Malaikat mulia tak bersayap itu nyawanya diujung tanduk. Kontraksi rahimnya kian lama
makin menyakitkan. Saat itu benar-benar pertaruhan hidup dan mati menanti sang buah hati
tercinta, bahkan lebih rela anaknya yang selamat jika takdir Allah berkehendak “mengambil”
salah satu diantara keduanya. Baginya saat itu adalah Jihad fii Sabilillah. Perobekan luas nan
luka kronis berdarah-darah seolah sirna ketika mendengar tangis sang bayi. Ya… saat itulah
kita muncul di pentas dunia. Ahlan wa Sahlan.
Ibu…
adalah Abdullah bin ‘Umar, putra Al-Faruq (‘Umar bin Khaththab) itu menyaksikan geliat
penuh semangat seseorang yang menggendong ibunya yang telah berusia lanjut sembari
thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai
Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah sudah lunas hutang budi ku pada kebaikan-
kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, walau sekedar satu erangan ibumu ketika
melahirkanmu”. Bayangkan, betapa tak kuasanya kita membalas kebaikan-kebaikan ibu
kita walau sampai berjibaku memuliakannya. Betapa sukarnya kita menandingi ketulusan
cintanya.
Ibu…
Mari sejenak berkaca pada kisah Ibunda Hajar (istri Nabi Ibrahim a.s). Bayi mungil bernama
Isma’il itu meraung dalam tangisnya karena dahaga yang teramat sangat. Saat itu air susunya
telah habis, terpaan panas dan badai padang pasir cadas menyergap mereka berdua, deru
angin dan debu menerpa mereka. Di telisiknya ke segala penjuru ternyata tak ada sama sekali
sumber mata air. Hajar pun rela berlari bolak-balik dari bukit Shafa dan Marwah hingga tujuh
kali hanya untuk mencari teguk air bagi buah hatinya. Walau kerikil-kerikil mencacah tapak
kakinya. Sebuah pengorbanan yang tak tertandingi. Dengan kalimat yang paling saya ingat
“Jika ini perintah Allah, maka sekali-kali tiada pernah Dia menyia-nyiakan kami”.
Ibu…
Ketika jatah makanan di rumah kita terbatas, sang Ibu berujar kepada anak-anaknya.
“Makanlah dan habiskan makanannya wahai anak-anakku, kalian pasti sangat lapar”.
“Bagaimana denganmu Ibu?”. “Tenang Nak, Ibu sama sekali tidak lapar”.
Ibu…
“Jika dalam usia sebelia ini mereka menjadi hafizh qur’an maka kami tak dapat
membayangkan apa yang terjadi pada mereka 20 tahun kemudian, peradaban (yahudi) ini
bisa hancur”.
Lihatlah, betapa pongahnya Israel melihat serdadu-serdadu mungil Palestina, betapa gentar
dan ciutnya nyali mereka. Inilah yang menjadi sebab Zionis Israel Laknatullah menjadikan
wanita dan anak-anak sebagai target pembabatan utama. Sebab sedikitpun mereka tak sudi,
bila dari rahim Ibu-Ibu Palestina yang Shalihah lahir generasi Rabbani yang siap memporak-
porandakan kebathilan dan mengembalikan kejayaan Islam.
Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut
tabi’in, dan para salafus shalih pernah mengkhusukan dan memerintahkan “pemuliaan ibu”
pada hari tertentu saja? Ternyata tidak, karena sejatinya kemuliaanmu wahai ibu, bukanlah
pada hari ini saja. Engkau berhak mendapatkan perlakuan istimewa, perkataan baik nan
penuh hikmah, senyuman termanis, sambutan dengan wajah berbinar, dan dekap pelukan
terhangat tiap harinya.
Ibu…
Bahkan bila seandainya hari ini (tanggal 22 Desember) tak pernah ada, bagiku seluruh hari
adalah harimu. Momentum 22 Desember 2014 ini mudah-mudahan menjadi “sentilan” bagi
gelayut hati kita agar memaknai pentingnya Birrul Walidain beserta keutamaan dan pahala
yang terselip di dalamnya.
Ibu…
Maafkan kami yang selama ini mengaklaim diri kami terlalu sibuk sebagai Mahasiswa
hingga tak ada waktu menengokmu melalui pelupuk mata ini. Hati kami sebenarnya
menyeruak, dihantui perasaan dosa besar tatkala melihat bulir-bulir air matamu yang
berjatuhan disebabkan karena kedurhakaan kami. Dering telepon milik Ibu kita berdering.
Oh.. betapa senangnya saat itu sang Ibu menyambut anaknya yang telah jauh merantau,
meskipun hanya melalui telepon seluler. Kerinduan membuncah Ibu yang telah lama
terbelenggu, pupus sudah dengan menyibaknya perkataan sang anak “Bu, apa uangnya sudah
dikirim ke rekening?” .
Ibu…
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali engkau mencelanya karena
seringnya pipis dan berak di celana. Bukankah dulu kita sangat sering mengganggu tidur
lelapnya di tengah malam? Saat itu kita hanya bisa merengek meminta ganti popok karena
tidak nyamannya lagi kondisi popok kita yang penuh kotoran.
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali engkau merendahkannya karena
seringnya “pikun”. Bukankah dulu dia telah mengajari kita nama-nama benda di sekitar?
Bahkan seringnya kita kembali bertanya. “Ibu, itu apa?”. “Itu kucing nak” (senyumnya
menyejukkan kita). Saat melihat kucing yang warna dan jenisnya berbeda kita bertanya
kembali, “Ibu, itu apa?”. “Sama anakku sayang, itu kucing” (sambil menggendong dan
menimang-nimang kita).
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali geram ketika suapan nasi dari
kita sering dimuntahkan tatkala dia sakit. Bukankah dulu kita juga sering memuntahkan
bubur ketika didulang makan?
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali terselip niat untuk meng-
hijrahkannya ke Panti Jompo dengan dalih “kehadiranmu sudah terlalu merepotkan dan
mengusik kenyamanan istri dan anak-anakku”. Bukankah dulu kita jauh lebih sering
merepotkannya? Pagi hari sebelum berangkat sekolah berlaku layaknya raja minta
dibuatkan sarapan, siang hari ketika sudah pulang kita selalu meletakkan kaos kaki dan
baju sembarangan, kita enggan merapikan tempat tidur kita, mencuci baju kita, menjahit
baju kita. Kita sering tak pamit jika keluar rumah. Betapa seringnya kita menadah uang
darinya namun berkhianat dengan berpesta pora di malam minggu ria, bahkan sampai
menggandeng “wanita” lain atas nama cinta. Lelaki Mukmin sejati kok ngajak pacaran??
(afwan, sedikit keluar dari tema, hehe).
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya.
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan
menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu
dan hanya kepada-Ku lah kembalimu.“ (Surah Luqman: 14).
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia.” (Surah Al-Israa: 23).
Mari kita do’akan Ibu kita selalu, Allahummaghfirlii wa li waa lidayya warhamhumaa kamaa
Rabbayaani Shaghira. InsyaAllah menjadi manifestasi amalan yang tiada putus-putusnya.
Ya Allah, Maha Suci dan segala Puji hanya bagi-Mu
Aku bersyukur masih dapat melihat ibuku dan merasakan kasih-sayangnya hingga kini
Aku bersyukur masih mendengar nasihat dan “omelan-omelan” cintanya kepada anak yang
masih kurang ajar ini
Ibumu… Kemudian Ibumu… Kemudian Ibumu…
Joddy Oki Ibrahim
Mahasiswa Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang (UM)
Aktivis KAMMI UM dan FKKBiologi (Rohis Biologi) UM
Malang, 22 Desember 2014.
Saya tulis catatan ini sebagai kontemplasi ba’da Subuh