’i.
(Hidayatullah)