Ada yang menarik dalam kupasan majalah Tempo edisi 31 Januari 2009. Edisi tersebut menampilkan kumpulan foto pilihan Tempo 2009.
Di antara kumpulan foto tersebut ada sebuah esai foto berjudul "Jasad yang Dilupakan" karya Rony Zakaria, yang mengingatkan arti hubungan antara pekerjaan dan ibadah.
Adalah Sugih bin Jaiman, tokoh sentral dalam esai foto. Ia adalah seorang penggali kubur berusia 57 tahun yang berasal dari Karawang, Jawa Barat.
Pekerjaannya sebagai penggali kubur di Taman Pemakaman Umum Kampung Kandang, Jakarta Selatan. Ia bukan penggali kubur biasa karena yang ia kuburkan adalah mayat tanpa identitas yang tidak diakui oleh keluarganya, korban kecelakaan lalu lintas atau korban kejahatan yang dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau Rumah Sakit Polri.
Pekerjaannya membutuhkan ketahanan ekstra tinggi, karena seringkali kondisi mayat yang dikuburkan sudah tidak sempurna, berbau dan basah. Tidak semua orang mampu melakoni pekerjaanya, apalagi dari segi materi pekerjaan ini tidak dibayar tinggi.
Ketika ditanya apa yang membuat ia bertahan untuk bekerja sebagai penggali kubur sejak 1993, beliau menjawab singkat, "untuk ibadah."
Dua kata yang beliau katakan dapat membuat kita berpikir dan menanyakan apakah selama ini kita sudah meniatkan pekerjaan sebagai ladang ibadah ataukah lebih meniatkan pekerjaan sebagai ladang untuk mencari materi.
Sungguh beruntung bagi mereka yang menyadari sejak awal bahwa pekerjaan yang ia geluti adalah jalan untuk mendekat kepada Allah.
Inilah konsep yang dapat dimaknai dari penggalan doa Iftitah yang kita baca di setiap shalat kita, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah.”
Masalah yang sering kita hadapi adalah seringnya kita terlupa tentang hubungan pekerjaan dengan ibadah.
Kadang jenis pekerjaan membuat kita mengenyampingkan arti ibadah yang dapat ditemukan dalam setiap pekerjaan kita. Akan sangat mudah bagi kita untuk berkata, "kalau begitu beruntung dong yang pekerjaannya berkaitan langsung dengan agama, seperti dai."
Apabila kita cenderung berpikiran demikian maka kita akan terjebak pada pemikiran bahwa yang bekerja pada bidang yang tidak berkaitan dengan agama seperti pedagang barang kelontongan atau pegawai swasta, sebagai orang yang tidak beruntung.
Apapun pekerjaan kita, sepanjang itu halal, berpotensi sebagai jalan ibadah. Sugih bin Jaiman sudah membuktikan hal tersebut.
Pekerjaan sebagai penggali kubur tidak membatasi pikiran beliau untuk mengartikannya sebagai jalan ibadah. Niat mencari rezeki berdasarkan ridha Allah –insya Allah– menjadi jaminan bahwa pekerjaan yang kita geluti akan dinilai ibadah oleh Allah SWT.