Kenal Nyi Iteung? Perempuan dari dusun daerah Pasundan yang konon menikah dengan si Kabayan. Dilukiskan dalam cerita Nyi Iteung adalah sosok wanita sederhana yang lembut, geulis, dan polos. Kepolosannya itu sempat dijadikan judul dalam cerita si Kabayan, kalau ngga salah…Nyi Iteung si Gadis Jujur.
Nyi Iteung yang polos, hampir tak bisa menutupi keburukan dan kekurangan suaminya pada orang tuanya. Si Kabayan yang dikenal pemalas tapi banyak akal sering kecewa lantaran ‘aduan’ Nyi Iteung mengakibatkan amarah si mertua.
Bayangan Nyi Iteung sempat terlintas ketika aku mengenal Hao San, dua minggu yang lalu. Ia adalah teman kursus Nihon go asal Vietnam. Bukan karena wajahnya ada kemiripan dengan lukisan Nyi Iteung, tapi kepolosannya itu yang suka membuatku tertawa sendiri.
Pria berusia kira-kira 30 tahunan itu baru datang 2 bulan yang lalu ke Okayama. Ia mengaku bekerja di sebuah perusahaan. Entah perusahaan apa yang begitu baiknya mau menerima Hao San, yang kutahu Hao San belum lancar berbicara Nihon go sedangkan bahasa Inggris pun ia tak bisa. Oh, mungkin juga dia punya keahlian lain yang istemawa dan langka di sini. Nantilah aku akan cari tahu lebih lanjut.
Hari pertama Hao San masuk ke dalam kelas, sempat membuat Sensei bingung.. Ia, yang berpenampilan layaknya seorang lelaki Indonesia yang sedang melamar kerja di sebuah perusahaan, bisa menyelesaikan test tulis kemampuan bahasa Jepang dengan yakin. Nilainya pun tidak jelek. Kecuali penguasaan huruf kanji, soal-soal test dia jawab nyaris benar semua. Kelas basic mungkin tak cocok untuknya, tapi dimasukkan ke kelas yang lebih tinggi pun Hao San belum bisa berkomunikasi. Pengucapan makhorijul huruf bahasa Jepangnya pun bikin geli. Bayangkan berkali-kali saya membatu sensei mengajarkan cara menyebut ja ji ju padanya yang masih keukeuh dengan tscha, tschi, tschu…Oh, rupanya dia selama ini belajar sendiri dengan membaca buku Mina no Nihon go dengan penjelasannya berbahasa Vietnam. Akhirnya Sensei menggabungkannya dengan mejaku.
Sekilas kuperhatikan Hao San orang yang ramah, seramah lelaki Sunda dengan kenalan baru. Ia sering mengangguk diiringi senyuman bila sensei menerangkan. Ah, semangat banget, benakku. Jika ia menyebut kata-kata yang salah, sumimasen… , o sumimasen berkali-kali diucapnya. Membuat sensei pun harus berkali-kali menjawab dai jou bu. Ketika giliranku menjawab pertanyaan dari Sensei, ia selalu memperhatikan dengan senyuman. Huh, untung saja aku tidak ge er-an, pikirku.
Pernah suatu kali Sensei mengajak kami berdiskusi tentang rencana target hidup kita tahun ini. Setelah mendengarkan uraianku, Sensei beralih padanya.
"Hao San, mengerti tidak apa yang Saputa San katakan tadi?" tanya Sensei.
"Sama sekali tidak mengerti," jawabnya singkat masih diiringi senyuman.
"Oh, gomen nasai…" seru Sensei, seperti merasa bersalah dan dengan sabar menyimpulkan jawabanku dengan perlahan.
Lalu Sensei kembali bertanya padanya, "Hao San, apa target Anda tahun ini?" tanya Sensei..
"Nanimo arimasen," jawabnya jujur.
Heee…, Sensei terkejut, aku pun heran. Masa sih. hidup tidak punya target. Berani-beraninya merantau ke negeri yang dikenal dengan slogan ganbatte kudasai-nya, tapi ngga punya arah dan tujuan, tanyaku dalam hati. Lalu Sensei dengan sabar mengulang penjelasannya, ia juga pilihkan jawaban yang tepat bagi Hao San.
Di tengah-tengah penjelasan Sensei padanya, aku merenung…. Memang orang jujur adalah benda langka dan disukai setiap orang. Rasulullah Saw pun mengajarkan kita berakhlaq demikian, bahkan pahala Allah tersedia untuknya. Hanya tepatkah kita ungkapkan seluruh isi dan pikiran kita bila itu akan membuat tersinggung lawan bicara kita? Ataukah memang itu yang benar, keluarkan apa yang sesungguhnya ada di hati. Perkara enak tidak enak urusan belakang, yang penting kita tetap jujur dan hati kita tidak menyimpan kebusukan.
Atau sebaliknya, lebih baik dengan basa-basi. Apa yang diucapkan sungguh berbeda dengan apa yang berbisik di hati dan terlintas dalam pikiran. Yang penting jaga hubungan baik. Perkara orang mau masuk jurang atau tenggelam dalam kesalahan, itu urusan dia, asal nasehat dan masukan yang khawatir membuatnya tersinggung tidak keluar dari lisan kita. Ah, aku lebih tidak setuju dengan pendapat terakhir ini.
Aku jadi teringat Orang Jepang sering mengatakan hebat, bagus, pintar. Aku pikir itu ungkapan penghargaan, penyemangat, dan mungkin kadang-kadang hanya bualan. Karena dulu seorang sensei pernah berkata, ‘ Saputa San jika ada orang yang mengatakan bahasa Jepang kamu hebat, lancar, itu bohong’.
Sesaat sebelum kelas berakhir, seperti biasa Sensei menanyakan kesan kami atas pelajaran hari ini. Seperti biasa aku memilih jawaban umum yang selalu dipakai orang,
"Omoshirokatta, Sensei…Arigatou gozaimashita," jawabku dengan anggukan.
Lalu Hao San,
"Omoshirokunakatta. …," jawabnya.
Glek, aku menelan ludah tidak enak. Terlihat wajah Sensei pun pucat, meringis, dan seperti malu. Idih, jujur banget, sih….
"Sensei, mohon maaf…, saya pamit pulang duluan….," kataku pelan-pelan meninggalkan kelas.
"Hao san, arigatou…. Aku jadi merenung hari ini…." bisikku di hati.
-Ike, Okayama-
sensei: guru
Niho go: bahasa Jepang
sumimasen.’ maaf atau permisi
daijoubu: tidak-apa-apa
gomen nasai : mohon maaf
nanimo arimasen: tidak ada apa-apa
omoshirokatta : menarik bentuk past
omoshirokunatta : tidak menarik
ganbatte kudasai: Ayo kerja keras
arigatou gozaimashita: terima kasih