Idul Adha dan Kesalehan Sosial

Kuhentikan langkah kaki sejenak saat menuruni tangga eskalator kereta bawah tanah metro Union Station ketika melihat seorang gelandangan tua berdiri seraya menadahkan tangan meminta belas kasihan siapa saja yang lewat. Sambil memegang troley kecil tempat minuman dan pakaiannya, lelaki yang dibaluti oleh mantel tebal itu sedang berjuang mendapatkan makanan untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong demi kelangsungan hidupnya esok hari sembari menahan hawa dingin salju kota Washington DC sore itu.

Pemandangan sekilas di sudut bangunan itu mengingatkan saya akan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Sesaat memori sayapun tertuju pada ribuan bahkan jutaan fakir miskin, yatim piatu, dan anak terlantar/jalanan di tanah air yang sedang mengalami kelaparan dan kesengsaraan hidup. Namun saya sedikit lega saat ini karena bulan ini adalah bulan haji atau bulan berqurban disebut juga Idul Adha berarti pula bulan di mana kaum muslimin berlomba-lomba menyembelih dan membagikan hewan qurban kepada kaum fakir miskin dan yang berhak menerima.

Dari tahun ke tahun kuantitas orang yang menyembelih hewan qurban terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya hewan yang disembelih pada hari raya itu. Suatu realitas positif yang patut kita syukuri bahkan berbangga hati, ternyata kesadaran umat Islam untuk berqurban terus mengalami lonjakan. Sebenarnya tidak ada yang berubah dengan perayaan Idul Adha tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja perayaan Idul Adha yang jatuh pada minggu ketiga akhir tahun 2007 ini seakan mengingatkan kita untuk dapat berkaca kembali pada diri kita masing-masing; apakah kita sudah saleh secara sosial?

Penyembelihan hewan qurban pada hari raya Idul Adha bukanlah tradisi biasa yang tanpa makna, bukanlah seremonial yang hanya sebatas “memotong” leher hewan qurban, tapi lebih dari itu mengandung nilai-nilai yang kaya akan makna. Berbagai makna yang terkandung dalam ritual penyembelihan hewan qurban adalah antara lain; manifestasi ketaqwaan kepada Sang Pencipta dengan cara antara lain meneladani sifat penghambaan seseorang terhadap Allah SWT seperti kisah Nabi Ibrahim a. S dan putranya Ismail, menghilangkan sifat hubbud dunya (cinta terhadap dunia) yang berlebihan, membuang sifat tamak/serakah terhadap harta yang berlebihan serta menanamkan jiwa sosial/berbagi dengan sesama.

Ibadah pada umumnya lebih banyak dipahami sebagai hal-hal ritual semata. Ketaqwaan seseorang atau umat hanya di ukur dari seberapa sering dia shalat, puasa, berangkat haji atau seberapa banyak dia mengeluarkan zakat. Betapa banyak di antara kita disibukkan dengan urusan ibadah-ibadah mahdlah ini tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, kelaparan dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara seiman.

Tidak sedikit orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah sampai menghitam sementara di sekitarnya banyak tubuh-tubuh saudara seimannya yang layu di gerogoti penyakit dan kurang gizi. Atau lihatlah setiap Idul Adha dengan ribuan sapi atau kambing yang di potong ternyata penyakit kemiskinan tak pernah bisa di selesaikan dengan tuntas karena Idul Adha hanya dimaknai sebagai ibadah ritual dan dibiarkan kering akan solidaritas sosial. Nampaknya kita harus jujur mengakui bahwa hingga kini episode kemiskinan tetap menjadi bagian dari cerita kehidupan umat Islam yang entah kapan berakhir.

Bila ditinjau lebih jauh, Idul Adha mempunyai dua dimensi. Pertama adalah dimensi ritual-transendental. Di mana ritual qurban ini sebagai wujud penghambaan manusia dalam ekspresi syukur kepada Allah SWT. Dimensi kedua yaitu dimensi sosial. Pemaknaan akan dimensi sosial ini tergambar dari komponen pembagian hasil penyembelihan hewan qurban kepada fakir miskin. Di sini ditujukan untuk menimbulkan nuansa egaliter dalam masyarakat. Sayangnya pesan kedua ini tidak banyak dipikirkan oleh kebanyakan kaum muslim. Padahal, seperti halnya daging qurban kebaikan adalah sesuatu yang dapat ditularkan.

Ibadah qurban tidak hanya dapat diterjemahkan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama manusia. Dengan begitu, sudah seharusnya ibadah qurban dan juga ibadah haji yang mabrur tercermin pula lewat meningkatnya kebajikan dalam bentuk derma, infak, dan sedekah, atau mengorbankan sebagian harta untuk mereka yang benar-benar membutuhkan.

Berqurban selain sebagai konkretisasi ketundukan diri kepada Sang Pencipta (kesalehan ritual) juga ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas moral dan sosial (kesalehan sosial) para pequrbannya. Ibadah dalam bentuk ritual belumlah sempurna tanpa dibarengi ibadah dalam bentuk kepekaan dan kepedulian sosial.

Masyarakat dapat mengaktualisasikan kesalehan individual-personal kepada Allah SWT, tidak sekadar dalam bentuk ibadah individual-personal, tetapi juga dalam kehidupan sosial-komunal. Jika kita dapat mengaktualisasikan kesalehan individual-personal melalui ibadah, menjadi suatu kesalehan sosial, maka kita bisa menjadi manusia yang mendatangkan rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Di antara makna sosial yang terkandung di dalam ritual qurban adalah dibebankannya ibadah ini bagi umat Islam yang mampu dan mendistribusikan daging qurban kepada kaum lemah menyiratkan pesan substansial kepada kita agar selalu bersemangat membantu meringankan penderitaan orang lain. Bantuan yang diberikan pun tidak selalu harus berupa materi, melainkan bisa dengan apa pun yang dapat kita sumbangkan demi penyelesaian problematika sosial masyarakat. Misalnya, sumbangan pikiran, motivasi, tenaga, dan lainnya.
Dengan pemaknaan seperti ini, berqurban tidak hanya berarti konkretisasi kepatuhan kepada Allah SWT yang diterjemahkan melalui ritual an sich, tetapi lebih dari itu tercermin pula dalam perilaku sosial bermasyarakat. Sehingga secara moral dan sosial, qurban dapat melahirkan nilai praktis dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan masyarakat, serta mampu memberikan kontribusi yang konstruktif untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.

Ada hal penting dalam perayaan Idul Adha ini. Betapa kita diperintahkan untuk selalu memperhatikan fakir miskin, dan semangat berqurban. Apabila sifat suka berqurban ini meresap ke dalam jiwa seluruh ummat Islam Insha Allah akan terwujud ketenangan dan kedamainan dalam masyarakat. Di samping itu, jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin, yang kuat dengan yang lemah, penguasa dengan rakyat biasa akan semakin tidak nampak.

Suatu ketika, Nabi Muhammad s. A. W ditanya oleh sahabatnya siapakah yang paling bersalah bila kemiskinan meluas pada satu ummat? Nabi menjawab “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan atas orang-orang kaya muslimin untuk mengeluarkan harta mereka seukuran yang dapat memberikan keleluasaan hidup bagi orang miskin. Dan tidak mengalami kesengsaraan orang-orang miskin, bila mereka lapar atau telanjang, kecuali karena perbuatan orang-orang kaya juga. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban orang-orang kaya itu dengan pengadilan yang berat dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih” HR Tabrani.

Dari sinilah akhirnya qurban menjadi begitu bermakna. Kaum dhuafa di daerah yang jarang bahkan tidak pernah sama sekali merasakan nikmatnya sekerat daging qurban akan bergembira dan berucap penuh syukur ketika mereka mendapatkan jatah untuk mencicipi daging qurban. Akhirnya tali kebersamaan (ukhuwah Islamiyah) di antara kaum muslimin terjalin dengan baik yang berartipula umat Islam akan menjadi semakin solid.

Ibadah Idul Adha hanya datang sekali dalam setahun. Hari raya qurban merupakan moment yang tepat untuk memulai mewujudkan kepedulian kita untuk menyisihkan sebagian dari rizki yang dimiliki kepada saudara-saudara kita yang tidak mampu. Marilah kita senantiasa membantu mereka yang berada dalam kesusahan guna meringankan beban hidup dan sekaligus mampu menjadikan masyarakat di sekitar mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Jangan sampai perilaku ibadah yang ritualistik itu hanya menjadi pelengkap sandiwara kesalehan yang menggelikan.

Kisah lelaki tua di awal tulisan memberikan pelajaran berharga buat saya pribadi dan kita semua untuk selalu perduli terhadap lingkungan sekitar, menularkan kebaikan dan saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Hal ini juga sesuai dengan ajaran agama Islam bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna dan memberi manfaat bagi yang lain. Sepertinya kambing-kambing sedang mengembik di telinga menyadarkan saya untuk berqurban dan tentunya segera mengirim uang ke tanah air untuk membeli hewan qurban seiring datangnya hari raya Idul Adha yang tinggal sebentar lagi. Akhirnya, saya ucapkan selamat hari raya Idul Adha 1428 H, mohon maaf lahir dan bathien, semoga momentum hari raya qurban ini dapat membakar semangat kita untuk mau berbagi dengan sesama, amien.
***
Penulis saat ini bermukim di Washington, DC-USA/, E-mail. Sayit_karim@yahoo. Com.
35 E Street NW, #313 Washington DC, 20001. USA