“ My mother is a mujaheed ,” kata teman Tunisiaku dengan nada cinta dan kerinduan yang sangat dalam. Perasan kagum, iri dan haru, bercampur menjadi satu dalam senyumku.
Aku telah mendengar ratusan pujian tentang ibu, tapi tak pernah kudengar pujian seperti ini yang diucapkan dengan kata-kata yang indah dan perasaan yang sangat dalam. Ingin aku mencintai ibuku seperti itu, ingin aku bisa mengucapkan kalimat seperti itu tentang ibuku sendiri.
Ia selalu menyelipkan pujian tentang ibunya di setiap percakapan. Dan aku tak pernah mendapati teman seperti ini yang sangat bangga dan memuji-muji ibunya yang masih hidup dengan kerinduan yang dalam. Yang aku dapati jika terdengar kata ibu, paling paling adalah complain tentang ibu masing masing.
Ibu seperti apa yang ia miliki sampai ia bisa mengucapkan kalimat seindah itu tentang ibunya dengan kerinduan yang dalam.
Ia bercerita. Sejak sang ayah yang saat itu adalah professor Bahasa Arab wafat, sang ibu mengambil alih peran sang ayah. Ia bukan saja mengurus kebutuhan fisik ke tiga belas anaknya yang lima di antaranya adalah anak tiri, namun juga pendidikan agama dan bekal ilmu pengetahuan mereka untuk masa depan.
Ibunya mencintai ke tiga belas anaknya dan memperlakukannya sama rata. Walaupun lima anak pertamanya adalah anak tiri hasil dari istri pertama yang telah wafat dari sang suami. Bahkan, masa kecil ke lima kakak kakak tirinya mendapatkan perhatian lebih dari ibunya, karena saat itu ibunya belum mempunyai anak kandung.
Saat aku memuji ibunya yang hebat karena, bersedia menikahi duda dengan lima anak. Teman Tunisiaku itu berkata: ” Sebelum menjawab lamaran ayah, ayah dari ibuku memanggil ibu dan berkata, lima anak dari calon suamimu ini bisa menjadi nerakamu, atau surgamu.”
Aku tertegun lagi. Sesuatu yang hampir mustahil ku lakukan…
Teman Tunisiaku ini mencinta ketiga belas saudaranya tanpa perbedaan sedikitpun walaupun lima dari kakak kakaknya adalah kakak tiri.
Ia menyukai mereka semua dan tidak satupun dari saudaranya yang ia keluhkan. Ada perasaan cemburu campur malu lagi.
Ah, kita yang hanya tiga atau empat atau tujuh bersaudara saja kadang mengeluh. Adik yang ini beginilah, adik yang itu begitulah,kakak yang ini beginilah….Sedangkan ia yang tiga belas bersaudara dengan lima saudara tiri tidak mengeluhkan seorangpun dari saudaranya.
Bahkan ia paling dekat dengan kakak perempuan tirinya.
Mereka tumbuh bagaikan bunga bunga indah dalam kehidupan yang keras.
“Ibuku bangun pagi dan menyiapkan sarapan untukku dan kedua belas saudaraku.. Beliau membuatkan jus wortel segar, dan mengelap sepatu sepatu kami saat kami sarapan. Saat kami mencegahnya, beliau meminta kami untuk tidak menghiraukannya. Beliaulah yang menjahit pakaian pakaian kami karena pakaian sangat mahal.”
Yah akupun di buat surprise olehnya, karena ternyata pakaian jilbab-jilbab panjang nan indah itu bukan dibeli dari toko melainkan dijahit sendiri oleh ibu tercinta.
"Ibuku bangun pagi sekali dan mengurus kebutuhan kami semua. Ia hampir tidak pernah membeli makanan kecil untuk kami melainkan membuatnya sendiri. "
Beberapa kali dalam seninggu, ibunya akan duduk di suatu ruangan di malam hari, dan anak anaknya akan berbaris mendatanginya bergiliran dengan buku pelajaran sekolah dan hapalan mereka.
Anak yang paling besar menjadi supervisor membantu ibunya mengetes hapalan adik adiknya.
Berbeda dengan ayah tercinta yang keras dan disiplin dalam mendidik anak anaknya, "Ibu selalu menasihati kami dengan lembut dan jarang marah. Sekali marah kami akan sangat takut sekali. Ibuku sangat mencintai Allah dan tiada hari tanpa Al Qur’an di tangannya. Ia sangat santun pada tetangga-tetangga kami dan selalu memperingatkan kami untuk tidak melakukan hal-hal yang akan mengganggu kenyamanan orang lain, walau sekecilpun. Karena perbuatan sebesar zarrahpun akan di balas."
“Ibu selalu mengingatkan kami untuk istiqamah dalam hal apapun dan di mana saja. Sewaktu aku tidak punya uang untuk kuliah, satu satunya yang dapat dilakukan adalah meminjam uang dari pemerintah dengan sistem riba. Ibu memohon agar aku tidak mengambil pinjaman itu.Padahal ibu sangat disiplin tentang pendidikan anak-anaknya, dan beliau tau kalau aku tak ambil aku tak bisa sekolah.Tapi beliau berkata, kalau kau pilih sekolah, sekolah akan hilang, kalau kau pilih Allah, Allah tidak akan hilang.”
Setelah gelisah sana sini ia menimbang-nimbang, akhirnya ia memilih untuk tidak mengambil pinjaman itu. Ia sudah pasrah untuk tidak sekolah, tapi ia percaya pasti Allah akan menolongnya.
Tanpa disangka-sangka dari hari ke hari murid murid privatnya bertambah banyak dalam waktu singkat. Bahkan salah satu orang tua muridnya yang kaya raya meminta ia untuk tinggal bersama mereka di rumah mereka yang besar. Ia diberi kamar dengan fasilitas yang lengkap untuk belajar. Bahkan, ia disekolahkan dan fasilitasi personal computer. Ia mendapatkan pekerjaan yang bagus bahkan bea siswa untuk mangambil gelar master dan Phd nya di Jepang.
Ia yakin bahwa itu adalah pertolongan Allah.
Aku bayangkan jika itu aku dengan anakku. Mungkin kami akan pilih sekolah dan mengganggap sepele bunga pinjaman.
Aku mengenal temanku ini sebagai pribadi yang kuat, istiqomah, rela berkorban, bangga terhadap identitasnya sebagai muslim di negara manapun ia berada
Suatu saat aku mendengarkan lagu lagu rohani Islam Indonesia. Saat ia mendengar lagu Ummi yang dibawakan oleh Haddad Alwi ia berkata, "Aduh aku ingin menangis rasanya mendengar lagu ini. Aku rindu ibuku. Aku akan menulis syair lagu ini dan mengirimkannya pada ibu.”
Ummi ibu……
Aah andaikan kita bisa seromantis itu pada ibu-ibu kita.
Apakah kita akan membela diri ?
Sahabat-sahabatku yang lain berkata, "Ah, dia khan bisa begitu karena ibunya seperti itu. Kalau ibuku seperti itu… mungkin aku juga akan seperti itu…"
Tapi sahabat, ibu adalah seorang ibu.
Seseorang yang harus dihormati, dimuliakan. Bukankah itu haknya, diperlakukan dengan lemah lembut saat masa tuanya.
Ibu, dengan segala kekurangannya…
Tapi mereka adalah ibu-ibu kita…
Kenapa kita kadang mengeluhkannya . Toh ibu kita bukan penjahat, bukan pemurtad, tidak melakukan kesyirikan. Toh ibu kita seorang muslimah, rajin ibadah lagi. Bukankah itu kenikmatan yang tak terhingga saat semua anggota keluarga kita dalam naungan Islam?
Seandainya pun ada kekurangan, namanya juga manusia. Kitapun sebagai anak banyak sekali kekurangan.
Bagaimana kalau beliau tak mau dinasihati?
Toh ia bukan sedang melakukan tindak kejahatan, paling hanya kesalahan ringan.
Mungkin banyak hal hal kecil yang mengesalkan tapi, mungkin kita bisa membantunya dengan berdoa agar ibu berubah. Bukankan kita sewaktu kecilpun banyak mengesalkan dirinya ?
Lagi pula walaupun ia melakukan hal yang buruk, kita harus menasihatinya dengan lembut tanpa menyakiti hatinya.
Pelajaran inilah yang kudapat dari teman Tunisia ku itu.
Dan aku sebagai seorang ibu, ku ingin anak-anaku kelak menjadi anak yang istiqomah dan tumbuh seperti bunga segar. Tapi itu mustahil terwujud tanpa pengorbanan dan ilmu yang cukup. Kutatap putri kecilku. Ah aku juga ingin suatu saat nanti ia dengan bangga berkata,” my mother is a mujaheed …”
Tokyo, 23.20, "…dari seseorang yang banyak kekurangan."