Di antara puing-puing luka dan penderitaan para korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ada banyak keperihan yang tersingkap, ada banyak duka yang terkuak, namun ada pula kekaguman yang tersibak. Kekaguman yang semakin menguatkan keyakinan pada diri saya, bahwa seorang ibu memanglah sosok yang amat mulia.
Namanya ibu Tuminem. Saya bertemu dengannya dihari ke-enam gempa yang menimpa Yogya dan Jawa Tengah. Ibu bertubuh kecil itu datang ke posko Masjid Mardliyyah -tempat saya berkativitas sebagai relawan- dengan menggendong bayinya. Wajahnya sendu dan tampak sangat letih. Ia terduduk di tangga masjid, menangis sambil tak putus mengucap istighfar.
Rekan saya sesama relawan mendekati beliau, mengusap punggungnya dan membiarkan hingga tangisnya reda. Saya menyusul mendekati dan menghibur bayinya yang juga mulai menangis.
“Bagaimana, Bu?” Pertanyaan itu seolah telah terekam dan selalu menjadi pertanyaan pertama bagi kami tim psikologis untuk bisa mendapatkan aliran cerita dari para korban demi mereka bisa mengungkapkan apapun yang mereka rasakan.
Ibu Tuminem menghapus air matanya dan sekali lagi melafalkan istighfar.
“Saya mencari anak saya, Mbak. Sudah enam hari saya tidak bertemu dengan anak saya. Saya sudah tiga hari mencarinya ke semua rumah sakit, tapi nggak ketemu-ketemu” ujarnya tersendat-sendat karena dibarengi tangisan.
“Keluarga yang lain bagaimana, Ibu?” tanya saya lagi.
“Suami saya meninggal…” kalimatnya terputus dan ia mulai menangis lagi, lalu kembali menghapus air matanya dan melafalkan istighfar.
“Saya ngurusin jenazah suami saya sampai dimakamkan dulu baru mencari anak saya” tambahnya.
“Waktu kejadian bagaimana, Ibu?”
“Waktu gempa saya udah keluar rumah, belanja ke warung. Ibu mertua saya cuci piring, suami dan anak saya yang kedua masih tidur. Anak saya yang pertama udah main ke luar. Suami dan anak saya yang kedua ketimpa reruntuhan. Tapi anak saya yang pertama nggak tahu entah kemana” ujarnya tetap berurai air mata.
Innalillaahi, sungguh Allah berkuasa atas segala sesuatu. Cerita bu Tuminem ibarat sinetron bagi saya, kehilangan suami dan terpisah dari darah daging sendiri.
“Saya harus ketemu anak saya, Mbak. Kasihan dia, sudah enam hari tidak bertemu ibunya. Saya tidak tahu harus mencari kemana lagi. Saya cuma berharap dia diantar ke Magelang” tambahnya. Ia mulai menangis lagi.
“Putera yang kedua bagaimana, Bu?”
“Ada, Mbak. Dirawat di Panti Rapih, tangannya patah.”
“Di sana ada yang jagain?”
“Ada budenya. Dia lagi ulang tahun, merengek-rengek terus minta dibelikan kue ulang tahun. Saya nggak tahan, saya nggak punya apa-apa lagi. Waktu gempa itu saya cuma ngantongin uang dua puluh lima ribu, itupun udah terlanjur saya belanjakan sayur. Sisanya habis untuk ongkos nyari-nyari anak saya. Makanya saya kesini, sambil nyari anak sulung saya ke Sarjito. Saya menjanjikan kue ulang tahun pada anak saya…” bu Tuminem mulai menangis lagi.
Masya Allah… seorang anak tetaplah seorang anak, ia ingin hari ulang tahunnya lebih berarti dengan kue ulang tahun. Tak peduli kakaknya entah di mana, ayahnya telah tiada, dan ibunya telah menjadi papa. Sedang ibu tetaplah ibu, tak kan kuasa seorang ibu memupus harapan anaknya, walau tak tahu dengan apa dia mendapatkan kue ulang tahun itu, tetap saja ia janjikan pada anaknya.
“Putera yang ulang tahun namanya siapa, Bu?” tanya saya
“Sena, Mbak”
“Ini ulang tahun yang ke berapa?”
“Tujuh tahun, kenapa Mbak?” bu Tuminem bertanya balik.
“Nggak apa-apa, Bu. Sekarang ibu makan dulu saja, kalau ibu nggak makan kasihan anak-anak. Apalagi yang bungsu masih menyusu. Kalau ibu sakit kan lebih repot” dengan sedikit memaksa kami meminta bu Tuminem untuk makan, sudah sehari lebih beliau tak makan. Sedang bungsunya kami berikan susu, karena sudah berhari-hari pula dotnya hanya berisi air teh dingin.
Saya dan dua rekan relawan memutuskan untuk mewarnai ulang tahun Sena dengan sebuah kue ulang tahun. Selepas membeli kue ulang tahun kami mengantar bu Tuminem ke Panti Rapih dengan motor. Subhanallah, sesampainya di rumah sakit kami tak bisa menemukan Sena, karena lokasi tempat ia dirawat pagi harinya telah bersih dari korban gempa yang dirawat. Bu Tuminem mulai panik lagi.
“Kok nggak ada ya, Mbak? Tadi pagi masih di sana pakai tenda” tunjuknya pada taman di barat rumah sakit.
“Mungkin udah dipindah, Bu. Kita tanya saja” saya mencoba menenangkannya. Pasien-pasien di RS Sarjito tempat saya beraktivitas sudah sejak dua hari yang lalu dipindah ke areal parkir rumah sakit, pasti di rumah sakit ini demikian juga, batin saya.
Lantas kami menemui petugas keamanan. Oleh beliau kami ditunjukkan beberapa tempat yang mungkin menjadi lokasi baru perawatan putera bu Tuminem. Ternyata di tempat-tempat itu tidak ada pasien dengan nama Sena Ramadhani, nama putera bu Tuminem.
Entah bagaimana kemudian terbersit pikiran bahwa putera bu Tuminem telah dibawa pulang keluarga ke Magelang. Selepas dhuhur bu Tuminem memang berencana melanjutkan pencarian putera sulungnya ke Magelang, ke tempat orang tuanya. Pikiran itu diperkuat dengan pernyataan tetangga bu Tuminem yang kebetulan berpapasan di rumah sakit dan baru datang dari Magelang. Bahkan kata beliau putera sulungnya juga ada di sana.
Bu Tuminem langsung berhamdalah, bahkan hampir menyungkurkan dirinya ke lantai untuk bersujud. Namun saya dan rekan-rekan merasa tetap memerlukan data bahwa putera kedua beliau memang telah dibawa pulang. Ternyata benar, di data pasien pulang ada nama yang dikenali bu Tuminem, yaitu ibu Dariyem. Pantas saja kami tidak menemukan nama Sena, karena nama yang dicantumkan di data adalah nama budenya.
“Rasanya ibu seperti disiram air dingin, Nak” kata bu Tuminem pada puteri bungsu di gendongannya.
“Alhamdulillah, ya Bu” kami turut berbahagia dengan kebahagiaannya. Kami hanya bisa mengantarnya hingga ke terminal menuju Magelang seraya berharap ia bisa berkumpul lagi dengan anak-anaknya di sana.
Subhanallah, pasti ada banyak bu Tuminem lain selepas gempa tektonik lalu. Saya berdo’a semoga beliau mampu menjalani hidupnya ke depan dengan teguh sebagaimana keteguhannya mencari putera sulungnya, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang padanya sebagaimana kasih sayang-Nya mengumpulkan kembali si ibu dengan anak-anaknya.
Yogya, 01 Juni 2006
[email protected]