“Sarah bisa mengaji ? tanyaku kepada seorang anak teman kerja di kantor yang berusia 10 tahun. “Engga”, jawabnya dengan polosnya. “Mau belajar ga ?” aku bertanya lagi. “Engga”, jawabnya dengan cueknya. “Kenapa ga mau belajar ? tanyaku sekedar untuk mengetahui alasannya. “Ga ah, malas” jawaban polosnya kali itu membuatku tersenyum dan sekaligus terenyuh.
Aku merasa terenyuh karena memang tidak mudah untuk mengajarkan cinta Al Quran kepada anak-anak sedari mereka kecil. Walaupun kita sama-sama mengimani bahwa kemampuan membaca Al Quran adalah hal penting yang melengkapi seorang muslim dan menjadikannya sebagai muslim yang lebih bernilai, tidak semua muslim tergerak hatinya untuk belajar membaca Al Quran dan berkeinginan untuk menjadi seperti buah Utrujjah, limau besar yang baunya wangi dan rasanya sedap. Perumpamaan bahwa orang mukmin yang membaca Al Quran seperti buah Utrujjah dimaksud disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari & Muslim yang dituturkan oleh Abu Musa Al Asy’ari r.a.
Aku mencoba memahami posisi Sarah sebagai anak kecil yang dibesarkan di negara di mana masjidnya hanya bisa dihitung dengan jari dan jumlah saudara seiman yang hanya berjumlah 600 orang. Aku dan Sarah adalah dua orang dari sekitar 600 muslim yang tinggal di Lima, ibukota Peru, satu negara di Amerika Selatan. Dengan situasi tersebut, relatif sulit bagi Sarah untuk menumbuhkan minat belajar membaca Al Qur’an. Di masjid yang terdekat dengan kami, tidak terdapat Taman Pengajian Al Qur’an yang mudah ditemukan seperti di Indonesia. Orang tuanya sebenarnya ingin mengajari Sarah mengaji, tetapi rutinitas pekerjaan yang dihadapi setiap hari membuat mereka tidak sempat untuk mengajarinya membaca Al Qur’an.
Permasalahan orang tua Sarah juga menjadi permasalahan orang tua muslim lainnya di Peru. Mereka mengharapkan sebuah taman pendidikan Al Qur’an sebagai tempat untuk mengajarkan membaca Al Qur’an. ‘Queremos un lugar en la mezquita donde nuestros hijos pueden aprender los valores de Islam y aprender a leer Koran’ (Kami ingin sebuah tempat di masjid di mana anak-anak kami bisa belajar nilai-nilai Islam dan belajar membaca Al Qur’an), ungkapnya dengan sinar mata penuh pengharapan.‘Insha Allah, podemos hacer esto un dia’ (Insha allah, kami melakukannya suatu hari nanti), lanjutnya.
Saat ini, para orang tua muslim Peru sedang mengupayakan agar nantinya mereka dapat mendirikan sebuah taman pendidikan Al Qur’an di masjid. Rumah Allah yang terletak di kotapraja Jesus Maria tersebut merupakan harta tak ternilai bagi muslim di Lima. Walaupun bangunannya sudah tua dan arsitekturnya jauh dari arsitektur masjid megah lainnya, mezquita (dalam bahasa Spanyol) tersebut menjadi denyut nadi muslim di sana.
Di masjid tersebut, dilaksanakan kegiatan seperti shalat berjamaah dan diskusi tentang Islam setiap hari Sabtu. Sampai sekarang, para pengelola masjid belum diberikan kemampuan untuk mengelola kegiatan belajar-mengajar baca tulis Al Qur’an bagi anak-anak. Ketiadaan sumber daya manusia dan biaya adalah dua permasalahan yang mendasar kenapa kegiatan tersebut sampai sekarang belum dilaksanakan.
Aku mengamini harapan Sulma dan meyakini bahwa Allah pasti akan memudahkan jalan saudara kita di Lima untuk mewujudkan harapan tersebut. Sulma dan orang tua muslim lainnya di Peru pasti merindukan waktu ketika anak-anak mereka dapat belajar membaca Al Qur’an, mencintainya dan mengamalkannya. Suatu kerinduan yang kiranya terwujud akan dibalas kehormatan di akhirat nanti, insha Allah.
“Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, Allah memakaikan pada kedua orang tuanya di hari kiamat suatu mahkota yang sinarnya lebih bagus dari pada sinar matahari di rumah-rumah di dunia. Maka bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang mengamalkan ini.” (Riwayat Abu Dawud).